Home BERITA Laporan dari Jepang: Kristiani tanpa Nama (2)

Laporan dari Jepang: Kristiani tanpa Nama (2)

0
Dompet hilang by Ist

MENYAMBUNG kisah pengalaman saya berkunjung ke Jepang selama dua pekan, kini izinkan saya  melanjutkannya dengan refleksi menyangkut pengamatan saya terhadap orang Jepang.

Mereka ini mayoritas menganut Sintoisme dan Buddhisme, sementara hanya sedikit saja yang  menganut iman kristiani, baik yang  Kristen maupun  katolik.

Yang menarik,  cara hidup mereka ternyata sangat kristiani.

Dompet hilang takkan ‘hilang’

Kalau dompet Anda yang penuh uang jatuh di jalan atau HP anda tertinggal di tempat pembelian tiket kereta, tidak ada orang Jepang yang akan ambil dompet dan HP Anda itu.

Pastor Frits Ponomban MSC yang mengantar kami ke Tokyo berkisah kalau sekali waktu dalam sebuah perjalanan HP-nya sempat tertinggal di tempat mesin pembelian tiket mandiri. Setelah menyadari HP-nya tidak ada, ia segera datang kembali ke tempat itu dan ternyata  HP masih ada di tempatnya.

Kalau dompet dan HP itu jatuh di tengah jalan, paling hanya ditaruh di pinggir jalan supaya tidak diinjak mobil.

Baca juga:  Laporan dari Jepang: Biara MSC Seluas 3 Ha, Merawat Iman Kawanan Kecil di Nagoya (1)

Di negara bernama Indonesia –tempat kita yang semua orang sering mengaku sangat saleh beragama– maka  semua barang ‘hilang’ sudah akan lenyap dalam hitungan detik.

Pejabat di semua kantor pemerintahan di Jepang merasa sangat malu melakukan korupsi dan apalagi sampai ketahuan telah berkorusi.

Ilustrasi by Lifestock

Diceritakan kepada saya seorang menteri atau malah perdana menteri yang dikabarkan membelanjakan uang berlebihan sehingga dianggap melampaui kepatutan, maka mereka itu akan meminta maaf dan kemudian mengundurkan diri. Padahal ia tidak korupsi. Ia hanya telah menggunakan anggaran yang sebenarnya  memang menjadi haknya, namunmemakai anggaran itu melebihi kepatutan itu dianggap ‘kesalahan’.

Seorang pejabat lain yang kedapatan korupsi dengan jumlah 400 ribu yen atau malah cuma 40 ribu yen yang hanya setara dengan Rp 40 juta atau malah Rp 4 juta rupiah juga akan diadili dan masukkan penjara.

Menjunjung tinggi kejujuran

Jadidiri dan kebanggaan orang Jepang dengan sendirinya akan bersikap jujur, bersih,  dan transparan. Mereka akan malu kalau melakukan korupsi, karena hal tersebut bukanlah kodrat kepribadian mereka. Tentu semua cerita ini saya hanya mendengar dari mereka yang sudah lama bekerja di Jepang dan sudah lebih mengenal sifat kepribadian orang Jepang.

Sangat sedikit

Tiga kota paling besar di Jepang katanya adalah Tokyo – Osaka – Nagoya. Dua kota terkenal yang sering kita dengar yaitu Hiroshima dan Nagasaki tidak sempat saya kunjungi. Namun katanya, di Nagasaki suasana umat katolik lebih terasa daripada di Nagoya yang sempat saya lihat.

Walaupun prosentase umat kristiani (katolik dan protestan) sangat kecil di Jepang dibandingkan jumlah penduduk Jepang yang umumnya beragama Sintoisme dan Buddhisme, namun pengaruh kekristenan sangat terasa. Kehadiran Universitas Katolik Sophia di Tokyo milik Jesuit dan Universitas Nanzan di Nagoya milik SVD mau tidak mau membuat orang Jepang tahu bahwa ada agama katolik di tempatnya.

Waktu saya mau terbang meninggalkan Jepang, di Bandara Nagoya juga terlihat iklan tentang Nanzan University.

Kuatnya pengaruh kristiani

Pengaruh kekristenan lebih terasa lagi, ketika menjelang perayaan Natal. Walaupun mungkin dengan motivasi bisnis, namun pada akhir bulan November sudah banyak hiasan natal bertebaran di mana-mana. Di toko–toko sudah dijual pernak–penik hiasan Natal dan pelbagai benda yang berkaitan dengan pestan Natal. Demikian pula pohon–pohon dan jalan–jalan sudah dihiasi dengan lampu-lampu Natal.

Sophia University di Tokyo milik para Jesuit by Wiki.

Dan rupanya pengaruh kekristenan bukan hanya sekedar pengetahuan saja, melainkan juga menyangkut pemaknaan dalam peristiwa kehidupan yang penting, misalnya dalam hal perkawinan.

