Tetapi ia seorang intelektual yang menghasilkan banyak karya dalam filsafat: Filsafat Manusia dan Filsafat Ketuhanan khususnya. Ia menulis 23 buku; 2 buku berbahasa Vietnam, 8 buku berbahasa Perancis dan 13 buku dalam bahasa Indonesia. Kuliah-kuliahnya digemari oleh mahasiswa karena kedalamannya dan visinya yang mencerahi. Tidak hanya itu para frater juga menyukai kotbah dan sharingnya yang mencerminkan spiritualitas yang mendalam dan eksistensial.
Saya mengenal Romo Leahy sekitar tahun 1977 di Roma. Pada waktu itu Romo Leahy dan beberapa Romo Jesuit lainnya diusir oleh rejim komunis dari Vietnam. Oleh Romo Jendral mereka diperbolehkan untuk berpindah ke Indonesia, Filipina atau Afrika. Romo Leahy tentu saja boleh juga memilih menjadi professor di Montreal, tetapi ia memilih untuk menjadi missionaris di Indonesia. Setelah berbincang dengan Romo-romo Indonesia di Roma, antara lain dengan saya dan Romo Darminta serta Romo Suryawasita, Romo Leahy memilih berkarya sebagai misionaris di Indonesia. Waktu itu memang dibutuhkan seorang dosen filsafat.
Setelah mendapat visa, Romo Leady ditempatkan di Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta. Ia mengajar di sana (IFT) dan di UGM. Suatu kali, beliau kami undang menjadi dosen tamu di STF Driyarkara. Ketika pulang ke Yogyakarta ia memilih naik bus. Sesampai di Yogya ia menulis surat mengatakan bahwa ia “kedompetan” dan semua uang honorarium dicopet di bus. Beberapa tahun kemudian Romo Leahy dipindah ke STF Driyarkara dan menjadi profesor sampai dipanggil Tuhan. Siapa pun mengagumi beliau karena kesederhanaan hidupnya dan dalamnya kerohanian.
Salah satu bukunya mengupas mengenai misteri kematian. Boleh dikatakan ia seorang yang benar-benar ahli dalam bidang filsafat kematian. Seorang pegawai dari STF pernah bertanya: Romo sudah menulis buku tentang kematian, kok Romo masih takut mati?
Satu artikel ditulis di Majalah Rohani berjudul “Kematian dalam Sinar Cinta Kasih”. Kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian sama kuatnya dengan kepercayaan akan cinta kasih sebagai sumber hidup kita. Hidup kita hanya bermakna kalau kita mencintai yang lain. Mencintai yang lain sama dengan menyatakan kamu tak akan mati. Cinta itulah yang menciptakan dunia sesudah kematian. Maka kematian bukan kata akhir. Kepercayaan akan Allah adalah kepercayaan akan cinta kasih, kepercayaan akan hidup abadi.
Seperti yang dikatakan Yohanes (Yoh 1:4-5): “Dalam Dia ada hidup dan hidup itulah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” Kalau kita ingat Injil Yohanes bab 11:1-45, Yesus memanggil Lazarus: “Lazarus marilah keluar! Lazarus mendengar suara Yesus dan mengikutiNya. Mendengar suara Yesus, Lazarus keluar dan hidup lagi. Saudara-saudara terkasih, kita hidup karena mendengar suara Yesus. Ia memanggil kita kepada kehidupan dan kita hidup karena mendengar Yesus. Keyakinan itulah yang dihayati oleh Romo Leahy yang layak juga menjadi keyakinan kita. Ia hidup terus karena ia mencintai kita semua dan kita mencintai beliau.
Akhirnya satu kutipan lagi: “Qua flumen placidum est, forsam latet altius unda” kata Cato seorang filsuf. Aliran sungai yang tenang, kemungkinan dalam airnya. Tak pelak lagi ada kedalaman dalam hidup Romo Leahy dan di situ terkandung kekuatan. Pesan bagi kita adalah jadilah manusia kristiani yang mendalam dan jangan terbawa arus jaman! Jangan menjadi manusia dangkal!
Selamat Jalan Romo Leahy! Au revoir, Mon Père!