PADA umumnya, orang mengenal ratu sebagai anggota keluarga bangsawan atau raja. Kalau bukan isteri raja, dia adalah pemimpin kerajaan. Sayang, yang ada hanya kerajaan; kayaknya tidak ada keratuan.
Status sosial seorang ratu tentu amat tinggi. Bisa jadi karena dia keturunan raja atau karena diperistri oleh seorang raja. Hidup dalam kalangan istana dengan segala fasilitas mewah dan kedudukan terhormat.
Di luar pagar istana kerajaan, ditemukan pula ratu yang lain. Ratu kecantikan, misalnya. Kriteria utamanya tentu paras yang cantik (cantik itu relatif). Biasanya dikaitkan pula dengan kecerdasan dan kedermawanan atau aktivitas sosial seperti membantu panti asuhan atau memperhatikan lingkungan hidup.
Kalau dalam dunia politis dan kecantikan ada ratu, bolehkah di wilayah rohani ada ratu? Kriterianya tentu berbeda dari yang disebut di atas. Misalnya, iman atau kesuciannya.
Gereja Katolik menjuluki Santa Perawan Maria, Bunda Yesus sebagai ratu. Salah satu alasan utamanya, karena dialah wanita yang dinyatakan penuh dengan rahmat Tuhan. “Salam, hai engkau yang dikaruniai. Tuhan menyertai engkau.” (Lukas 1: 28). Dia beroleh kasih karunia di hadapan Tuhan (Lukas 1: 30).
Mendapat karunia berarti dikasihi Tuhan dan sekaligus berkenan kepada Tuhan. Karena itu, dia dipilih menjadi ibunda Sang Juru Selamat (Lukas 35).
Kesanggupannya untuk menerima tugas yang dipercayakan tampak dalam jawabannya. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1: 38). Dia wanita beriman!
Jawaban itu penuh dengan konsekuensi. Dia akan menanggung derita, karena jiwanya akan ditembus dengan pedang (Lukas 2: 35). Puncak deritanya ditanggung tatkala menyaksikan Yesus, puteranya wafat di kayu salib (Yohanes 19: 25-27). Iman dan kesetiaan itulah yang baginya menjadi kriteria seorang ratu.
Senin, 22 Agustus 2022
PW Santa Perawan Maria, Ratu