SORE itu, Kamis, 1 Agustus 2013 berlangsung Perayaan Ekaristi Pesta Emas Imamat Pastor Joseph Richard Mohr MSF sekaligus Pesta Perak Imamat Pastor Stanislaus Kotska Maratmo MSF.
Perayaan Ekaristi yang dimulai pada pukul 17.45 Wita tersebut dipimpin oleh Bapak Uskup Keuskupan Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang didampingi oleh 33 orang imam.
Dalam homilinya, Uskup Keuskupan Banjarmasin menjelaskan makna dari sebuah imamat. Di antara imamat pertama-tama adalah anugerah dari Tuhan, dan tak seorang pun di dunia ini berhak mengklaim bahwa hal itu berasal dari dirinya sendiri.
Imamat juga selalu berkaitan dengan tugas dan fungsi yaitu untuk mewartakan Kabar Gembira yang menyelamatkan kepada banyak orang; dan imamat harus berbuah kasih, sehingga ada banyak umat yang kemudian mengalami damai sejahtera dalam hidupnya.
Sebelum Mgr. Petrus Timang menyampaikan homilinya, beliau mempersilahkan Pastor Maratmo MSF yang juga menjabat sebagai Provinsial MSF Kalimantan serta Pater Mohr MSF untuk membagikan pengalaman hidupnya masing-masing selama menjalani imamat 25 tahun dan 50 tahun.
Sehari sebelum merayakan pesta emas imamatnya bersama Pastor Maratmo MSF, Pater Mohr MSF berkenan menerima kehadiran kontributor Majalah Keuskupan Banjarmasin Ventimiglia di Paviliun Domicus Nomor 6 Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin, Rabu sore, 31 Juli 2013.
Dalam perjumpaan selama sekitar satu jam tersebut, Pater Mohr MSF berkisah panjang lebar mengenai pengalaman pribadinya sebagai seorang misionaris MSF di tanah Borneo.
Pater Mohr MSF adalah salah satu dari 7 orang imam MSF Provinsi Jerman yang dikirim ke Kalimantan. Keenam imam lainnya yang berasal dari MSF Provinsi Jerman tersebut adalah:
- Pater Friederich Franz MSF.
- Pater Franz Jahn MSF.
- Pater Karl Klein MSF (alm)
- Pater Willibald Pfeuffer MSF (alm)
- Pater Herman Stahlhacke MSF.
- Pater Heinz Ströh MSF.
Lonceng gereja dan menjadi misionaris
“Saya dilahirkan di sebuah kampung di Jerman yang mayoritas penduduknya katolik,” demikian kata Pater Mohr, MSF mengawali perbincangan.
“Kami adalah lima bersaudara dan dibesarkan pada zaman perang. Setelah perang usai, saya telah duduk kelas 2. Sehari-hari saya bekerja untuk membantu orang tua di ladang. Pulang sekolah, saya biasanya kembali belajar atau mengerjakan tugas-tugas dari sekolah; namun terkadang saya harus langsung pergi ke ladang. Saya mengalami kehidupan dan pendidikan disiplin yang keras dalam keluarga saya,” ucap imam kelahiran Jerman, 15 Maret 1937 silam melanjutkan kisahnya.
Sembari menerawang jauh, Pater Mohr mengingat-ingat kembali masa-masa kecilnya. “Setelah menempuh pendidikan sekian tahun lamanya, akhirnya saya masuk di sebuah sekolah misi dan berada di situ selama sekitar satu setengah tahun lamanya. Kemudian saya menyelesaikan pendidikan di Novisiat dan pada waktu itu saya telah berusia 19 atau 20 tahun.”
Pastor Mohr, MSF kemudian bercerita bahwa dirinya berasal dari keluarga sederhana. Pada zaman dahulu, tidak banyak keluarga-keluarga kaya di daerah asalnya. Ayahnya semula bekerja di sebuah perusahaan kereta api, namun kemudian diberhentikan dan menjadi seorang petani.
Sedangkan Ibunya dikenal sebagai seorang pribadi yang begitu memperhatikan keluarga mereka.
Dari lima bersaudara, salah seorang saudaranya yaitu kakak sulungnya yang bernama Sr. Cressentia Mohr MASF juga memilih panggilan hidup sebagai seorang biarawati.
Ketika ditanya tentang perjalanan hidup panggilannya, Pastor Mohr MSF berujar:
“Sejak kecil saya menjadi seorang misdinar. Kami mempunyai kenangan istimewa tentang lonceng Gereja di kampung saya. Pada waktu itu terdapat empat buah lonceng di Gereja kami. Saya suka menarik-narik lonceng Gereja itu dan kemudian satu buah diantaranya terlepas. Bila saya ingat peristiwa itu, saya selalu ingin menjadi seorang misionaris. Dan cita-cita ini muncul sejak saya masih kecil.”
