BAGI para Kongregasi Suster-suster Dina Santo Yoseph (DSY), Perayaan Ekaristi adalah segalanya.
Ekaristi menjadi makanan rohani yang menjadi sumber kekuatan hidup bagi para suster DSY yang dalam sejarah misinya di Indonesia sekali waktu hampir tak ada harapan lagi (bdk. Konstitusi No. 67).
Ada ketegangan, ketakutan, tapi juga tetap ada sukacita. Itu karena Allah mereka alami selalu hadir dalam hal-hal kecil yg tak terduga.
Hidup serba kekurangan
Berangkat dengan dari Surabaya awal Perang Asia Timur Raya dengan kereta ke Jakarta. Lalu, kemudian pindah naik truk ke Sindanglaya. Dalam perjalanan itu, mereka dilarang untuk membawa apa-apa.
Kadang mereka juga tidak tahu akan dibawa ke mana. Itu sudah menjadi hal yang selalu mereka hadapi setiap waktu. Mereka harus tinggal di kamp interniran yang serban kekurangan. Campur baur dengan ratusan perempuan dan anak-anak.
Harus bisa makan ‘nasi aking’ alias nasi basi yang kemudia dikeringkan. Tetap harus bersyukur dan puas diri dengan keadaan itu. Tidak bisa ganti pakaian. Di depan kamp interniran selalu saja ada tentara penjaga. Itu menjadi pemandangan yang sangat tidak mengenakkan.
Ada 1.000-an orang dimasukkan ke dalam kamp. Setengahnya dalam kondisi Hanya ada dua WC dan itu pun juga menjadi kamar mandi. Hanya diberi ¾ air dalam ember kecil untuk kebutuhan MCK plus minum.
Penyakit disentri merajalela dan banyak anak yang meninggal. Izin diberikan komandan tentara Jepang, ketika para suster meminta bisa membantu dan merawat orang sakit dan anak-anak.
Suster yang sehari-hari “berprofesi” menjadi perawat mulai berkarya merawat para tahanan sakit. Suster lain mengajak anak-anak bisa bekerja membantu di dapur.
Kisah penderitaan
Banyak pekerjaan bisa dilakukan oleh para suster. Namun, di situ pula tergelar kisah-kisah penderitaan. Juga kisah-kisah kebaikan orang yang saling tolong-menolong dalam kondisi serba berkekurangan.
Cerita kamp interniran Jepang menjadi kisah sejarah para suster DSY –para misionaris dari Heerlen ke Ternate tahun 1938. (bdk.Konstitusi No.76).
Setengah tahun di sebuah kamp, para suster DSY itu lalu dipindahkan lagi ke lokasi interniran lainnya. Diangkut dengan truk, kemudian pindah ke kereta dengan penumpang berhimpitan, jendela tertutup dan sangat panas.
Tiba di kamp yang lain, masing-masing harus melapor, barang dirampas dan diperlakukan dengan kurang ajar. Setiap mendatangi lokasi kamp berbeda, kondisinya jauh lebih parah dan menyedihkan.
Perang Asia Timur Raya dan kampanye politik Jepang di kawasan Asia Tenggara –termasuk Indonesia—mulai kehilangan pamornya paska pengeboman AU Amerika atas Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 29145.
Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Di atas geladak kapal perang USS Missouri, peristiwa menyerahnya Jepang itu dimatereikan dengan pengakuan: kalah.
Itu di sana. Namun di Indonesia, pengakuan diri menyerah pada Sekutu dan menyatakan kalah itu belum berimbas di kamp-kamp interniran Jepang. Kekasaran tentara Jepang terhadap para tahanan tetap saja terjadi.
Perempuan mati
Seorang perempuaan muda Indonesia harus mati mengenaskan. Ia digantung di dahan pepohonan, hanya lantaran lupa memberi hormat kepada tentara Jepang.
Dampak peristiwa di kapal perang Amerika USS Missouri itu baru berimbas penting pada tanggal 22 Agustus. Kamp-kamp interniran resmi bubar.
Para suster DSY sempat mencicipi keganasan hidup di kamp selama lima tahun. Ingin bisa segera meninggalkan kamp. Begitu keinginan mereka. Namun belum bisa, karena situasi di luaran sana masih belum pasti.
Kegembiraan dan sukacita mengisi hati para suster DSY ini. Juga para tahanan interniran lainnya, setelah lima tahun hari-harinya berisi kegetiran.
Pulang karena kondisi kesehatan
Hidup miskin serba berkekurangan berimbas serius pada kesehatan Sr. Bathildes Nieuwenhuys DSY dan Sr. Florina DSY.
Hal sama juga dialami oleh para suster tarekat lain. Kondisi kesehatan dengan tubuh yang semakin rapuh itu menyebabkan kedua suster DSY itu dinyatakan sudah tidak laik lagi bekerja di Indonesia.
Keduanya harus segera pulang ke Belanda. Sedih sekali keduanya. Sementara Sr. Jovinia Metsemakers DSY, Josepthina DSY, Sr. Loyola Buckman DSY, dan Sr. Climaca van der Kleis DSY segera mencari jalan agar bisa segera kembali ke Ternate.
Perjalanan panjang dari Sindanglaya itu pun mereka tempuh dari Surabaya menuju Balikpapan dan baru kemudian ke Morotai –beberapa puluh kilometer dari Ternate.
Ternate hancur
Anehnya, pelayaran dengan kapal itu terjadi dengan rute tidak biasa. Dari Balikpapan di Kaltim, kapal berlayar menuju Morotai. Dari Morotai, kapal berlayar menuju Manado dan baru kemudian mendarat di Ternate.
Tetapi Ternate sudah telanjur lebur. Banyak gedung rusak dan kondisi Kota Ternate juga parah.
Kompleks gereja dan biara sama saja. Rusak parah. Terkena bom dan dampak aksi pembakaran. Rumah biara susteran masih ada, namun isi di dalamnya hancur. Selama penjajahan Jepang kurun waktu 1942-1945, susteran dan ruangan kelas dimanfaatkan sebagai tempat pengungsian.
Mereka membangun hidup baru mulai dari nol.
Untunglah ada para dermawan dari Morotai yang menyokong hidup para suster misionaris ini.
Yang lain datang karena kebaikan Tuhan. Orang bilang itu adalah penyelenggaraan ilahi. (Berlanjut)