SIANG tadi, saya harus menghadiri rapat di bilangan Salemba di Jakarta Pusat.
Saya mengambil ancang-ancang berangkat dini, karena biasanya, bahkan sampai beberapa hari lalu, perjalanan Bintaro ke Salemba perlu waktu tempuh 2-2,5 jam.
Kali ini saya keliru. Sejam lebih sedikit sudah sampai ruang rapat.
Beberapa staf tertawa geli melihat saya sudah hadir tiga jam sebelum rapat dimulai. Mereka sangka saya salah melihat jadwal.
Benar, lalu-lintas Jakarta siang tadi sangat lancar. Biasanya, dengan status “padat-merayap”, kali ini “cepat-lancar”.
Pulangnya pun idem ditto. Padahal tadi sore, kota Jakarta sempat dibasahi hujan, setelah beberapa pekan panas terik dan kering kerontang.
Belum sejam perjalanan saya sudah menikmati makan malam di rumah.
Pertanda apa?
Hanya satu jawabnya.
Lebaran akan tiba tak lama lagi.
Seperti lagu yang didendangkan Bimbo dan Gigi, Lebaran Sebentar Lagi.
“Lebaran sebentar lagi
Berpuasa sekeluarga
Sehari penuh yang sudah besar
Tengah hari yang masih kecil
Alangkah asyik pergi ke masjid
Solat Terawih bersama-sama.”
Lagu gubahan Bimbo dirilis tahun 2006. Nada manis menelusup ke dalam telinga. Liriknya sederhana dan penuh pesan bermakna.
Belakangan, dinyanyi-ulang oleh grup Band Gigi (2015), dengan nada nge-rok. Makin meresap di kalangan anak-anak muda.
Lantas, apa hubungannya antara Lebaran dengan lalu-lintas lancar?
Hampir separo Warga Negara Indonesia, pulang kampung.
Bayangkan, lebih dari 123 juta orang naik kendaraan beraneka rupa, pergi dari tempat tinggalnya menuju ke kota-rumahnya (home town).
Arahnya pun berseliweran tak mudah digambar. Banyak orang dari kota besar, misal Jakarta, menuju ke kampung halamannya di bagian lain pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, atau pulau-pulau lainnya.
Ada pula yang tak jelas polanya. Tak sedikit yang rutenya berputar tak karuan.
Komputer perlu processing time yang cukup lama bila harus membuat permodelan sistem untuk menggambarkan peredaran kendaraan mudik ini.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa orang harus mudik?.
Sebuah teori mengatakan bahwa bila kita bertemu dengan kenalan yang lama tak jumpa, berdekatan dengan keluarga, bersilaturahmi dengan kerabat, sungkem kepada orang yang kita hormati atau memeluk/merangkul orang yang kita cintai, maka tubuh akan memproduksi hormon yang disebut “Oxytocin“.
Oxytocin menumbuhkan rasa bahagia yang tak terperikan.
Tak heran kalau banyak sekali orang yang berusaha “all out” untuk pulang kampung. Ongkos, kesulitan, macet bahkan sakit pun tak dihiraukan.
Rasa bahagia itulah yang mereka kejar.
Faktor waktu yang bersamaan menambah dorongan orang untuk mudik. Keluarga besar dari tetangga juga pulang kampung. Momen untuk bertemu teman lama dan keluarga jauh menjadi sesuatu yang sangat berarti.
Dua ART kami mudik. Satu ke Cilacap, satu ke Purbalingga.
Jangan ditanya bagaimana hiruk-pikuk organisasi pekerjaan rumahtangga yang mereka tinggalkan. Terjadi perubahan seribu persen.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan.
ART pertama membawa tiga tas berukuran sedang sampai besar. ART kedua tentengannya empat karton besar plus dua tas berukuran sedang dan besar.
Tas ukuran sedang penuh berisi baju-baju baru untuk keluarganya di kampung, yang dibeli melalui online. Luar biasa.
Silakan disimak, perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi tidak hanya mengubah sikap dan perilaku masyarakat Indonesia.
Juga, bagi kaum menengah ke bawah, bahkan cara dan daya belinya pun tak terpikirkan terjadi lima atau, apalagi, 10 tahun lalu. Mirip ibu pejabat yang gemar flexing.
Mereka sebelas-dua belas dengan skala berlipat ganda.
Dari aspek sebaran, Lebaran menjelajah ke hampir semua segmen masyarakat.
Perbedaan primodial tak kentara lagi. Tak peduli suku, ras, budaya, kelas sosial bahkan agamanya.
Bimbo dan Gigi menyanyi dengan menggunakan kata “Lebaran”. Mudah diresapkan oleh siapa saja yang mendengarnya.
Pesan Bimbo seiring dengan tausiah yang disampaikan almarhum KH Zainuddin MZ.
Di YouTube yang berdurasi hampir 3 jam, “Da’i sejuta umat” itu menjelaskan dengan bijaksana sekaligus menyejukkan.
“Lebaran adalah tradisi yang setiap kita boleh ikutan. Siapa saja. Puasa atau tidak, boleh (merayakan) Lebaran.
(Ber)ibadah Ramadhan atau tidak, boleh (ber)Lebaran, tapi tidak Idul Fitri.”
Saya sepakat penuh dengan KH Zainuddin MZ. Tak canggung ketika di hari istimewa itu, saya menerima dari atau memberikan uluran tangan ke saudara, tetangga, teman atau kerabat. Tentunya sambil saling mengucapkan “Selamat Lebaran”.
Biasanya ditambah “Mohon maaf lahir batin”.
Meski tidak merayakan Idul Fitri, tetapi nuansa pesta Lebaran saya rasakan bahkan hayati dengan sungguh-sungguh.
Lebaran adalah harapan. Lebaran adalah kemanusiaan. Tentu saja, Lebaran adalah keceriaan.
Itulah, mengapa saya selalu ikut merasa bahagia di kala Lebaran tiba.
Tetangga saling “munjung” (artinya: mengirim makanan; sinonim lain dalam bahasa Jawa, “berkat”).
Secara simbolis, “munjung” atau “berkat” bermakna saling mengirim “Berkat” (pakai huruf B besar) yang dipercaya, semuanya, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tak ada lagi keragu-raguan dan pertanyaan, siapa pengirim “berkat” ini. Dari mana asalnya, apa sukunya, apa agamanya, apa alirannya. Atau pertanyaan-pertanyaan muskil lainnya yang kadang muncul di luar masa Lebaran. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Menyantap berkat tak hanya membuat perut kenyang tapi juga menerima doa keselamatan dan kedamaian dari si pengirim.
Masih banyak lagi cerita tentang tradisi Lebaran. Tak ada habisnya menulisnya yang kontekstual dan penuh dengan latar belakang kultural serta kearifan lokal.
Itulah tradisi Nusantara yang harus dilestarikan sepanjang masa.
“Selamat Idul Fitri 1444H, Selamat Hari Raya Lebaran.”
“Wilujeng Boboran Siam. Sugeng Riyadin Bakda.“
“Nyuwun gunging pangapunten sedoyo kalepatan kawula.”
@pmsusbandono
19 April 2023