Pengantar
Beberapa hari lalu ketika berada di Surabaya, ada seorang bapak berkisah sambil menunjuk beberapa rekan bapa yang duduk semeja denganku.
Katanya: “Bapa Uskup, mereka ini adalah orang-orang luar biasa, karena bisa mencari dana dan membangun gedung gereja yang bernilai 40 Milyar.”
Nafasku seakan tertahan; sedikit sambil bermimpi. Seandainya dana Rp 40 milyar itu diberikan kepadaku, maka pasti saya sudah bisa membangun 30-35 gedung gereja di paroki dan stasi pinggiran.
Tapi itulah faktanya. Nikmati hidup tanpa kelihatan adalah wujud iman pada Yesus.
Ikutilah kisah Romo Erol yang melayani umat kecil di Pulau Taliabu yang tanpa gedung gereja; tetapi Gereja sesungguhnya telah terbangun di dalam hati dan jiwa mereka.
Pas “Duc in altum”, eh dapat 11 jiwa
Tiga pekan lalu, untuk pertama kalinya saya merayakan ekaristi di Dusun Sampe. Dusun ini adalah sebuah dusun yang belum lama terbentuk. Masyarakatnya berasal dari sebuah kampung yangg dulunya dikenal dengan nama Beha.
Namun, kampung ini sebenarnya sudah tidak ada lagi. Karena masyarakatnya telah pergi berpencar ke mana-mana; termasuk beberapa keluarga yang datang tinggal di pesisir pantai dan kemudian menamakan tempat itu: Dusun Sampe.
Umat Katolik yang dulu dibaptis oleh Romo Thomas Ratuanak di Kampung Beha juga berpindah ke Dusun Sampe ini. Maka saya datang untuk mengunjungi mereka. Meskipun jumlahnya hanya 2 KK dan merayakan ekaristi bersama.
Saya sempat berkelakar, “Akhirnya saya berhasil sampe di Sampe”.
Setelah perayaan ekaristi, saya berjanji bahwa saya akan datang kembali untuk merayakan misa bersama. Saya berani berjanji. Itu karena akses jalannya sudah lumayan baik, meskipun harus bayar Rp 50 rupiah setiap kali lewat “embatan gantung. Dan kelihatannya, mereka semua senang. Terlihat karena ada senyum di wajah mereka.
Maka pada hari Minggu Biasa ke V ini, saya memutuskan datang lagi merayakan misa di Dusun Sampe ini bersama Diakon dan para katekis. Dan saya sungguh bahagia, karena bertepatan dengan bacaan Injil di mana Yesus menyuruh mereka agar segera “Bertolak ke tempat yang dalam”.
Saya datang merayakan ekaristi di dusun ini, membaptis 11 anak.
Selaku imam muda dan pastor di paroki pinggiran, ini merupakan sukacita, meskipun perayaan ekaristi itu hanya bisa digelar di sebuah gubuk kecil yang adalah rumah milik Bapak Andreas. Karena itu, di dalam hati dan sambil meminjam motto pastoral Bapak Uskup Keuskupan Amboina Mgr. Seno Ngutra, saya lantas berucap “Pas Duc in altum, eh dapat 11.”
Bagi saya pribadi, ini bukan sebuah cerita kesuksesan, tetapi sebuah ungkapan sukacita. Saya benar-benar bercermin dari Bapak Uskup. Beliau sangat menghayati motto pastoralnya: Duc in Altum. Sehingga ia telah mengunjungi semua umat Keuskupan Amboina di pelosok mana pun; termasuk Paroki Taliabu di wilayah Provinsi Maluku Utara.
Ini benar-benar menjadi motivasi dalam pelayanan sebagai seorang imam muda di daerah pinggiran. Di mana di tengah perkembangan dunia yang begitu pesat, kita masih menghadapi tantangan klasik era tahun 1990-an yakni jalan rusak, sinyal jelek. Juga belum ada listrik; bahkan belum ada gereja dan stipendium “terimakasih”.
Karena itu, sebagai penutup tulisan ini, saya mau mengatakan: Terimakasih Bapa Uskup untuk teladannya. Doakan kami para imammu, khususnya yang berkarya di daerah pinggiran.
Dan kepada Tuhan, terimakasih untuk pengalaman indah hari ini.
Salam
Romo Erol