Pengantar
Terpesona, ketika saya melayangkan pandangan sembari melihat sekeliling biara para suster kongregasi SdC (Soeurs de la Charité de Sainte Jeanne Antide Thouret). Dalam bahasa Indonesia, para suster sering dipanggil dengan nama Suster-suster Cinta Kasih Santa Yohana Antida Thouret (SdC).
Mereka antara lain berkarya di Keuskupan Sintang dan Keuskupan Agung Pontianak, keduanya di Provinsi Kalimantan Barat.
Jalan kecil itu panjangnya sekitar 800 meter dan lebarnya hanya cukup untuk satu badan mobil. Jalan itu menghubungkan gedung biara dengan jalan raya.
Barangkali belum ada rencana pelebaran jalan karena memang belum banyak aktivitas kendaraan roda empat di sekitar lokasi itu, selain kendaraan susteran.
Para suster pendahulu sengaja membangun gedung biara hampir di bagian ujung belakang lahan karena lokasinya sedikit lebih tinggi dan juga supaya lebih bisa menikmati keheningan akibat dari kebisingan di sekitar jalan raya.
Biara itu tampak mungil dari jauh, namun indah, teduh, dan nyaman ketika kita sudah berada di dalamnya.
Di dalam kompleks biara itulah ada kapel yang biasa digunakan untuk berdoa, mensyukuri segala anugerah, dan merayakan saat-saat bersejarah dalam hidup sebagai religius seperti perayaan kaul.
Mengunjungi Komunitas SdC Sintang
Kesempatan yang sangat berharga bagi saya, ketika boleh berkunjung ke Komunitas SdC di Pontianak dan Sintang Kalimantan Barat. Sudah lama saya impikan untuk bisa berkunjung ke tempat ini, namun baru tahun ini terwujud ketika saya menghadiri perayaan kaul kekal adik saya yang sudah bergabung dengan SdC sejak tahun 2007 silam.
Ada dua orang suster SdC yang pada waktu itu mengikrarkan kaul untuk seumur hidup mereka, yaitu Sr. Veronika Iki SdC dan Sr. Hendrika Herniwati Daeli SdC.
Perayaan kaul dipimpin langsung oleh Mgr. Samuel Oton Sidin OFMCap, Uskup Keuskupan Sintang, didampingi oleh 11 orang imam konselebran. Masih ada beberapa imam lain yang hadir dalam perayaan Ekaristi itu, namun tidak ikut berkonselebrasi.
Menurut informasi yang saya dapat, semuanya ada 28 orang imam yang hadir dalam perayaan kaul tersebut; banyak juga biarawan-biarawati dari tarekat lain yang ikut hadir serta mendukung mendoakan mereka yang mengikrarkan kaul, selain lebih dari 450 orang umat dan undangan.
Kehadiran banyak saudara dan sahabat serta kemeriahan pesta ini merupakan dukungan positif, tidak hanya kepada para suster yang mengikrarkan kaul, tetapi juga kepada SdC delegasi Indonesia yang telah hadir dan berkarya di wilayah Kalimantan dan beberapa tempat lain di Indonesia sejak puluhan tahun silam.
Mengolah tanah, memupuk panggilan
Selain memelihara gedung biara, para suster juga mencoba mengolah tanah yang mereka miliki. Mereka menanam berbagai jenis pohon buah, pohon karet, dan memelihara sejumlah ternak seperti ayam, babi, dan sapi.
Mereka juga memiliki sebuah kolam ikan yang di dalamnya terdapat beberapa jenis ikan yang dapat dipancing dan dikonsumsi sewaktu-waktu bila ada kebutuhan.
Tidak cukup mudah memelihara tanaman di lahan yang mereka miliki karena tanahnya berpasir dan berkerikil. Intinya, tanahnya kurang subur.
Tidak semua jenis tanaman (pohon) dapat tumbuh baik di sana kalau tidak lewat pemeliharaan dan pemupukan yang telaten penuh kesabaran. Suhu udara yang panas, ditambah lagi jenis tanah yang kurang subur mengakibatkan hasil yang diharapkan tidak memuaskan.
Meskipun demikian, para suster tidak menyerah pasrah. Tidak menyerah pada kondisi tanah apa adanya. Mereka ingin berhasil, mereka ingin mendapatkan panenan yang cukup meskipun tidak melimpah.
Mereka tidak mau membiarkan tanah luas yang kosong itu menjadi lahan tidak produktif. Usaha keras dan tidak kenal lelah ini membuahkan hasil meski tidak selalu berhasil sesuai dengan harapan.
Usaha mengolah tanah ini, menurut saya merupakan gambaran langsung bagaimana para suster memelihara, memupuk, dan menghidupi panggilan religius mereka sebagai biarawati.
Tidak selalu mudah karena jenis tanah berbeda-beda dan kemauan serta kemampuan masing-masing anggota juga tidak sama.
Namun, di tengah usaha mengolah tanah dan memelihara panggilan yang tidak selalu mudah apalagi di tengah ‘lahan’ (dunia) yang penuh tantangan ini, dua orang suster muda berani mengikrarkan komitmen untuk hidup dalam ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan seumur hidup mereka.
Mereka berani berkaul meskipun dunia semakin panas oleh berbagai tawaran yang menggiurkan karena mereka percaya bahwa Dia yang mereka ikuti adalah jalan, kebenaran, dan hidup.
Kesediaan dan kesetiaan mengolah tanah yang luas, berkerikil, berpasir, dan bahkan kurang subur untuk tumbuhnya tanam-tanaman melatih serta membentuk para suster untuk senantiasa setia memelihara panggilan hingga tumbuh dan menghasilkan panenan yang baik, sehat, dan enak. (Berlanjut)