Home BERITA Kiong Koe Berkicau: Iman Kristiani Masuk Areopagus

Kiong Koe Berkicau: Iman Kristiani Masuk Areopagus

0
Ilustrasi: Seorang imam baru melewati sebuah jembatan sederhana di pedalaman Nanga Mahap, Sekadau, Kalbar. (Sr. Ludovika OSA)

Kis 17:15-22-18:1

PROF Dr. FX Eko Armada Riayanto, dosen STFT Widya Sasana Malang pernah mengajar kami pada mata kuliah Pengantar Filsafat di tingkat satu. Di situ beliau mengutip teks kitab suci dari Kis 17:15-22-18:1 sebagai pondasi perjumpaan antara iman dengan akal budi.

Dia menyebutkan Paulus yang dengan gagah berani menguraikan iman kristiani di panggung Areopagus Athena adalah orang pertama yang mendeklarasikan iman tanpa akal budi adalah mati atau akal budi tanpa iman adalah dungu.

Argumentasi beliau menjadi acuan bagi kami, untuk menguji sekaligus merenungkan tindakan pelaku kekerasan atas nama agama yang bertebaran di mana-mana. Lihat  saja, perilaku  mereka yang meneriakkan  nama Tuhan dengan nada amarah sambil tangannya memegang batu, pentung, parang, pedang dan celurit.

Dengan gagah mereka berkata, “Kami ada dan datang untuk membela dan menegakkan hukum Allah.”

Membela Allah kok, dengan jalan kekerasan?

Seorang tokoh pluralis seperti Gus Dur pernah berkata, “Allah tidak perlu dibela, sebab Dia tidak mempunyai kelemahan dan kesalahan apa pun sehingga Dia juga tidak butuh pengacara untuk dibela”.

Di situlah pentingnya peran akal budi yaitu, untuk menalari iman yang sedang diimani. Bagaimanapun, beriman membutuhkan hukum-hukum penalaran. Tanpa hal itu, iman akan terjun bebas ke jurang kekerasan.

Mahatma Gandhi pernah berkata, “Iman yang berjalan bersamaan dengan kekerasan adalah iman seorang preman. Dan kekerasan atas nama Tuhan adalah cerminan dari jiwa yang rapuh.”

Dari pernyataan M. Gandhi, kita bisa langsung menyimpulkan bahwa mereka yang menebarkan agama dengan jalan preman adalah “gelora” (gerombolan orang rapuh).

Di mana kita bisa temukan kelompok “gelora” ini? Bisa saja di rumah, bahkan bisa terjadi pada  komunitas religius.

Di rumah bisa terjadi ketika suami dan isteri tidak bisa akur dan saling berantem hanya karena faktor kesusahan ekonomi dan faktor pendidikan anak yang bawel. Di komunitas religius, bisa saja sesama  anggota komunitas tidak saling sapa, karena faktor perbedaan pendapat.

Pimpinan komunitas dan Provinsial dan anggotanya tidak bisa bekerjasama hanya karena faktor pelanggaran-pelanggaran kaul. Belum lagi, anggotanya yang membangkang tidak mau dipindahkan tugas di tempat yang relatif  memiliki lingkungan yang sulit. Tentu masih banyak daftar contoh yang lain lagi.

Setidaknya, kita tidak boleh berasumsi bahwa hanya kelompok radikalis agama saja yang bisa berperilaku seperti itu. Tidak!

Kita pun bisa berperilaku seperti itu, cuma peran dan porsi serta tindakannya saja yang berbeda tempat. Di mana saja kekerasan verbal dan fisik terjadi dan apa lagi pemerannya adalah orang yang menyebut dirinya sebagai orang yang beriman, waahh…sudah pasti iman dan akal budinya mati. Naif sekali.

Iman yang benar perlu di uji dengan hikmat akal budi. Pemazmur berkata, “TUHAN menguji orang benar dan orang fasik, dan Ia membenci orang yang mencintai kekerasan” (Mzm 11:5).

Iman dan akal budi tidak mentolerir kekerasan. Yang dibutuhkan iman dan akal budi adalah  interaksi dan kolaborasi, dialog dan komunikasi, alokasi dan aplikasi, survei dan refleksi, koreksi, aksi, dan selebrasi”.

Itulah yang dipromosikan oleh Paulus di Aropagus di Athena. Jadi, iman dan akal budi yang saling menyapa bisa disimak sebagai panoramanya keindahan kehidupan manusia.

Renungan: Apakah iman dan akal budiku sudah bisa bertemu dan saling menyapa?

Tuhan memberkati.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version