HARI terakhir di bulan April –persisnya tanggal 30 April 2019— pastilah akan menjadi hari bersejarah bagi para suster St. Agustinessen – Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) di Ketapang, Kalbar.
Di rentetan hari paling bontot bulan April 2019 inilah, OSA mendapat kepercayaan dari KWI –khususnya Dana Pensiun KWI—untuk mengawal dan mengurus manajemen kelola Krematorium-Kolumbarium Oasis Lestari di Jl. Gatot Subroto Kav 7-8, Jatake, Kabupaten Tangerang, Banten.
Tidak ada acara gunting pita lazimnya “pesta inaugurasi’ mengawali projek atau program kerja baru, melainkan Perayaan Ekaristi itulah yang menjadi penanda penting bagi karya awal pertama Kongregasi OSA di lingkungan kerja DP-KWI dan juga di wilayah pastoral gerejani KAJ.
Karena itu, tidak mengherankan kalau ‘pesta inagurasi’ ini menjadi lebih meriah, karena hadir Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi, Dirut PT Danita Oasis Lestari Ny. Bernadette Ania Desliana, Manajer SDM Ny. Florentina Bowo Rini Sunarsasi, dan segenap perangkat staf DP KWI seperti Sr. Ayda OSU (Bendahara DP-KWI), Bpk. Heru Riyanto (Badan Pengawas DP-KWI), dan Romo Petrus Yuwono Hendro Prasetyo MSF (Anggota Direksi PT Danita), serta lainnya.
Sekedar diketahui, Rumah Duka Oasis Lestari dioperasikan oleh lembaga usaha berbadan hukum bernama PT Danita dengan anggota direksi lainnya adalah Romo Harry Sulistyo, imam diosesan KAJ.
Ketua DP-KWI Romo Roy Djakarya Pr, imam diosesan KAJ, berhalangan hadir dalam acara ini. Romo Harry juga berhalangan hadir.
Dari Ketapang, Kalbar, ikut ngombyongi (hadir menyertai) Pemimpin Umum Kongregasi Suster OSA Sr. Lucia Wahyu OSA, anggota Dewan Kongregasi Sr. Felisitas OSA, kolega jaringan OSA Indonesia Romo John Richard Yempurmase OSA di Ketapang, Romo Yap Ulini OSA di Tangerang (mahasiswa program S-2 STF Driyarkara) dan seorang frater OSA yang tengah menjalani program pembinaan.
Beberapa jaringan pertemanan OSA dari Jabodetabek dan Bandung ikut hadir ngombyongi peristiwa penting bagi OSA ini.
Mewakili paroki yang juga tidak terlalu jauh dari Oasis Lestari adalah Romo Stephanus Suwarno OSC dari Paroki St. Augustinus Karawaci, Tangerang.
Lompatan besar
Iman itu, demikian isi kata pengantar Mgr. Pius Riana Prapdi, adalah perkara tentang ‘lompatan’ sikap menghadapi hidup. Bacaan-bacaan Injil sepanjang hari-hari ini pasca Perayaan Paskah, demikian Uskup Keuskupan Ketapang ini seakan ingin memberi latar belakangnya, juga banyak bicara tentang apa yang disebutnya “lompatan” sikap hidup tersebut.
Setelah Yesus benar-benar mati dan kemudian dikuburkan, para murid Tuhan itu mengalami “lesu darah dan semangat”. Mereka menjadi manusia-manusia penakut dan maunya ingin bersembunyi saja. Yang dulu pernah berkobar-kobar bersemangat, kini melempem total.
Namun, peristiwa kebangkitan-Nya akhirnya mampu membawa para murid Tuhan itu kembali mereguk nyali hidup dan sekaligus mau berubah total.
“Inilah yang mau saya sebut sebagai ‘lompatan’ sikap beriman: dari orientasi diri sendiri ke orang lain seperti yang dialami oleh Nikodemus dan lainnya,” papar Mgr. Pius Riana Prapdi.
Topik tentang “lompatan” ini pula yang di ujung bulan April 2019 juga telah “menimpa” para suster St. Agustinessen (OSA).
