NAMA resminya adalah Kongregasi Suster-suster Dina Santo Yoseph Manado atau biasa disingkat menjadi DSY. Namun, dalam pengajuan resmi ke Vatikan memang tertulis kata “Santu” yang artinya “Santo”.
Jejak keberadaan Kongregasi suster DSY di Indonesia terjadi mulai tahun 1938.
Berikut ini kisah sejarah misi para suster DSY dari Heerlen, Negeri Belanda, di Indonesia, tepatnya dimulai di Ternate, Provinsi Maluku Utara (Malut).
Sejak eksis di Malut mulai tahun 1938 hingga sekarang, para suster DSY berkarya di sejumlah Keuskupan yakni di Keuskupan Amboina (Maluku), Keuskupan Jayapura (Papua), Keuskupan Ruteng (Flores, NTT), Keuskupan Manokwari-Sorong (Papua Barat), Keuskupan Agung Semarang, dan Keuskupan Manado.
Kini, Biara Induk yang menjadi “pusat pemerintahan” Kongregasi Suster DSY ada di Kota Manado, Sulut.
Awal mula yang kecil dan sederhana
Pendiri Kongregasi Suster DSY ini adalah Pastor Peter Joseph Savelberg.
Ia mendirikan Kongegasi DSY, pertama-tama karena ia tergerak hatinya untuk menolong orang-orang kecil. Dan semua itu dia rintis dengan memulai segala sesuatu dengan hal-hal sangat sederhana (bdk. Konstitusi No.1, 41).
Namun, dari hal-hal yang sangat sederhana dan kecil itu telah lahir semangat besar membara. Yakni, semangat untuk menjadi misionaris di “Tanah Misi” yang waktu itu bernama Nederlandsch-Indie atau Hindia-Belanda yang kini bernama resmi Indonesia.
Misi ke Ternate tahun 1938
Empat suster muda –semuanya “noni-noni” Belanda— berhasil mendarat di Ternate, Malut, pada tahun 1938.
Ke-4 suster misionaris DSY perintis karya misi di Ternate itu adalah Sr. Jovinia Metsemakers DSY, Sr. Climaca van der Klei DSY, Sr. Loyola Buckman DSY, dan Sr. Bathildis Nieuwenhuys DSY.
Mengapa memilih Ternate?
Itu karena di Ternate beberapa tahun sebelum 1938 sudah berada terlebih dahulu para pastor Fransiskan yang berkarya di Malut.
Karenanya, Pemimpin Kongregasi DSY di Biara Induk di Heerlen, Negeri Belanda, merasa tergugah untuk juga mengirim sejumlah kecil anggotanya untuk berkarya di “Tanah Misi”: Ternate.
Semua itu terjadi dalam konteks semangat besar, namun dimulai dari hal-hal sederhana dan kecil.
Keputusan pengiriman empat suster muda DSY ke Ternate itu terjadi pada tahun 1937. Namun, perjalanan amat panjang dan melelahkan melalui pelayaran membuat ke-4 suster itu baru bisa mendarat di Ternate pada tanggal 4 Maret 1938.
Mereka dijemput oleh dua imam Fransiskan dan beberapa umat.
Miskin tidak ada apa-apa
Di tahun 1938 itu, “Indonesia” belum ada. Yang terlihat di Ternate adalah ketiadaan dalam banyak hal.
Rumah kediaman sementara untuk ke-4 suster misionaris DSY itu kosong melompong. Namun, dalam kesederhanaan dengan semangat besar, ke-4 suster itu ingin membangun sesuatu dari hal-hal kecil yakni ketiadaan.
Rumah kosong itu lalu disulapnya menjadi ruang kelas. Jumlah murid pertama hanya ada lima anak. Papan peti barang mereka jadikan papan tulis.
Mengajar dan anjangsana
Kegiatan para suster misionaris DSY di tahun 1938 itu hanya dua. Pagi mengajar. Sore hari berkeliling desa membina relasi dengan masyarakat yang mayoritas justru bukan Umat Katolik, melainkan Umat Muslim.
Berjalan sana-sini di Ternate tidak mudah. Tekstur wilayah Malut ini bukan datar, melainkan wilayah perbukitan.
Namun itu bukan menjadi halangan bagi ke-4 suster misionaris dari Herleen untuk akhirnya bisa merebut hati dan perhatian masyarakat lokal di Ternate.
Awalnya tidak suka dengan Gereja Katolik. Kini, mereka mulai bersikap bersahabat. Itu terjadi semata-mata karena model pendekatan pastoral para suster DSY yang memikat hati.
Cara itu sebenarnya hanya ingin mengikuti metode pastoral yang disematkan kepada mereka oleh seorang pastor misionaris Fransiskan. “Kehadiran kalian di sini harus bisa mereka rasakan manfaatnya,” begitu kata Pastor Fransiskan.
8 Oktober 1938
Waktu berjalan dengan sangat cepat, namun membuahkan hasil gemilang.
Tanggal 4 Maret 1938, empat suster muda misionaris DSY itu baru saja mendarat di Ternate. Namun, pada tanggal 8 Oktober di tahun sama, mereka sudah berhasil membangun biara sederhana.
Itu ditandai dengan peletakkan batu pertama.
Sr. Jovinia DSY memulainya terlebih dahulu. Baru kemudian, tiga suster lainnya ikut menumpukkan batu di atas batu lainnya. Dengan peletakan batu pertama ini , maka dasar untuk rumah misi pertama Kongregasi Suster Dina Santo Yoseph (DSY) di Indonesia –khususnya Ternate— telah bersemi.
Misionaris gelombang kedua
Di bulan November 1938 datang lagi suster misionaris DSY gelombang kedua. Hanya dua orang saja yakni Sr. Florina DSY dan Sr. Josepthina DSY.
Yang segera dilakukan adalah membantu karya pastoral para suster yakni mengelola semacam “Sekolah Dasar” dan sekolah kepandaian puteri dalam bentuk keterampilan jahit-menjahit.
Sejumlah mata pelajaran tambahan juga diberikan di sekolah besutan para suster misionaris DSY ini.
Perkembangan menarik juga terjadi di gereja paroki. Yang semula hanya sederhana, kini mulai dipermak menjadi lebih bagus lagi. (Berlanjut)
Salam
Mohon maaf sebelumnya
Bolehkah catatan sejarah yang ada di blog ini saya buat dalam bentuk video dokumenter untuk channel Youtube? Mohon tanggapannya. Terimakasih. Syalom
Saya pikir itu baik kalau di dokumentasikan dalam bentuk video. Tks
Selamat siang..jika diperkenankan saya mohon informasi tentang sejarah Gereja St.
Willibrordus Ternate..terima kasih..
Kami tidak punya pak, silakan hubungi suster dsy di ternate.