Saya melihat beberapa bangunan “Gereja” di pinggir jalan dengan model khas Gereja Katolik Eropa atau Amerika, tetapi ternyata itu bukan Gereja, melainkan sebuah bangunan untuk perkawinan orang Jepang. Mereka senang menikah dalam bangunan Gereja itu karena pengaruh film–film Hollywood, kata pastor misionaris Australia.

Orang Jepang ada yang suka menikah dengan upacara dan suasana seperti orang kristen menikah dalam film–film barat itu. Di samping hal tersebut merupakan kegiatan bisnis, namun juga sebuah pemaknaan dari peristiwa hidup seseorang seperti halnya perkawinan.

Waktu saya diajak oleh Romo Priyo MSC untuk singgah ke Katedral Nagoya, kebetulan di bagian pelayanan pastoral ada semacam kursus perkawinan dan juga saya lihat ada baju–baju pengantin wanita. Romo Priyo, alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1976, mengatakan bahwa mereka itu belum tentu orang katolik, melainkan orang Jepang yang ingin menikah dengan tata cara katolik dan baju pengantin seperti yang biasa mereka lihat  di Gereja.

Simbol–simbol kekristenan menarik perhatian mereka, meskipun pemaknaannya tergantung dari pemahaman mereka sendiri. Dan Gereja di Jepang melayani permintaan mereka itu, mungkin sebagai cara dialog untuk masuk dalam cara hidup orang Jepang, dan sebagian juga karena bisa menjadi sumber pemasukan paroki.

Lepas dari agama yang dianut oleh masyarat Jepang dan juga pengetahuan mereka tentang agama kristen, namun yang pasti adalah orang–orang Jepang itu memiliki ciri khas sebagaimana diharapkan juga bagi orang kristiani. Mereka itu sangat menghayati nilai-nilai kristiani yakni  ingin selalu bersikap baik, ramah kepada sesama, jujur, bersih, transparan. Dan sifat–sifat itu nampak dalam pengaturan hidup bersama dalam masyarakat kota yang modern.

Merasa semua tempat adalah ‘rumahnya’

Alat transportasi publik seperti kereta api reguler dan kereta api cepat dan bus yang begitu lancar dan pasti jadwalnya, serta lalu lintas yang tidak macet. Itu  karena jutaan orang yang bepergian lebih suka menggunakan kendaraan umum.

Hal itu  menyebabkan orang-orang Jepang bisa merasakan bahwa seluruh kota adalah tempat tinggal mereka. Mereka mau ke mana saja dan mau makan apa saja selalu tersedia di mana–mana dan bisa mencapai tujuan dengan lancar.

Ketika kami berada di kota Tokyo dan mau pulang ke kota Nagoya dengan Kereta Cepat Shinkanzen, kami sempatkan makan malam lebih dulu di salah satu restoran yang begitu banyak bertebaran. Waktu itu kira–kira pukul 20.00 malam dan banyak orang sedang makan, lalu sesudah itu mungkin mereka pulang ke rumah masing–masing, mandi air hangat atau berendam air hangat untuk melepaskan lelah dan supaya bisa tidur nyenyak di musim dingin, dan esoknya bekerja lagi.

Saya melihat beberapa orang selesai makan, tertidur di kursi restoran karena lelah dan sudah kenyang.

Saya dalam hati berfikir “bukan main orang Tokyo ini, mereka bisa merasakan bahwa seluruh kota yang besar ini adalah tempat tinggalnya.”

Mereka bisa menikmati seluruh fasilitas publik dengan nyaman, lalu pulang ke rumah hanya untuk berendam air hangat dan tidur.

Rumah–rumah orang Jepang semuanya rapi dan bersih. Kalau kita masuk rumah harus melepaskan sepatu yang dari luar dan diganti dengan sendal untuk di dalam rumah yang lantainya berlapis karpet. Kalau perlu ke kamar mandi atau WC, maka harus ganti sandal lain lagi. Alas kaki tidak boleh dipakai sembarang saja supaya kebersihan tetap terjaga.

Teknologi toilet juga khas. Banyak tombol yang bisa dipencet untuk membersihkan diri ketika orang sudah selesai dengan urusan toilet. Tempat duduk toilet juga hangat dan air yang keluar sebagai pembersih juga hangat di musim dingin. Orang Jepang menciptakan segala yang dibutuhkan oleh manusia supaya bisa nyaman hidupnya.

Cara makan Jepang

Kuliner orang Jepang sangat bervariasi, enak dan sehat. Cara makan orang Jepang menyajikan nasi paling terakhir. Mereka makan terlebih dahulu sup, lalu salad, dan buah, kemudian ikan atau daging, juga baru terakhir nasi. Kalau perut sudah kenyang, maka makan nasi sedikit sekali. Hal itu yang menyebabkan orang Jepang sehat, kuat dan umur panjang.