Pastor Mohr MSF menjelaskan bahwa ia ingin menjadi misionaris di daerah-daerah yang ditinggali oleh suku-suku tradisional, seperti suku-suku di wilayah Papua, suku Dayak di Kalimantan atau suku Indian di daratan Amerika atau suku-suku tradisional lainnya.
Seraya tersenyum imam yang memiliki tinggi badan 185 cm ini berkata, “Itu menjadi impian saya semenjak kecil dan akhirnya mimpi itu pun terkabul, meskipun saya akui bahwa sebagai seorang misionaris saya ini belumlah sempurna.”
Ke Borneo atas undangan Pater Klein MSF
“Saya diundang ke tanah misi Borneo oleh alm. Pater Karl Klein MSF yang kala itu bertugas di Paroki St. Joan Don Bosco Sampit. Dari Kota Palangkaraya kami pernah turne dengan naik perahu motor. Dibantu oleh seorang awam bernama Yosef yang berasal dari Flores, kami menyusuri sungai yang ada, sekali waktu perahu kami kandas.”
“Akhirnya kami sampai juga di daerah Kuala Kurun yang berada di sepanjang jalur Sungai Kahayan dan mengunjungi umat di situ. Ada tiga keluarga yang kami kunjungi. Jadi mereka bangun gereja kecil seperti pondok berukuran 8 x 12 m2 dari kayu dan kami tinggal di pinggir bangunan dengan tempat tidur bertingkat. Kemudian pihak keuskupan membangun sebuah pastoran dan akhirnya kami tinggal di situ,” kisah imam yang murah senyum ini dengan suara perlahan.
Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi paroki, Stasi Kuala Kurun berada dalam wilayah pelayanan Paroki St. Perawan Maria Palangkaraya, yang juga melayani beberapa daerah di sepanjang Sungai Rungan, Sungai Manuhing dan Sungai Katingan.
Pada masa itu wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan digembalakan oleh Uskup Keuskupan Banjarmasin Mgr. Willy J. Demarteau MSF.
Selanjutnya Pastor Mohr MSF ditugaskan di daerah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Pater Mohr tiba di Pangkalan Bun pada tanggal 7 April 1965.
Tanggal kedatangan Pastor Mohr MSF ke daerah ini menjadi menjadi istimewa, karena pada saat itu Paroki St. Paulus Pangkalan Bun tengah didirikan, dengan bangunan gereja berukuran 16 x 18 m2.
18 tahun sebelumnya, tepatnya pada bulan Februari 1947, Pangkalan Bun pertama kali dikunjungi oleh Pater H. Nienhuis MSF – seorang pastor tentara KNIL, yang kala itu menjabat sebagai Vikjen.
Pada kesempatan berikutnya, Mgr. Demarteau MSF meminta alm. Pater Johannes Zoetbier MSF mengadakan penjajagan kembali ke Pangkalan Bun pada bulan Maret 1955.
Setelah memantau lebih lanjut, dalam kurun delapan tahun sesudahnya, tepatnya pada tanggal 7 April 1963, sekelompok kecil umat katolik di kota ini membentuk sebuah kepanitiaan untuk memulai pembangunan sebuah gedung Gereja yang diketuai oleh RF Sumarjo – seorang komandan polisi, yang juga rela menyumbangkan sebidang tanah miliknya untuk mendirikan bangunan tersebut. Pada saat itu, jumlah umat katolik di Pangkalan Bun hanya 13 orang saja.
Ditunjuk jadi pastor paroki
Saat kedatangannya, serta merta Pater Mohr MSF ditunjuk sebagai pastor paroki di Paroki Pangkalan Bun. Sebelum berstatus sebagai paroki, wilayah ini dilayani oleh Pater Franz Jahn MSF dari Paroki St. Joan Don Bosco Sampit.
Setelah diangkat sebagai pastor paroki, Pater Mohr mulai mengadakan berbagai kunjungan ke daerah pedalaman Kalimantan Tengah, di antaranya: Nanga Bulik, Kudangan, dan Sungai Tuat dengan tujuan untuk mengenal wilayah karyanya.
Pada tahun 1965, terdapat 15 orang dari beberapa keluarga Tionghoa yang belajar agama Katolik, dan kemudian dipermandikan pada perayaan Paskah dan Natal.
“Di Pangkalan Bun saya berkarya kurang lebih selama 16 tahun dan melayani 30 stasi. Saya sering berkumpul dengan para pemimpin umat. Kami biasanya bertemu di anak sungai dan belajar bersama-sama.”
“Ada dua orang guru agama bernama Yono dan Petrus Suparman, yang membantu saya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh umat yang lain. Mereka berdua adalah umat awam yang mandiri,” ucap Pater Mohr mengenang perjalanan karyanya di Paroki Pangkalan Bun.
