Mat 11:20-24
TINGGAL di pedalaman Kalimantan seperti halnya daerah Apau Kayan sangat penting bagi saya untuk belajar melihat dan mengenal medan dengan baik.
Kesadaran seperti ini, saya peroleh ketika idealisme pelayanan terbentur dengan medan karya yang kadang tidak “bersahabat” dengan kemauan yang saya harapkan.
Dalam perjalanan turne menggunakan motor dari stasi wilayah Sungai Boh menuju pusat Paroki St. Lukas Apau Kayan, saya pernah terjebak sendirian di dalam hutan.
Cuaca hujan, banjir, dan lumpur membuat perjalanan menjadi lumpuh. Sebelum berangkat turne, umat sudah mengingatkan supaya jangan tergesa-gesa untuk pergi tourne bila cuacanya belum memungkinkan.
Atau pun, bila mau nekat ajaklah beberapa umat dan bawalah bekal dalam perjalanan supaya kalau macet dan lapar di jalan ada yang menemani dan ada yang bisa dimakan.
Namun, karena ambisi kehebatan dan keras kepala mana mau mendengarkan nasihat umat. Saya lebih mendengar suara saya sendiri.
Nah pada saat saya terjebak sendirian di hutan, ada umat yang menyindir begini:
“Kita mau bilang dia bodoh, tetapi dia pastor. Mau kita bilang dia pintar, tetapi faktanya dia juga bodoh tidak mau dengar masukan dan nasihat kita. Kalau dia mati di hutan karena kelaparan, kita juga yang repot mencari dia ke sana. Pastor yang tidak mau mendengarkan nasihat umatnya itu, senang mengajak umatnya kerepotan.”
Ketika bahasa sindiran umat ini tiba di telingaku, saya menjadi malu.
Ya… hidup seorang imam memang perlu belajar kerendahan hati. Selain itu, imam perlu belajar dari umat yang sudah banyak “makan garam”.
Dalam level “teologi yang membumi”, umat adalah pakarnya. Sedangkan untuk urusan ide teologi yang melangit, pastor adalah gurunya.
Jadi, imam perlu memahami keterbatasannya. Teologi “langitnya” para imam perlu berkolaborasi dengan “teologi buminya umat”.
Sehingga sinergi demikian menampilkan sebuah hikmat yang mengakar sekaligus membumi. Demikianlah relasi d iantara keduanya.
Dalam kecaman Tuhan Yesus melalui Injil hari ini, kita disuguhi oleh sebuah pemandangan hidup yang tidak elok. Tuhan Yesus berhadapan dengan manusia yang keras kepala.
Mereka hidup semaunya sendiri. Tidak mau diatur, dinasehati, dibimbing, diajar, dan dibina. Lebih parahnya lagi, tidak mau bertobat dan tidak mau mendengarkan suara Tuhan Yesus.
Betul kata seorang guru rohani, “Di mana suara Tuhan tidak didengarkan, di sana bencana pembinasan akan terjadi.”
Peristiwa Sodom dan Gemora adalah faktanya.
Kisah saya di atas yang tidak mendengarkan nasihat umat saja sudah berakibat fatal. Yaitu, motor dan badan sampai tertanam di lumpur. Dan saya mesti menginap di hutan tanpa tenda. Tanpa teman, selain bebunyian binatang rimba.
Apalagi kalau mengabaikan suara Tuhan bisa lebih repot lagi. Lebih baik hidup dibina dengan maksud yang baik daripada hidup dibinasakan Tuhan.
Petuah bijak dari Yesus bin Sirakh berkata, “Seorang anak yang keras kepala hendaklah kau jagai dan bina dengan keras, supaya engkau jangan dijadikannya tertawaan musuhmu, buah mulut di kota dan pokok obrolan orang banyak; janganlah engkau dipermalukannya di depan sekalian orang.” (bdk. Sir 42:11).
Renungan:
Janganlah malu untuk mengajar orang bebal dan bodoh, atau orang beruban yang bertengkar mulut dengan pemuda. Maka engkau nyata sungguh terdidik dan terpuji di depan sekalian orang (Sir 42:8)
Tuhan memberkati.