Oma dan opa umur 80 sampai 85 masih bisa nyopir atau bepergian sendiri dengan kereta. Banyak opa dan oma masih berolah raga lari pelan atau jalan kaki di taman–taman. Bergerak membuat mereka tetap sehat dan umur panjang. Udara dingin juga membuat orang bisa bergerak banyak tanpa lelah dan tanpa keringat.

Suasa kotanya sunyi dan nyaman. Kita yang sudah terbiasa dengan bunyi–bunyian dan suara bising lainnya  yang mengganggu kita itu, maka semua kebisingan itu  tidak kita temukan di Jepang. Bunyi kendaraan umum juga tidak terlalu bising karena mobil yang melintas di jalan umum tidak terlalu banyak. Biarpun kotanya besar, namun suasananya bisa hening dan tenang tanpa gangguan suara-suara yang tidak mengenakkan telinga.

Orang beragama yang suka melihat orang lain dari sudut agama yang dianut mungkin akan berkata: alangkah baiknya kalau orang Jepang itu beragama sama dengan saya. Dan karena saya orang katolik, maka saya berharap banyak orang Jepang mengenal agama katolik dan menjadi katolik.

Hal itu pula yang sudah diusahakan oleh Santo Fransiskus Xaverius dan para misionaris Jesuit dan dilanjutkan oleh para misionaris dari banyak tarekat sampai sekarang. Namun hasilnya sepertinya hanya sedikit saja. Banyak orang Jepang sudah senang dengan agamanya dan budayanya yang sudah ada sebelum para misionaris itu datang.

Novelis Shusaku Endo

Novel berjudul Silence  karya Shusaku Endo yang telah menjadi film menurut sutradara Martin Scorsese adalah sebuah ekspresi pergumulan iman penulisnya sendiri yang melihat bahwa karya pewartaan Injil sepertinya tidak berhasil di Jepang. Ia sebagai orang katolik dan bangsa Jepang, merasa sulit memperdamaikan iman katolik dan budaya Jepang.

Shusaku Endo dilahirkan di Tokyo tahun 1923 dan memperoleh gelar sarjana sastra dari Universitas Keio di Jepang dan dari Universitas Lyon di Perancis. Jadi ia sendiri mengalami pergumulan imannya dan berusaha untuk memahami kesulitan iman katolik masuk dalam budaya Jepang.

Dalam novel Silence, Shusaku Endo mengatakan bahwa salah satu alasan penganiayaan yang dilakukan oleh Shogun Hideyoshi kepada orang-orang katolik adalah karena agama kristiani itu mengajarkan ajaran yang berbahaya bagi budaya Jepang. Maka dari itu, semua  orang katolik harus dimurtadkan atau dikembalikan ke agama asli Jepang.

Sebanyak  26 martir di Nagasaki yang menjadi korban penganiayaan itu memang dimaksudkan oleh penguasa Jepang waktu itu untuk memberikan efek jera supaya tidak ada lagi orang Jepang yang mengakui diri katolik.

Kebanggaan Jepang

Bangsa Jepang memang mempunyai kebanggaan (pride) tersendiri sebagai bangsa yang mempunyai kaisar keturunan dewa matahari. Kami sempat di antar utuk mengunjungi “Kuil Dalam” dan “Kuil Luar” yang dianggap sebagai tempat kediaman Dewa Amaterasu (Dewa Matahari) yang menurunkan para kaisar Jepang. Tempat itu adalah kawasan hutan dengan pohon–pohon dan kayu–kayu yang tua dan dirawat dengan baik dan tempat orang–orang Jepang berziarah dan berdoa. Tempat itu merupakan salah satu jati diri atau identitas bangsa Jepang yang membuat mereka bangga akan kebudayaan dan keyakinannya.

Menyaksikan semua itu, saya ingat apa yang dikatakan oleh teolog Karl Rahner tentang karya penyelematan Allah di antara bangsa–bangsa yang belum mengenal Injil. “Apabila suatu bangsa belum sampai pada pengenalan Injil, maka Allah menggunakan apa yang mungkin bagi bangsa itu untuk menyelamatkan mereka.”

Bangsa Jepang adalah bangsa yang hidup mengamalkan ajaran Yesus, meskipun mereka tidak percaya kepada Kristus. Orang-orang seperti itu disebut “kristen anonim” (Anonymous Christians) atau biarpun  tidak beragama kristiani, tetapi cara hidup dan berbuatannya adalah kristiani.

Kalau dilihat dari perspektif itu, maka karya penginjilan di Jepang yang hasilnya sangat kecil itu tidak perlu berkecil hati. Karena mereka sudah menjalankan cara hidup kristiani sebelum mereka dibaptis. Dari lain pihak kita juga menyaksikan dan merasakan bahwa orang yang dibaptis dan menjadi kristen, namun cara hidupnya jauh dari yang diharapkan dari orang kristiani. (Selesai)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version