Dalam dua pekan ini, saya bertemu dengan dua perempuan karier. Silakan panggil Yuni dan Dewi.
Kisahnya senada, arahnya berbeda. Usia keduanya berkisar 40 tahun, dengan masa kerja sekira 20 tahun.
Yuni minta dukungan untuk kariernya yang beranjak naik. Dewi sebaliknya.
Yuni bertemu di ruang rapat kantornya, di dampingi atasannya yang juga perempuan hebat. Dewi berdalih dengan mentraktir di Mal Pacific Place. Dua-duanya mengobrol seru, hampir dua jam.
Entah, apakah sesudah itu mereka mendapatkan “sesuatu” dari saya.
Pertama, kisah tentang Yuni.
Dua bulan lalu, atasannya bertanya pendapat saya, bagaimana jika Yuni dipromosi menjadi manajer SDM yang sedang lowong.
Saya tak terlalu mengenal Yuni. Yang saya tahu, dia tak punya latar belakang (pendidikan) SDM. Dinilai performed di tempatnya yang lama, core profession dari perusahaan. Tapi dia “menerima saja”, ketika sekian tahun lampau, ditawari pindah ke bagian SDM. Padahal pengalamannya minimal.
Kemudian, Yuni bekerja keras. Dia mengambil banyak program pelatihan di bidang baru. Bacaan dan video pendek dilahapnya, bahkan di kala akhir pekan dan cuti. Singkat kata, masalah teknis yang baru baginya, berhasil dikuasai. Puji Tuhan.
Saya mulai paham maksud Yuni bertemu saya. Bukan masalah pekerjaan. Sekedar menguatkan mentalnya.
Yuni tak pede hati saat harus memimpin tim yang kebanyakan anggotanya berlatar belakang SDM. Sementara dirinya seolah “anak kos”.
Dengan tegas saya patahkan keragu-raguannya.
“Tak ada yang harus dikhawatirkan. Buang ketidak-PD-an itu, lanjutkan kiprahmu.
Banyak dan cepat belajar hal-hal baru, perkokoh adaptabilitas dan jangan takut salah melangkah”.
Tausiah saya lanjutkan.
Era kini, masalah teknis apa pun, dengan mudah dipelajari. Ada “internet of thing” bahkan tersedia “artificial intelligence”.
Yang lebih sulit adalah memperkokoh budaya organisasi, terutama pelayanan prima. Jangan lupa, terus sesuaikan diri dengan situasi yang cepat berubah.
Saat mengakhiri pertemuan, saya kutip nasihat mantan atasan, ketika saya dipindah ke bagian SDM.
Ada dua kriteria untuk sukses menjadi pengelola SDM. “Passion to the people development” dan “common sense“.
Sambil tersenyum tipis, Yuni mengucapkan terima kasih. Suaranya tersekat di tenggorokan. Mungkin terharu karena mendapat promosi di bidang yang belum lama dikenalnya. Semula, bermimpi pun tak pernah. Happy ending.
Pertemuan dengan Dewi lebih seru. Sambil menyantap masakan Italia di depan kami, dia berucap lirih:
“Pak, saya mau resign.”
Terus terang saya terkejut, tapi berusaha tenang mendengarkannya.
Saya mengenal Dewi sudah lama. Bahkan dengan suami dan anak-anaknya pun kami akrab.
Dewi smart. Antusias dalam bekerja dan tak lelah mengejar hal baru. Beberapa kali dia pesan saya untuk mengajak diskusi masalah teknis yang dihadapinya. Padahal saya bukan siapa-siapa.
Memang bukan tentang SDM, tetapi akal sehat saya masih mampu menjawabnya. Yang istimewa, Dewi PD terhadap dirinya. Ini poin penting.
Sambil mengunyah brokoli goreng tepung yang lezat, panjang lebar dia curhat. Singkatnya, Dewi bermasalah dengan atasannya.
Baik kualitas mau pun kuantitas kerja, ketergantungan bosnya kepada dia cukup tinggi. Di situlah drama dimulai.
Beberapa kesempatan mengisi posisi internal yang lowong (seharusnya) mampu diisinya, tapi seakan “dihalangi” atasannya.
Pak bos dinilai posesif hingga kesempatan promosi spiral selalu gagal.
Dewi patah arang. Dia mencari peluang lain.
Saya tak berkomentar apa pun, selain mendukung rencananya. Agak terlambat untuk melakukan restorative steps, meski saya mengenal baik keduanya.
Pesan saya hanya satu, lakukan sebaik-baiknya. “Jangan ada dusta di antara kita”.
Pelajaran yang bisa dipetik dari Yuni dan Dewi adalah bahwa dunia kerja didominasi oleh pentingnya relasi antar pelakunya. Sekali lagi, masalah teknis semakin mudah dikuasai, asal seseorang mau dan mampu belajar (learning ability) dan bergerak lincah (agility). Tak ada problem interrelasi yang tak bisa diselesaikan.
Sebelum Dewi menyelesaikan tagihan restoran, saya sempat menitip pesan untuk dia.
Ingat dua aspek penting dalam bekerja, yaitu “senang dalam bekerja” dan “recognition yang memadai”.
Salah satu absen, maka kepuasan kerja (job satisfaction) akan terbang ditiup angin entah ke mana. (Two Factor Theory, Frederick Herzberg)
“The only way to do great work is to love what you do. If you have not found it yet, keep looking. Don’t settle.” (Steve Jobs)
@pmsusbandono
3 Maret 2023