UMAT Katolik belum tentu tahu, misalnya saja, tentang “tradisi” Liturgi Gereja yang selalu menutup semua patung dengan kain berwarna ungu selama Masa Prapaskah. Lalu, mengapa tidak ada Perayaan Ekaristi usai Perarakan Sakramen Maha Kudus di Hari Kamis Putih sampai menjelang Perayaan Vigili Paskah. Mengapa juga, misalnya, Lilin Paskah kemudian ditarik dari altar untuk sementara waktu “disembunyikan”di Sankristi, namun pada saat-saat tertentu bisa “ditampilkan” kembali di altar sesuai kebutuhan.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana namun menyangkut esensi “pengetahuan” iman dan tradisi Liturgi Gereja Katolik itu kadang dianggap “sepele” oleh para frater calon imam.
Padahal, informasi-informasi penting seperti ini justru menemukan relevansinya di kalangan Umat Katolik, ketika muncul pertanyaan-pertanyaan seperti di atas namun nyatanya tidak tersedia “jawaban cepat dan tepat” yang mengisi “kehausan” informasi seperti itu.
Urusan sangat sederhana, namun malah sering tidak mendapatkan porsi perhatian dalam proses pendidikan calon imam.
Memanglah sangat remeh-temeh dan malah tidak diperhatikan, padahal hal itu justu menjadi penting bagi Umat Katolik, ketika berbagai pertanyaan fundamental atas “hal-hal sederhana” itu perlu jawaban tepat, benar dan informatif.
Literasi media untuk katekese iman
Dalam konteks kepentingan formatio dan proses pembinaan para frater calon imam inilah, Komisi Seminari KWI lalu merasa perlu mengadakan program pembinaan keterampilan dan pengetahuan media literasi untuk misi katekese iman.
Nah, program literasi media hasil gagasan forum Rektor Seminari Tinggi tahun 2018 itu akhirnya terlaksana di Rumah Retret Pangesti Wening, Susteran Konggreasi OSF di Ambarawa, Jateng, 1-4 Juli 2019.
UU ITE da bantuan partisipatif
Dan, rupanya gayung pun bersambut.
Kantor Kementerian Agama RI merespon positif atas digelarnya program bina keterampilan literasi untuk para frater calon imam dan para pastor Pembina mereka. Buktinya, Direktur Urusan Pendidikan Katolik Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kemenag RI Fransiskus Endang SH, MSi bersedia menyempatkan diri hadir menyemangati para peserta dan pengampu program ini.
Hadir sejak acara awal, maka usai Misa Pembukaan dan makan malam, Fransiskus Endang tampil ke mimbar untuk memberi ulasan dan paparan informatif kepada para peserta.
Dengan gayanya yang kocak penuh inspiratif, Fransiskus Endang memberi informasi penting antara lain sebagai berikut. Yakni, program-program pembinaan komunitas Katolik atau gerakan umat Katolik itu kemudian bisa ditawarkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik untuk dimintakan bantuan partisipatifnya.
“Saya sangat mengapresiasi inisiatif Komisi Seminari KWI untuk mendesain program pembinaan untuk para frater calon imam berikut para pastor pembinanya dan menginformasikan hal itu kepada kami,” kata Endang, mantan pengacara pengacara yang pernah berkarir di jalur pembelaan hukum selama 10 tahun di hadapan para peserta.
Dunia digital dan seluk-beluknya –termasuk UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)– dipaparkan dengan menarik oleh Donum Theo, alumnus Seminari Mertoyudan yang kini berkarier sebagai Aparatur Sipil Negara di Kominfo.
Donum, misalnya, berkisah tentang rambu-rambu yang mesti dicermati oleh setiap pemakai platform medsos agar tidak terkena tuduhan pelanggaran UU ITE.
“Bahkan yang paling sederhana pun, banyak orang sering kali tidak ngeh ternyata telah melakukan ‘pelanggaran’ yakni suka menyebarkan informasi yang sifatnya personal misalnya foto orang lain tanpa seizin dan sepengetahuan ‘pemilik’ foto,” papar Donum Theo.
Membumikan iman Katolik
Pengetahuan tentang “rambu-rambu” UU ITE plus dukungan Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kemenag RI meretas program bina para frater calon imam plus para pastor pembinanya telah menjadi warna diskusi dan paparan di hari pertama.
Bak bensin dituangkan dalam kobaran api, maka paparan-paparan tersebut ikut “membakar” semangat para frater plus para suster yang oleh Komisi Seminari KWI ditantang untuk mampu “membumikan” butir-butir iman Katolik dalam bentuk paparan informatif dan atraktif.
Ini baru hari pertama.
Dinginnya hawa musim mbedhidhing di Ambarawa seperti tak berimbas banyak terhadap para peserta program bina para peserta lokakarya bertema “Digital Creativity Using Smartphones for Adolescents” dari enam Seminari Tinggi se Jawa.
Begitu pula, para pengampu program dari Paguyuban Gembala Utama (PGU) yang telah “dijawil mesra” oleh Sekretaris Komisi Seminari KWI Romo J. Kristanto Suratman Pr untuk menjadi pengampu dan fasilitator program ini.
Sungguh, dinginnya Ambarawa tak sampai mampu “melibas” tingginya antusiasme para peserta, pengampu dan fasilitator program ini.
Justru, sejuknya hawa Ambarawa menjadi atmosfir yang menyenangkan untuk menikmati hari-hari sibuk di Rumah Retret Pangesti Wening yang dikelola oleh para Suster Kongregasi OSF.
Menyenangkan, karena lokasi lokakarya ini hanya selemparan batu dengan Gereja Katolik St. Yusup Paroki Ambarawa, Gua Maria Kerep, Museum KA Ambarawa, dan kawasan “Puncak” berhawa dingin Bandungan yang berlokasi tidak jau dari Ibukota Provinsi Jateng. (Berlanjut)