Sabtu siang yang berbeda di lantai 3 Gedung Karya Pastoral 2 Paroki Katedral Jakarta. Beberapa orang menduduki bangku dari meja segi empat dan menerima map bening di atas meja. Sabtu itu tentu bukan akhir pekan yang biasa saja terutama bagi mereka yang mendaftarkan diri pada Kelas Islamologi Mengenal yang Lain. Ruang belajar bersama yang diselenggarakan oleh Komunitas Penulis Muda Katolik Agenda 18.
Sabtu, 4 Agustus 2018, Kelas Mengenal yang Lain resmi dibuka dengan diskusi perdana bersama Ahmad Nurcholish. Dia adalah pengurus Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tak tanggung-tanggung, tema yang diangkat dalam pertemuan pertama cukup menarik, yaitu Islam dan Perdamaian.
Selaku Koordinator Umum Agenda 18, saya memberikan sambutan kepada peserta dan narasumber atas nama Komunitas Penulis Muda Katolik Agenda 18. Dalam sambutan kepada peserta, saya mengatakan bahwa dialog antarumat beragama cenderung tidak terlaksana di tengah krisis kepercayaan dan radikalisme. Kelas Mengenal yang Lain diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang saudara kita, khususnya kaum Muslim. Dengan demikian bisa memberikan para peserta yang merupakan umat Katolik perspektif baru memahami umat agama lain.
Ahmad Nurcholish membuka sesi dengan menayangkan survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation tentang karakter kaum muslim di Indonesia. Data-data yang ditampilkan mencakup tingkat toleransi dan intoleransi kaum Muslim Indonesia yang beragam. Melalui survei ini, Ahmad Nurcholish atau Nur, menggiring peserta untuk mengenali makna dasar kata Islam itu sendiri.
Akar kata Islam adalah salam yang berarti sejahtera dan damai sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Nur menegaskan perdamaian merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Ada cerita menarik ketika Nabi Muhammad menerima tamu seorang Nasrani menjadi sebuah tindakan sederhana yang penuh arti cinta kasih. Nur juga menyinggung tentang perjanjian hidup toleran dalam Piagam Madinah. Perjanjian hidup bersama itulah yang seringkali disalahtafsirkan oleh umat Muslim di Indonesia.
Perdamaian pada dasarnya merupakan ajaran universal dari setiap agama. Islam merupakan bentuk negasi atas kekerasan dan solusi di tengah konflik. Selain itu, Islam juga memiliki spiritualitas kepatuhan diri kepada kehendak Tuhan. Atau berpasrah diri dalam tradisi Kristiani yang kita temukan melalui figur Santa Perawan Maria. Jika Islam menciptakan perdamaian, maka umat Muslim merupakan orang-orang yang menciptakan perdamaian melalui tindakannya. Nur menyebutkan bahwa muslim yang beriman yaitu mereka yang mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi orang lain. Nilai-nilai perdamaian dalam Islam tertuang dalam Al-Quran dan berbagai riwayat hadist Nabi/sunnah.
Dia menekankan bahwa Islam harus dimaknai secara inklusif, bukan secara eksklusif. Cinta kasih Nabi Muhammad tidak hanya untuk umat Muslim, tetapi untuk seluruh umat manusia. Nur menilai begitulah ciri khas pandangan para Islam progresif yang membedakan dengan Islam radikal. Menurut dia. Agama bukan hanya sekadar label. Jika Islam hanya dimaknai sebatas label, maka yang timbul adalah sikap ekslusif dan tertutup. Islam berhakikat sebagai kepercayaan yang tunduk, patuh, pasrah, damai, selamat, dan sejahtera.
Dalam memaknai teks Al-Quran, hal yang sering terjadi adalah hanya membaca lalu melupakan konteksnya. Ada beberapa kondisi yang berbeda ketika dahulu Al-Quran ditulis dengan keadaan masa kini. Hal inilah yang menyebabkan Islam radikal memiliki spirit perjuangan dalam perang karena membaca ayat dalam konteks lama peperangan dengan konteks saat ini. Kondisi ini menjebak seseorang dengan muslim menjadikan orang lain sebagai musuh.
Nur lantas memberikan sebuah kutipan indah dari HR. Bukhari serta beliau juga memperdengarkan lagu Deen Assalam yang dinyanyikan oleh Nissa Sabyan.
“Tidak sempurna iman seseorang, yang tetangganya tidak aman dari kejahilannya (gangguannya)” – HR. Bukhari.
Tiba saatnya sesi tanya jawab. Satu per satu pertanyaan tajam dan reflektif muncul dari para peserta. Beberapa dari peserta menanyakan perbedaan tafsir secara fundamental yang bisa membuat perpecahan antar agama. Keingintahuan lebih lanjut serta kegelisahan dari masing-masing peserta mendapatkan tanggapan dari Nur.
Dia menjelaskan konsep Islam Nusantara dan pemahaman Islam Nusantara merupakan senjata mengatasi kaum radikal. Pasalnya, Islam Nusantara adalah satu-satunya Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ada pun ciri Islam Nusantara yang bercampur dengan budaya Indonesia terlihat dari yang dilakukan oleh Wali Songo yakni melakukan pewartaan agama dengan menggunakan sarana prasasana budaya setiap tempat.
Tak terasa jam menunjukkan pukul setengah empat sore. Saatnya sesi ditutup dengan foto bersama. Perjumpaan pertama usai, dan semoga ilmu yang diperoleh memberi cara pandang baru membina relasi dengan umat Muslim. Tuhan memberkati.