Itu karena dari Ketapang –sebuah kota kecil di belahan selatan Provinsi Kalbar—para suster OSA itu kini telah “melompat” melewati pinggiran Pulau Borneo dan kemudian menyeberangi Laut Jawa hingga akhirnya tiba mendarat di Cengkareng dan kemudian “berlabuh” di Rumah Duka Oasis Lestari di kawasan Jatake, Kabupaten Tangerang, Banten.
Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi sengaja menyebut peristiwa itu sebagai “lompatan besar, karena inilah untuk pertama kalinya para suster St. Augustinessen (OSA) mulai berkarya di lingkungan kerja KWI dan kini sejak tanggal 30 April 2019 resmi mulai meretas kehadirannya di wilayah gerejani Keuskupan Agung Jakarta.
Pengalaman pribadi
Tentang “lompatan besar” itu, Mgr. Pius Riana Prapdi juga mengisahkan hidupnya sendiri sebagai contoh nyata bahwa dia tidak pernah bermimpi sekalipun bahwa sekali waktu harus “pindah kerja” melompati Laut Jawa dan kemudian mendarat di Ketapang. Sebelum didapuk menjadi Uskup Keuskupan Ketapang, Mgr Pius adalah imam diosesan Keuskupan Agung Semarang dengan tugas terakhir sebagai Vikjen KAS.
Sekedar informasi, luas areal wilayah administratif Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalbar ini –berarti juga wilayah reksa pastoral Keuskupan Ketapang- lebih besar daripada Provinsi Jateng.
Kini, tiga suster OSA itu telah melakukan”lompatan besar” itu dengan memulai karya baru mereka di tlatah Keuskupan Agung Jakarta di lingkungan kerja DP-KWI.
Ketiga suster OSA yang mendapat tugas pengutusan baru itu di Oasis Lestari itu adalah:
- Sr. Ignatia OSA: saat ini masih harus mengampu tugas sebagai guru sekolah katolik dan seminari menengah di Sintang, Kalbar, setidaknya sampai tahun ajaran sekolah selesai di bulan Juni 2019 mendatang. Sebelum mengampu tugas pendidikan di Keuskupan Sintang, Sr. Ignatia OSA menjabat Pemimpin Umum Kongregasi OSA.
- Sr. Yulia OSA: lama berkarier sebagai perawat di RS Fatima Kota Ketapang dan Pemimpin Komunitas (Piko) Biara Induk OSA Ketapang. Nantinya, ia akan menjadi Piko “Komunitas OSA Moeder Sr. Agneta” di Wisma Oasis Lestari
- Sr. Maria OSA: selama ini mengampu tugas sebagai sekretaris yayasan.
Komunitas Moeder Agneta van der Laan
Nama Moeder Sr. Agneta van der Laan OSA –Pemimpin Umum Kongregasi Suster St. Augustinessen di Biara Induk Mariënheuvel di Heemstede, Negeri Belanda— memang tidak pernah akan ngetop bagi umat Katolik di Indonesia.
Namun, nama suster OSA dari Belgia yang kemudian didapuk menjadi PU OSA Negeri Belanda ini jelas sangat “berbicara banyak” bagi sejarah misi para suster Augustinessen Negeri Belanda ke Indonesia.
Adalah Moeder Sr. Agneta OSA dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Umum Kongregasi OSA Negeri Belanda yang di akhir tahun 1948 telah melakukan langkah berani dengan mengambil keputusan penting: bersedia mengirim lima orang suster noni-noni Belanda ke Indonesia untuk mengawali misi OSA ke Ketapang –sebuah kawasan “dunia antah berantah” waktu itu.
Keputusan penting itu terjadi, setelah Sr. Agneta OSA mendapat masukan dan permintaaan tenaga suster dari Mgr. Tarcisius Henricus Josephus van Valenberg OFMCap selaku Administrator Apostolik Borneo-Hindia dari Pontianak.
Beliau sengaja datang menengok Biara Induk OSA Mariënheuvel di Heemstede, Keuskupan Harleem, Nederland, untuk bisa menemui Pemimpin Umum Kongregasi OSA Negeri Belanda.