Dalam menjalankan tugasnya, Pastor Mohr MSF adalah seorang imam yang begitu kuat memegang prinsip dan komitmen untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi umat yang digembalakannya. “Saya punya prinsip, misalnya tanggal berapa dan jam berapa pastor harus ada di kampung, saya harus ada di sana. Ini sudah menjadi tanggung jawab saya. Saya tidak bisa main-main dengan tugas ini, dan harapan saya semoga iman-imam lainnya juga punya suara hati seperti itu. Saya turne ke kampung-kampung dengan mengendarai Jeep atau Jimny. Saat bertugas di Buntok; saya memakai mobil Taft bekas untuk mengunjungi umat lewat jalan darat dan memakai perahu dengan didampingi oleh motoris.”
Banyak kenangan manis maupun pahit yang harus dilewatinya. Seperti misalnya ketika harus seringkali menyusuri Sungai Lamandau. Sungai tersebut termasuk sungai kecil yang berbatu-batu dan cukup berbahaya.
“Kami terkadang harus melewati satu deretan bebatuan sungai yang tidak ada airnya. Saat kita tidak mengetahui kondisi ini, perahu yang kami naiki pun harus menghantam bebatuan tersebut dan pernah perahu saya karam. Pada waktu itu alba saya hanyut, namun kemudian saya temukan kembali di pinggiran sungai.”
Pater Mohr, MSF menyayangkan karena kejadian tersebut menyebabkan sebuah tempat hosti – yang merupakan hadiah dari seorang sahabatnya di sekolah, hilang dan tidak pernah ditemukan kembali. Pater Mohr MSF mengaku bisa berenang, meskipun tidak terlalu pandai.
Dari tahun ke tahun, karya pastoral yang dijalani oleh Pater Mohr MSF semakin berkembang, selain daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, Penyombanan, Pankut, Karang Besi, Nanga Mutu dan beberapa daerah lainnya satu persatu didatangi dan dilayaninya secara rutin.
Dalam tugasnya sehari-hari, Pastor Mohr MSF dibantu oleh beberapa orang umat di daerah pedalaman – sebagai penghubung – untuk memperkenalkan Gereja Katolik kepada masyarakat suku Dayak.
Pada tahun 1968, dibangunkan sebuah gereja di Desa Sungai Buluh, Kecamatan Lamandau, yang rencananya akan dijadikan pusat pengembangan Gereja Katolik di daerah pedalaman.
Karya yang dijalankan dengan penuh dedikasi dan semangat oleh Pater Mohr, MSF ini mendapat dukungan dan support yang luar biasa dari kakak kandungnya sendiri yang juga mengabdikan dirinya sebagai seorang biarawati Kongregasi MASF.
Dia adalah Sr. Cressentia, MASF yang datang jauh-jauh dari kota Samarinda di Kalimantan Timur ke Pangkalan Bun pada tahun 1971.
Sr. Cressentia, MASF memfokuskan kegiatan awalinya pada pengajaran ketrampilan keputrian bagi remaja putri dan ibu-ibu di Pangkalan Bun dan dari beberapa wilayah pedalaman lainnya.
Maka berdirilah KKW atau Kursus Kerajinan Wanita, yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP) pada tahun 1975.
Keberadaan sekolah ini tidak berlangsung lama, karena Pemerintah pada masa itu menetapkan peraturan yang membatasi keberadaan sekolah kejuruan tingkat pertama. Setelah menjalin kerja sama dengan pihak GKE (Gereja Kalimantan Evangelis), sekolah ini bertransformasi menjadi Sekolah Menengah Pertama di bawah naungan Yayasan ABDI, sebuah yayasan yang terbentuk dan bersifat ekumenis.
Kian lama perkembangan umat di Paroki Pangkalan Bun semakin pesat, pun perkembangan umat di stasi-stasi di daerah pedalaman.
Menurut catatan yang ada, perkembangan umat yang begitu pesat terjadi antara tahun 1984 hingga 1990; dengan kehadiran para transmigran PIR (Perkebunan Inti Rakyat) asal NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Jawa.
Dengan perkembangan situasi tersebut dan mengingat luasnya wilayah yang harus dilayani oleh paroki ini, maka sejak 1 November 1985 wilayah Nanga Bulik yang berada di Kabupaten Lamandau (sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat) dipisahkan dari Paroki Pangkalan Bun.
Sebelum menjadi sebuah paroki, Nanga Bulik adalah salah satu stasi yang didirikan oleh Pastor Mohr, MSF pada tahun 1965. Melihat perkembangan umat yang luar biasa, pada tahun 1981 ditugaskan seorang imam Kongregasi Maryknoll Fathers (MM) yaitu Pater Jerry Wichenhaus MM untuk mempersiapkan stasi ini menjadi paroki yang baru.
Pada tahun 1987, Stasi Sukamara dipisahkan dari Paroki Pangkalan Bun yang berdiri sebagai paroki mandiri dengan nama Paroki St. Petrus Sukamara. Paroki baru ini meliputi tiga kecamatan, yaitu: Sukamara, Balai Riam dan Jelai.