SEMENIT keraguan besar menghinggapi sudut-sudut relung hati kami, terutama ke-5 penumpang dari Jakarta dan Pontianak menjelang pesawat ultra light jenis Pilatus lepas landas dari runway Bandara Internasional Moses Kilangin, Timika di Papua.
Keraguan itu tersimpul dalam sejumlah pertanyaan bernada ketakutan dan kecemasan.
Misalnya, apakah pesawat kecil ini mampu mengudara? Apakah pesawat ini mampu membawa kami –tujuh orang penumpang– dengan beban 800-an kg bagasi dari Timika menuju Agats?
http://www.sesawi.net/2013/07/03/kisah-tentang-agats-asmatteledor-jadi-rahmat-2/
Pertanyaan-pertanyaan itu menyergap perasaan kami. Maklumlah, penerbangan rute Timika-Agats itu menempuh waktu terbang selama satu jam. Belum lagi –selain Irene Setiadi, Istijarto dan Bapa Uskup Mgr. Aloysius Murwito OFM— kami yang berjumlah empat orang ini belum pernah pergi ke Agats. Apalagi harus naik pesawat capung super ringan dengan satu-satu baling di depan moncong pesawat.
Empat orang yang belum pernah tiba sampai di Agats adalah penulis, Lily, Hendra Kosasih dan Sr. Sylvia KFS dari Pontianak.
Tailing
Namun, sejurus kemudian pesawat Pilatus itu pun mampu melesat ke udara membawa kami ber-7 berikut semua barang-barang kami. Tentu saja, di dalam kabin pesawat yang super sempit itu, kami harus rela duduk berdesak-desakan.
Selain deru mesin pesawat yang kencang, hati kami dibuat ciut oleh pemandangan di bawah. Itu terjadi, tak lama setelah pesawat ultra ringan berjenis Pilatus buatan Swiss ini berhasil meninggalkan runway Bandara Internasional Moses Kilangin Timika.
Bapak Uskup menunjukkan kepada kami, jauh di bawah perut pesawat ada hamparan kawasan hutan yang telah rusak oleh limbah industri tambang. Istilah kerennya adalah ini: kawasan hutan itu telah dibuat rusak dan ekosistemnya telah hancur oleh tailing.
Tailing adalah pembuangan sisa-sisa pertambangan dan itu mengalir di sungai-sungai besar yang membelah kota Timika dengan kawasan hutan.
Bak seperti gurun pasir putih, hamparan berisi limbah industri pertambangan pasti menyisakan duka cita bagi penduduk setempat.
“Sampai kapan pun, kawasan itu akan menjadi tanah mati dan tak satu tumbuhan bisa ditanam di situ,” papar Bapak Uskup setengah berteriak ke telinga kami agar bisa menandingi kencangnya deru mesin pesawat.
Kapas dan ular di udara
Selang beberapa menit kemudian, hamparan pemandangan tailing telah berganti rupa. Kali ini, di bawah perut pesawat, tergelar pemandangan alam yang sangat eksotik.
Kawasan hutan lebat seluas mata bisa memandang tersaji di depan mata. Kami mencoba melongok menyaksikan pemandanan alam dari udara itu melalui jendela pesawat yang sempit.
Lalu, di ujung moncong pesawat dan kiri-kanan baling-baling ada bola-bola awan yang sekilas seperti kapas-kapas raksasa berterbangan di udara.
Nun jauh di sana, uliran sungai terhampar di depan yang menghubungan daratan, hutan, dan perairan Laut Afafuru yang biru. Beberapa sodetan sungai yang dalam istilah di Agats disebut ‘sungai potong’ dari atas seperti terlihat bak ular-ular raksasa menyusuri jalannya aliran air di daratan.
Bola-bola kapas di udara dan ular-ularan air sungai adalah pemandangan indah yang begitu khas, ketika pesawat Pilatus milik AMA (Associated Mission Aviation) –Maskapai Missi Katolik– ini berhasil melibas tanpa hambatan langit dan udara Timika menuju Agats.
Bandara Pedalaman Ewer dengan landasan baja
10 menit sebelum akhirnya mendarat di ‘bandar udara seadanya’ yang super mungil di Pedalaman Ewer, pesawat Pilatus itu membuat maneuver udara yang sedikit menghentak kantuk kami. Ada semacam goncangan, ketika pesawat itu mengurangi kecepatan dan kemudian menukik turun mengurangi ketinggian.
Kami sedikit dibuat terkejut, namun juga terkesima.
Dimana akan mendarat? Tidak ada landasan pacu beraspal di depan.
Yang ada hanyalah sungai-sungai, hutan dan laut. Ternyata di sisi kiri kami ada semacam runway sederhana yang di bebeberapa sudut badan jalan itu tertutup oleh rumput tebal.
Di atas sebuah runway dengan alas besi baja inilah, pesawat ultra ringan Pilatus ini akhirnya mendarat dengan sangat mulus.
Kepala bisa putus
Kali ini, kami tidak mau bertepuk tangan. Itu karena, meski roda pesawat sudah berhenti pada suatu titik dengan sempurna, di moncong pesawat baling-baling itu masih berputar sangat kencang.
Kebisingan masih terdengar di dalam kabin pesawat, ketika gerobag-gerobag bagasi datang menghampiri badan pesawat dari sisi samping.
Ketika seorang calon penumpang nekat mendekati badan pesawat, tiba-tiba pilot itu bersuara keras menghadirnya sangat tegas: “Bapak, lain kali jangan masuk dekati pesawat dari depan. Apalagi, datang dari arah depan ketika baling-baling belum berhenti. Kepala Bapak bisa putus,” katanya sangar.
Saya yang duduk persis di belakang kursi pilot dan berjejeran langsung dengan Bapa Uskup langsung kaget; tak mengira kalau pilot itu bersuara keras dan tegas.
Bapak Uskup mengiyakan, kalau prosedur mendekati pesawat ketika baling-baling masih berputar merupakan kesalahan serius dan berisiko fatal. (Bersambung)