MENDEFINISIKAN apa itu kekerasan—khususnya kekerasan massal yang berdimensi sosial, politik dan ekonomi—bukanlah merupakan hal yang mudah. Padahal untuk mengatasinya diperlukan analisis dan gagasan-gagasan solutif yang tepat. Ilmu-ilmu kemanusiaan maupun ilmu-ilmu sosial telah coba menyodorkan rumusan dan analisis, tetapi tetap saja belum mencukupi. Untuk itu diperlukan studi dan penelitian lebih lanjut jika kita benar-benar ingin mengatasi kekerasan massal.
Demikian antara lain dikatakan oleh Dr. Michel Wieviorka, Direktur FMSH (Fondation Maison des Sciences de l’Homme, berbasis di Paris), sebagai ketua penyelenggara Konferensi International Panel on Exiting Violence (IPEV) di Beirut, Libanon, 20-22 Juni 2018 yang lalu. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa sekarang ini perlu disusun suatu bangunan pengetahuan (a body of knowledge) di mana ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial mampu menyodorkan rekomendasi-rekomendasi praktis untuk mengatasi kekerasan massal.
Diakui oleh para pembicara lain dalam konferensi tersebut, hingga saat ini banyak wilayah dunia, khususnya Timur Tengah, masih saja dihantui dan dilanda oleh kekerasan massal, baik kekerasan yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung saat ini. Untuk itu, dibutuhkan studi dan analisis serta upaya-upaya agar kekerasan massal yang terjadi pada masa lalu bisa segera diolah menjadi bekal guna mengatasi kekerasan yang terjadi sekarang sekaligus menghindari terjadinya kekerasan serupa di masa depan.
Hadir dalam konferensi tersebut antara lain Rektor American University of Beirut Fadlo R. Khuri, Sekretaris Jendral Komisi PBB untuk Urusan Asia Barat (ESCWA) Mohamed Ali Alhakim, dan Direktur Issam Farres Institute Tarek Mitri.
Perdana Menteri Libanon Saad Hariri diwakili oleh mantan Perdana Menteri Libanon (2005-2009) Fuad Siniora.
Perwakilan dari berbagai negara
Konferensi itu sendiri merupakan bagian dari rangkaian konferensi yang dimulai oleh FMSH di Paris pada bulan Januari 2017. Para peserta konferensi yang terdiri dari 120 orang ilmuwan dan peneliti dan yang dipilih dari 35 negara itu kemudian dibagi menjadi 10 kelompok kecil dengan tugas membahas sub-topik tertentu.
Kebanyakan perserta datang dari negara-negara Timur Tengah dan Eropa, tetapi ada juga yang berasal dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Afrika.
Di luar Timur Tengah, dari Asia hanya ada dua orang anggota IPEV, yakni Sashi Jayakumar dari NTU (Nanyang Technological University) Singapura dan penulis –Baskara T. Wardaya SJ– dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; Sashi Jayakumar adalah putera S. Jayakumar, mantan Wakil Perdana Menteri Singapura (2004-2009), yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator (Menko) Keamanan Nasional Singapura.
Sepanjang tahun 2017 hingga pertengahan tahun 2018 sepuluh kelompok IPEV mengadakan berbagai seminar dan lokakarya di sejumlah negara guna membahas sub-topik masing-masing dan diharapkan menghasilkan sebuah laporan akhir berikut rekomendasinya.
Salah satu kelompok tersebut adalah kelompok sub-topik yang diminta membahas peran sejarah dan ingatan (history and memory) sebagai sarana untuk keluar dari kekerasan massal masa lalu, diketuai oleh Dr. Scott Straus dari University of Wisconsin, AS. Para peneliti dan ilmuwan anggota kelompok ini bidang studinya mencakup masalah kekerasan di sejumlah negara seperti Spanyol, Ethiopia, Somalia, Rwanda, Amerika Latin, Israel-Palestina, serta kekerasan di Indonesia, khususnya kekerasan Tragedi 1965.
Sebagaimana bisa dibaca dalam laporan akhir –berjudul “First Conclusions & Perspectives” (2018) yang ditulis dalam bahasa Inggris, Perancis dan Arab— salah satu rekomendasi dari kelompok ini adalah perlunya diadakan dialog-dialog yang bersifat demokratis antara mantan pelaku dan korban kekerasan massal. Guna menghindari konflik di masa depan, demikian bunyi salah satu rekomendasinya, perlu dibuka kesempatan seluas mungkin di mana pihak-pihak yang bertentangan bisa “saling menemukan, saling belajar, dan saling dialog, sembari selalu mengakui pengalaman penderitaan para korban kekerasan di masa lalu.”
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh mantan Perdana Menteri Fuad Siniora dalam pidato pembukaan konferensi IPEV tersebut. “Jika kita benar-benar ingin keluar dari kekerasan (to exit violence), kita perlu paham bahwa, seperti halnya kekerasan, ekstremisme sering lebih merupakan gejala dari suatu masalah daripada akar dari masalah itu sendiri,” ujarnya.
Melawan radikalisme
Di akhir konferensi, Direktur FMSH Michel Wieviorka berharap bahwa forum seperti IPEV ini nantinya akan menjadi bagian dari gerakan global yang terpadu guna melawan radikalisme yang sering menjadi sumber berbagai bentuk terorisme dan kekerasan massal. “Sekarang ini semakin dibutuhkan kesediaan untuk berpikir secara global guna menganalisis dan mengatasi gerakan-gerakan radikal pelaku kekerasan,” tuturnya.
Ia menambahkan: “Dan saya berharap bahwa forum ini merupakan bagian dari langkah awal untuk keluar dari kekerasan massal di mana pun juga.”
Forum-forum nasional maupun internasional yang terkait dengan masalah radikalisme agama seperti di atas tentu menarik untuk diikuti dan dicermati, mengingat bahwa salah satu fokus kerasulan Serikat Jesus Provinsi Indonesia sekarang ini adalah melawan radikalisme yang memakai agama sebagai sumber legitimasinya.
Dari hasil penelitian dan rekomendasi yang ditawarkan oleh kelompok-kelompok seperti IPEV ini bisa diambil gagasan-gagasan yang dipandang cocok guna melawan radikalisme dan kekerasan dalam konteks Indonesia.
Menarik bahwa meskipun banyak pembicara maupun peserta konferensi di Beirut itu adalah orang-orang asli Arab, dalam seluruh konferensi tak ada satu pun yang membuka atau mengakhiri paparannya dengan ucapan khas mereka.
Apa boleh buat, hal ini menimbulkan kesan bahwa orang-orang Arab di sini tidak se-“religius” orang-orang di negara-negara lain. Setidaknya secara formal.