“Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah.” (1Kor 3,9)
TADI siang, saya menyusur jalan dari Purwokerto, Sidaboa, Tambaknegara, Rawalo, Jatilawang menuju Wangon bersama beberapa teman. Kami masih menyaksikan persawahan yang kering; ladang yang kering, sehingga rerumputan dan pepohonan mengering.
Ladang menjadi kering karena tidak mendapatkan air; tanah menjadi kering dan keras, sehingga tanaman, rerumputan dan pepohonan tidak bisa tumbuh. Mereka menjadi layu, kering dan akhirnya mati. Ladang yang kering tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Para petani pun akan kesulitan untuk mengolah ladang yang kering, selain membiarkannya. Hujan yang sudah mulai turun beberapa kali pun belum mampu mengubah ladang tersebut menjadi subur.
Ladang kering tidak hanya menunjuk situasi dan kondisi tanah di banyak tempat, tetapi juga menjadi gambaran kehidupan manusia. Bahkan St. Paulus menegaskan bahwa ‘kamu’ adalah ladang kepunyaan Allah. Ladang macam apakah diriku ini? Ada saatnya seseorang mengalami diri sebagai ladang yang kering dan tandus, karena kehilangan sumber air yang menyegarkan dan menghidupkan; kehilangan banyak unsur yang menyuburkan. Tidak ada gairah dan semangat; tidak ada canda dan tawa; tidak ada target dan sasaran yang diperjuangkan; tidak ada visi dan arah di masa depan. Hidup bersama terasa hambar, relasi dan komunikasi jatuh pada formalitas atau basa-basi; dinamika hidup sekedar rutinitas yang menjemukan; inisitaif dan kreativitas semakin layu dan mati. Ladang Allah menjadi kering.
Bagaimana caranya agar ladang Allah tersebut menjadi subur, sehingga mampu menumbuhkan banyak tanaman hijau yang subur dan menghasilkan buah melimpah? Ladang Allah membutuhkan sumber air hidup yang menyegarkan dan menghidupkan. Dimanakah sumber air hidup itu ditemukan?
Teman-teman selamat malam dan selamat beristirahat. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)