Apau kayan, 23-9-2022
Luk 9:18-22
SAAT ini, umat di pedalaman Apau Kayan sedang sibuk berladang. Mereka ke ladang hari Senin dan baru balik ke kampung hari Sabtu. Jadi, lima hari mereka menginap di pondok ladang.
Sistem ladang berpindah ini sudah menjadi budaya hidup turun menurun, karena umumnya lokasi ladang yang sangat jauh dari kampung tempat mereka tinggal.
Berladang tidak saja untuk memenuhi kebutuhan pangan, juga melestarikan ikatan spiritual petani dengan tanah dan leluhurnya.
Pola ladang berpindah ini telah membentuk iman rohani dan jasmani mereka.
Bagi sebagian orang berpikir bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai pada hari Minggu di gereja, pada saat doa lingkungan atau pun pada saat berdoa.
Tidak demikian hidup rohani umat pedalaman Apau Kayan.
Justru mereka bertemu Tuhan dalam cara hidup yang keras, termasuk pada saat mereka sedang melakukan aktifitas ladang berpindah. Hidup rohani justru mereka temukan dalam pola hidup jasmani seperti aktivitas tersebut.
Tuhan mereka temukan dalam keringat mereka saat memotong kayu, membakar ladang, menugal benih padi, merumputi ladang, dalam panas terik matahari yang menyengat tubuh mereka seharian bekerja, dalam kedinginan malam di pondok di ladang, dalam kehujanan dan dalam seluruh kesederhanaan hidup mereka sehari-hari.
Bahkan Tuhan mereka temui dalam berburu binatang di hutan, dalam situasi banjir dan dalam lumpur di jalan saat mereka balik ke kampung.
Ringkasnya, Tuhan tidak mereka temukan dalam dunia serba menunggu seperti, “duduk diam”.
Tuhan yang mereka temui adalah Dia yang tidak “mau diam”, yang begerak aktif dalam dunia keringat dan peluh karena kesibukan kerja berladang, dan semacamnya.
Dalam pengalaman yang tidak biasa yang umumnya dianggap oleh orang kota sebagai pola hidup “primitif” inilah, mereka bisa menemukan keberadaan Tuhan.
Bagi orang di luar sana yang terbiasa hidup dengan pola hidup modern bisa menganggap ini sebagai pola hidup “kegilaan”.
Untuk orang kota, “Kesunyian dengan segala kerumitan” hidup orang pedalaman sulit dicerna dan diterima oleh budaya kota yang mengusung budaya modern.
Akan tetapi, bagi mereka malah alam yang mengusung “kesunyian dengan kerumitannya” justru bisa menempa hidup mereka untuk semakin bisa menemukan jati diri, hakikat hidup dan keintiman yang mesra dengan sang pencipta.
Tahun-tahun awal ketika pertama kali saya menginjak kaki di tempat ini, saya merasa seperti nasib umat Israel yang hidup di pembuangan.
Saya benar-benar stres dan frustasi. Sampai saya lelah dan tidak tahu lagi apa artinya menangis. Tubuh, pikiran dan hati manusiawi saya benar-benar reaktif dan menolak dengan segala bentuk kenyataan hidup yang mereka usung.
Kataku, “Saya mau cari apa di tempat ini? Mungkinkah imamatku bisa bertumbuh di alam dan kenyataan hidup umat seperti ini?. Saya imam anak dari seorang petani sederhana di desa nun jauh di sana, masa datang kemari cuma mau mengalami nasib serupa dengan mereka?
Oh… Tuhan, ini benar-benar tidak adil bagi hidupku. Buat apa saya menderita belajar filsafat dan teologi yang “melangit”, bila pada akhirnya saya hidup di pembuangan seperti ini? Mungkin saya bukan orang yang beruntung dalam hidup ini”.
Hari demi hari, bulan berganti bulan dan tahun silih berganti, pada akhirnya egoku mengalah dan mulai belajar pelan-pelan untuk menerima kenyataan hidup dan mencintai pola hidup mereka di tempat ini.
Tuhan sepertinya sedang mengajar saya untuk mencari Dia di alam yang sunyi dan menantang serta pola hidup seperti mereka.
Tuhan sedang menyembunyikan Diri-Nya dalam dunia kesederhanaan hidup mereka.
Di situlah saya mesti giat mencari-Nya. Dan pada akhirnya ketika egoku sudah mulai memudar, mengendur dan lesu di makan waktu, usia dan alam yang menantang dan sunyi, kesadaran hidup rohani pun mulai mekar dan bertumbuh.
Akhirnya, bersama melalui hidup kesederhanaan mereka pun saya menemukan kembali hakikat dan jatidiriku. Dan lebih daripada itu, saya menemukan Dia yang tersembunyi di alam yang sunyi dan menantang di sini.
Dia yang tersembunyi di tubuh dan wajah umat-Nya yang sederhana dan Dia yang tersembunyi dalam cara hidup mereka. Tuhan Yesus sungguh-sungguh hadir di situ.
“Amazing. Saya pun menjadi betah hidup dan sudah jatuh cinta dengan tempat ini. Ini sudah tahun ketujuh saya hidup di sini.
Terimakasih Tuhan untuk semua berkat dan rahmat-Mu. Engkau telah menghajar egoku dan mengajar hidupku untuk mencari wajah-Mu di jalan hidup umat-Mu yang sederhana, di alam yang sunyi dan menantang serta pada pola hidup umatmu di sini.
Tuhan Yesus adalah “berlian” yang menyembunyikan dan menampakan diri dalam tubuh dan wajah umat-Nya yang sederhana di pedalaman.
Refleksi: Siapakah Tuhan Yesus bagiku?