Luk 1:57-66.80
DATA Kitab Suci dan sejarah Gereja menyebutkan bahwa Zakaria adalah seorang imam di Yerusalem. Istrinya Elisabeth berasal dari garis keturunan Harun, yaitu sosok imam yang selalu hadir bersama Musa.
Dari data singkat ini, kita bisa mendapatkan gambaran, betapa serasinya kehidupan Zakaria dan Elisabeth dalam kehidupan rohani. Pastilah mereka juga kuat untuk memegang tradisi.
Zakaria sebagai imam di Yerusalem dan Elisabeth yang memiliki keturunan darah seorang imam, melihat kehidupan rohani seperti halnya doa, membaca Kitab Suci dan meditasi sudah menjadi tradisi dan budaya hidup.
Oleh karena itu, apabila dalam keseharian hidup mereka selalu dipenuhi dengan hidup doa, hal itu tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan budaya hidup keluarga sebelumnya. Dan keluarga seorang imam memang keutamaan hidupnya berdoa; bukan berdagang atau melancong atau plesiran ke mana-mana.
Keluarga Zakaria adalah keluarga yang memiliki identitas hidup rohani yang jelas. Keluarga yang hati dan telinganya mendengarkan sabda Allah setiap saat.
Identitas kehidupan rohani imam Zakaria yang mengakar kuat ini tidak diraih dengan jalan instan. Ada roh dan perjuangan, ada ketaatan dan kedisiplinan, ada kesetiaan dan ketekunan, ada keterampilan dan latihan.
Di samping itu, tentu juga ada kelelahan dan keletihan. Bahkan ada kegagalan dan keputusasaan. Dan tingkat teratas dari pergulatan hidup rohani mereka adalah ada keraguan dan kehabisan iman.
Jadi, setiap imam yang menghidupi hidup rohani selalu ada saja pengalaman hidup campur sari atau ‘nano-nano’”.
Kata orang, “Justru di situlah letak keindahan dan kenikmatan hidup itu.”
Bayangkan, demi mendapatkan seorang anak saja, keluarga imam ini berdoa sampai diusia yang renta dan bungkuk. Berdoa sambil berharap sampai di usia bau tanah, itu bukan pengalaman hidup rohani yang mudah.
Di dunia kita dewasa ini, gaya hidup seperti mereka antik dan langka. Kebanyakan sekarang ini kalau kita lagi susah atau putus asa, kemudian terus berdoa, mintanya dalam sejam, sehari, seminggu, sebulan doanya tadi segera dikabulkan.
Emang Tuhan itu, remote apa? Ada anekdot yang mengatakan, “Gara-gara makan mie instan, semangat dan gaya hidup orang zaman ini ikut meniru mie yang serba instan.”
Perjalanan hidup rohani imam keluarga Zakaria berjalan bersama proses dari detik ke menit, ke jam, ke hari, ke Minggu, ke bulan dan seterusnya. Dan hal itu, mereka alami sampai mereka memasuki usia sepuh, renta dan uzur. Kadang muncul pertanyaan saya, apa alasan utama mereka setia dan bertahan memiliki hidup rohani yang berbuah lamban seperti itu?
St. Theresia dari Lisieux akan memberikan pada kita sebuah jawaban spiritual spektakuler, “Kalau Tuhan Allah memberikan aku anugrah untuk memikul penderitaan (salib) di dunia ini, maka Dia juga pasti akan memberikan anugerah yang lain yaitu, kekuatan untuk bisa menanggung dan memanggulnya.”
Saya begitu yakin, di balik kesetiaan dan ketekunan mereka berdoa sepanjang hayat tersimpan sebuah kekuatan spiritual seperti yang diungkapkan oleh St. Theresia di atas. Allah, pihak di balik semuanya itu. Dia hadir secara rahasia di balik semangat hidup doa keluarga imam Zakaria.
Memang hidup kalau dihayati dengan spiritualitas survive dan kesabaran akan berbuah manis. Elisabeth istri imam Zakaria di usia yang sudah layu memperoleh hasil dari hidup doa. Dia mengandung seorang anak.
Kata-kata orang seperti, “Menjadi apakah anak ini nanti? Sebab tangan Tuhan menyertai dia”, adalah ungkapan ketakjuban akan rahasia kekuatan spiritualitas doa keluarga imam Zakaria.
Renungan: “Spritualitas ketekunan dalam doa adalah sebuah jalan proses. Setiap momen di dalamnya, mesti dikunyah, dinikmati, dihayati dan disyukuri.”
Tuhan memberkati.