Kepada Moeder Sr. Agneta OSA, Monsinyur van Valenberg OFMCap menyampaikan permohonan tenaga suster OSA yang nantinya bisa dikirim ke Borneo-Kalbar untuk mengurusi kerasulan pendidikan asrama dan layanan kesehatan di Ketapang.
Dua karya baru itu tidak mungkin bisa ditangani oleh para pastor misionaris Congregatio Passionis (CP) yang sudah mulai mengisi layanan reksa pastoral di Ketapang mulai tahun 1946.
Ini sekedar mengulik sejarah misi guna menolak lupa.
Proposal bagus dari Mgr. van Valenberg OFMCap itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh Pastor Stolwijk –Direktur Kongregasi OSA Negeri Belanda dengan argumen mendasar.
“Untuk pelayanan internal di Nederland saja, kami masih merasa kekurangan anggota. Jadi tak mungkinlah kami akan mengirim tenaga suster OSA ke Hindia-Belanda (baca: Indonesia),” begitu kurang lebih dasar penolakan Direktur Kongregasi OSA Pastor Stolwijk.
Namun demikian, lobi-lobi Mgr. van Valenberg OFMCam masih terus berlanjut hingga akhirnya Moeder Sr. Agneta OSA pun sampai luluh hati.
“Kalau akhirnya saya bersedia mengirim lima suster OSA ke Hindia-Belanda dan –siapa tahu—nantinya kelima suster St. Augustinessen itu misalnya mati karena sakit atau apa, maka itu sama saja mereka juga tidak akan pernah kembali lagi ke Nederland. Jadi kami bersedia mengirim lima suster misionaris OSA ke Hindia Belanda,” begitu kurang lebih jawaban Moeder Sr. Agneta OSA.
Dari 200-an suster yang “melamar” ingin jadi misionaris ke Hindia-Belanda, Moeder Sr. Agneta OSA akhirnya hanya memilih lima orang suster –semuanya masih sangat muda belia.
Kelima suster OSA terpilih –para misionaris OSA pertama itu— adalah Sr. Maria Paolo OSA, Sr. Euphrasia Laan OSA, Sr. Desideria OSA, Sr. Mathea Bakker OSA, dan Sr. Prudentia OSA.
Setelah meninggalkan Pelabuhan Rotterdam dengan menumpang kapal Willem Ruys yang berlayar ke arah Southampon (Inggris), Port Said dan Terusan Suez (Mesir), Colombo (Srilanka), dan Singapura, akhirnya mereka berhasil mendarat dengan sukses di Batavia.
Sedikit mengalami kesulitan administrasi dengan Jawatan Bidang Kesehatan milik Pemerintah Belanda di Batavia, akhirnya kelima noni-noni suster OSA Belanda itu berhasil terbang dengan pesawat capung Dakota menuju Pontianak.
Setelah meninggalkan Pelabuhan Sei Hi Pontianak dan kemudian berlayar seharian mengarungi perairan Laut Jawa menuju Ketapang, maka pada tanggal 6 Desember 1949 pagi hari kelima suster misionaris pertama OSA ke Indonesia itu akhirnya tiba di “Tanah Misi” Ketapang, Kalbar. Mereka sukahati menerima sambutan meriah berupa nyanyian lagu-lagu berbahasa Mandarin dan sedikit tari-tarian dari remaja Katolik Ketapang.
Itulah hari penting di mana lima suster muda misionaris OSA generasi pertama menginjakkan kakinya di Tanah Kayong (baca: Ketapang).
Kisah-kisah heroik di atas itulah yang menjadi alasan mengapa Pemimpin Umum Kongregasi OSA Sr. Lucia Wahyu OSA lalu memberi nama “Komunitas Moeder Agneta van der Laan ” sebagai identitas resmi Susteran/Biara OSA di lingkungan Oasis Lestari di Jatake, Kabupaten Tangerang. (Berlanjut)
PS: Artikel berita dengan penulis yang sama telah terbit di website resmi KWI di www.dokpenkwi.org