Diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu Bambang Ismawan dari Lembaga Bina Swadaya, Ibu Veronika Wiwiek Sulistyo (Forum Masyarakat Katolik Indonesia), dan Romo Franz Magnis Suseno SJ.
Bapak Bambang Ismawan sebagai aktivis berbagai organisasi dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) membagi pengalamannya sekaligus memaparkan bagaimana situasi sosial masyarakat saat ini. Pendiri Yayasan Bina Swadaya, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan pendiri majalah Trubus ini melihat permasalahan dasar yang terjadi di Indonesia adalah kesenjangan sosial yang begitu tinggi.
Hal itu saya refleksikan dengan melihat kondisi yang ada saat ini. Dimana saya melihat tidak sedikit dari masyarakat kita yang hidup bergelimang harta. Mereka menghamburkan uang untuk membeli barang-barang kelas atas, mengejar perkembangan teknologi biar tidak dibilang gaptek dan berpesta pora seolah esok tidak ada hari lagi. Namun ada pula masyarakat miskin yang untuk makan sehat sehari-hari saja tidak mampu. Mereka tinggal di bawah jembatan layang.Ya, setidaknya saya melihatnya dari kehidupan masyarakat Jakarta kelas bawah yang saya jumpai setiap hari saat berangkat dan pulang kerja.
Jurang sosial
Bambang Ismawan dalam presentasinya memaparkan beberapa penyebab terjadinya kesenjangan dan kemiskinan tersebut. Menurutnya kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti warisan penjajah, ketidakstabilan pemerintah, jebakan ketergantungan, devaluasi mata uang yang sangat besar, budaya KKN, bencana alam yang memiskinkan dan kerusakan alam. Dalam menyelesaikan tiga masalah pokok yang ada di Indonesia yakni ketidakberdayaan, kemiskinan dan keterbelakangan, Bambang mengajak masyarakat untuk mengambil bagian dalam penyelesaiannya.
Hampir sama dengan Bambang, Veronika mengetengahkan pelbagai masalah sosial dan langkah yang bisa dilakukan organisasi awam dalam membantu menyelesaikannya. Menurut dia, konsep kerasulan awam terwujud karena Gereja tidak dapat bergerak sendiri dalam membantu menuntaskan kemiskinan.
Masalahnya, organisasi dalam gereja Katolik seakan berjalan sendiri-sendiri. Organisasi dan komunitas-komunitas dalam Gereja tidak terkoordinir dan tidak memiliki kesatuan visi. Bahkan antarkomunitas saling cuek dan merasa sebagai saingan. Hal ini menyebabkan semangat merasul komunitas katolik di Indonesia tidak total dalam upaya meringankan berbagai masalah tersebut. Belum lagi banyak organisasi awam katolik yang hanya berkutat dalam konflik internal dan kaderisasi. Dalam hal terakhir ini, saya refleksikan dari berbagai organisasi atau komunitas yang pernah saya ikuti sebelum saya merantau ke Jakarta.
Menyenangkan, tapi …
Organisasi atau komunitas muda katolik yang pernah saya ikuti memang menyenangkan. Saya mendapat banyak pengalaman, kekeluargaan dan rasa kebersamaan dari komunitas tersebut. Namun yang saya rasakan adalah komunitas-komunitas saya tidak bergerak untuk menghasilkan sesuatu. “Sing penting ngumpul,” itulah yang menjadi keresahan saya dalam melihat komunitas awam muda kita.
Ini ‘nasehat’ Romo Franz Magnis dalam acara Kerawam KWI yang baru lalu. Menurut dia, untuk menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia dibutuhkan gerakan peduli dari diri sendiri. Gereja dan awam bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu karena sebagai umat yang meneladan Yesus Kristus kita harus selalu berpihak pada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Semoga Tuhan memberkati upaya-upaya kita. Amin.