Home BERITA Kiong Koe Berkicau: Bahkan Pastor pun Takut Hidup Susah

Kiong Koe Berkicau: Bahkan Pastor pun Takut Hidup Susah

0
Ilutrasi: Dua suster OSA mengajak orang lokal di Tumbang Titi bekerja mengolah lahan. (Dok OSA/Repro MH)

Mat 11:1-8

KERAP kali di pastoran, saya didatangi oleh penjual sayur yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek). Pengen sekali rasanya saya tidak mau membeli sayur mereka, sebab toh di sini tidak begitu susah kalau sekedar mencari sayur.

Di kebun Pastoran ada daun singkong dan di pinggir sungai ada banyak daun pakis. Dan anehnya, kalau mereka datang menjual sayur ke sini, yang mereka bawa sayur yang sama seperti halnya pakis, daun singkong dan kangkung air.

Kadang saya menjadi bingung untuk memilih antara membeli sayur mereka atau mengambil sayur di kebun sendiri.

Ingin sekali mengatakan kepada nenek tersebut bahwa saya tidak membeli sayur karena semua sudah tersedia di pastoran.

Tetapi jauh di lubuk hati rasa belas kasih berbisik.

“Lihatlah wajah tua yang sudah mengerut, perhatikan tubuhnya yang semakin renta dimakan usia dan kelelahan. Ayolaaah, beli sayur mereka. Toh, kamu juga tidak akan menjadi orang kaya bila mengeluarkan separuh berkat buat mereka. Mereka adalah orang-orang tua yang membutuhkan belas kasihmu.”

Saat ego menggoda mengajak saya untuk berlaku kikir atau pelit mengeluarkan berkat bagi mereka yang hidup susah, malah suara hati menegur begini:

“Identitas seorang imam itu, salah satunya adalah belas kasih. Bukan pelit kasih, apalagi pilih kasih. Hidupnya senapas dengan sang belas kasih yaitu, Allah. Kamu sendiri sering kali meminta dan menuntut umat untuk hidup berbelas kasih dengan orang lain. Dan begitu giliranmu diminta dan dituntut untuk melakukan hal yang sama, malah kamu mengumpet. Imam milik Tuhan Yesus memang tidak hanya gemar dan pandai merangkai kata-kata di mimbar Sabda. Mereka juga mesti mengakrabkan diri dengan karya konkrit belas kasih.”

Saya merasa bahwa pengalaman takut untuk berbelas kasih dengan mereka yang hidupnya susah adalah bagian dari intimidasi egois yang mempromosikan hidup susah dan kekurangan adalah pandemi yang menakutkan. Di mana hal itu bisa menghilangkan kenikmatan dan kebahagiaan di hari tua nanti dan bisa mengamputasi semua angan-angan untuk memiliki banyak hal.

Menurut hemat saya, “penyakit” seperti ini, tidak hanya menjadi pengalaman hidup di dunia awam. Di dunia rohani pun, seperti halnya dunia para biarawan-biarawati dan kaum religius juga mengalami “penyakit” yang sama.

Kita semua takut dengan hidup susah.

Hidup belas kasih itu, seperti analogi Laut Mati. Banyak saluran air yang masuk ke situ tetapi, sayangnya tidak ada satu pun saluran yang keluar. Akibatnya, semua kotoran yang dibawa oleh berbagai aliran air mengendap di dalam.

Air menjadi sangat asin sekali sehingga binatang laut tidak ada satupun yang bisa hidup di dalamnya. Ending-nya, disebutlah dia sebagai Laut Mati.

Demikianlah dengan kehidupan manusia. Kalau kita semua hanya tahunya, mengambil dan menerima terus…. dan menyimpan terus….sampai menumpuk tanpa membuka saluran keluar, maka semua kotoran dan penyakit akan mengendap di dalam tubuh dan lama-kelamaan mati karena menumpuk banyak penyakit.

Orang bijak berkata, “Dengan hidup berbelas kasih, kamu sudah memelihara hidup tetap dalam kondisi sehat. Sedangkan dengan menahan belas kasih, kamu sedang mengendapkan sebuah penyakit ke dalam tubuhmu dan hal ini yang membuat tubuhmu menjadi mati”.

Lagi-lagi kata Tuhan Yesus, “Yang Aku kehendaki adalah belas kasih”.

Renungan: “Belas kasih tidak menjatuhkan kita pada jurang kemiskinan, justru membuat kita menjadi “kaya” di hadapan Allah.”

Tuhan memberkati.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version