Home BERITA Kiong Koe Berkicau: Kamu Yang Nakal, Masa Aku Ikut Kamu Dihukum?

Kiong Koe Berkicau: Kamu Yang Nakal, Masa Aku Ikut Kamu Dihukum?

0
Anjing peliharaan di rumah (Mathias Hariyadi)

Yun 3:1-10

DALAM suatu kesempatan pertemuan, seorang umat kita pernah bercerita kepada saya demikian, “Romo, saya memelihara seekor anjing. Tidak setiap hari, saya memberikan dia makan. Saya mengajak dia ikut berpuasa. Tujuannya, biar dia bisa taat dan patuh. Tidak menjadi anjing nakal.”

Kisah orang ini, mengingatkan saya pada sejarah pertobatan orang Niniwe. Di sana dikatakan,

“Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air. Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya…”( Ayat 7-8)

Namun, sebagai orang yang dianugerahi akal budi, saya pun tidak berhenti bertanya. Mengapa binatang yang tak berakal budi disamakan seperti manusia yang berakal budi?

Apa delik yang bisa dipasalkan kepada binatang-binatang ini, bila memang mereka disebut sebagai pihak yang melanggar hukum? Apa karena mereka nakal lantas disebut melanggar?

Sejak kapan binatang-binatang ini mengenal istilah hukum, moral dan etika?

Selama ini kita sudah tahu bahwa binatang dan manusia merupakan dua makhluk hidup yang sangat berbeda. Kalau binatang nakal dan suka melanggar pasal ini dan pasal itu, memang dari sananya dia tidak dibekali akal untuk menolong dia supaya bisa berpikir dan menilai perbuatan moral atau untuk bertindak secara etika.

Lain hal dengan manusia.

Manusia memiliki akal sehingga dia bisa menilai sebuah pilihan dan keputusan sebelum dijadikan sebuah tindakan.

Dan dalam kasus ini, menjadi aneh dan tidak biasa karena semua binatang yang tidak bisa berpikir turut disertakan bersama manusia dalam melakukan olah raga rohani. Apa maksud keikutsertaan mereka berpuasa di situ?

Sebagai imam yang hidup dan berkarya di keheningan hutan memahaminya begini.

Sangat mungkin penulis kitab ini, menggunakan binatang-binatang tak berakal budi ini sengaja dia pakai sebagai personifikasi dari orang-orang benar. Dengan demikian, maka binatang-binatang yang turut diikutsertakan dalam berpuasa itu adalah sebagai pihak yang benar.

Mungkin nggak Tuhan menghukum orang benar tanpa kesalahan? Tidak mungkin! Fungsi hukum hanya ditujukan kepada pihak yang melanggar.

Keikutsertaan orang benar yang tidak membutuhkan pertobatan dalam kasus pertobatan warga Niniwe adalah bagian dari solidaritas kemanusiaan untuk memohon belaskasihan Allah.

Hal ini selaras dengan orang bijak yang berkata, “doa orang benar didengar-Nya.” (bdk. Ams 15:29).

Dan nasihat mutiara dari Rasul Yakobus bilang, “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yak 5:16).

Binatang-binatang sebagai perwakilan “orang benar” ini, tidak hanya ikut berpuasa . Sejatinya, mereka juga ikut berdoa. D

ari sini kita bisa petik hikmahnya bahwa, pertobatan masal itu, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Warga butuh keikutsertaan semua unsur dalam mengupayakan sebuah pesta rekonsiliasi dengan Allah.

Renungan: Budayakan hidup 5B: Bertobat, Berdoa, Berpuasa, Beramal, dan Bersolider.

Tuhan memberkati.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version