Mat 12:14-21
Sering kali orang beranggapan bahwa seorang pemimin umat beragama tidak mungkin melakukan kejahatan. Pengetahuan agama yang sudah mencapai tingkat tinggi memungkinkan dia untuk tidak melakukan kejahatan. Penampilan dengan busana keagamaan yang menjadi ciri khas semakin menambah kesan wibawa dan kesan keagungan sikap perilakunya.
Tetapi faktanya sebutan pemimpin agama dan cara penampilan dengan baju kebesaran tidak bisa menjadi tolok ukur bahwa yang bersangkutan benar-benar suci.
Bahkan pesan ayat-ayat suci yang keluar dari mulut mereka pun belum bisa menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar hidup saleh.
Ironis bukan? Itulah manusia. Agama bisa dibuat sandiwara, sinetron, wayang, dan drama dalam kehidupan riil.
Ketika Kitab Suci kita menyebutkan bahwa orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh Tuhan Yesus, bukankah mereka adalah orang yang beragama?
Bahkan mereka adalah pemimpin spiritual. Jelaslah mereka tahu bahwa membunuh orang benar itu berdosa.
Akan tetapi, mengapa mereka melawan seruan Allah yang mengatakan, “Jangan membunuh”. Apa gunanya lagi kalau aktivitas keagamaan berjalan beriringan dengan melawan perintah Allah? Maka benarlah apa yang disampaikan Tuhan Yesus. Mereka ini hanya memiliki pengetahuan agama, tetapi tidak melakukannya. (Mat 23:3)
Apa untung yang diperolehnya?
Bukankah sebutan manusia beragama sebagai orang baik itu, lebih mulia daripada disebut sebagai pembunuh?
Seandainya, semua pertanyaan ini muncul di setiap hati manusia untuk mengoreksi hidup keagamaannya, maka pastliah kesadaran untuk mengelola hati dan pikiran jahat dapat ditaklukkan.
Namun, ini semua kembali lagi pada manusianya. Orang benar seperti Tuhan Yesus memang tidak akan selalu dianggap benar di mata mereka yang suka mempermainkan agama. Selalu ada alasan dan motivasi manusiawi yang dibawa masuk ke dalam agama.
Mungkinkah ini yang di maksud oleh penutur post kolonial yang melihat fenomena manusia beragama kerapkali tergoda melewati “pelintasan” motivasi dari alam Ilahi menuju ke alam profan?
Dengan kata lain, agama sengaja mengebiri alam Ilahinya supaya alam profan segera lahir dan menjamur di dunia manusiawi.
Manusia melawan Tuhan memang tetap menjadi kasus tua yang relevansinya masih berakar kuat sampai di dunia manusia saat ini.
Manusia jahat selalu menjadi masalah buat Tuhan dan Tuhan sebagai orang benar selalu menjadi masalah buat manusia jahat. Narasinya, akan berjalan seperti ini terus. Apakah ada cara untuk mengatasinya?
Lagi-lagi, kita sendiri yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tuhan Yesus pernah mengalami hal ini. Dia mati karena manusia beragama salah memahami agama.
Renungan: Bagaimana dengan kehidupan beragama kita?
Tuhan memberkati.