Home BERITA Lectio Divina 03.10.2021 – Keluhuran Perkawinan

Lectio Divina 03.10.2021 – Keluhuran Perkawinan

0
Yesus memberkati perkawinan kerabat-Nya di Kana by este news.

Minggu. Pekan Biasa XXVII (H)

  • Kej. 2:18-24
  • Mzm. 1128:1-2.3.4-5.6
  • Ibr. 2:9-11
  • Mrk. 10:2-16

Lectio (Mrk. 10:2-16)

Meditatio-Exegese

Apa perintah Musa kepada kamu?

Yesus menuju Yerusalem, seolah seperti Ia seperti mendatangi liang singa. Santo Markus tidak mencatat rincian kisah perjalanan Yesus dan para murid dari Kapernaum ke Yerusalem (bdk. Mat. 8:19-22; 18:15-35; Luk. 9:51-18:14; Yoh. 7:2-11:54).

Dari Kapernaum, Yesus menyusuri Samaria, menyeberangi Sungai Yordan ke daerah Perea, di sebelah timur laut Laut Mati.

Dari Perea kembali ke Yerusalem lagi. Meninggalkan Yerusalem, Ia menuju wilayah Suku Efraim, berjalan jauh ke utara ke Samaria, terus ke timur ke Perea, dan, akhirnya, berakhir di Yerusalem untuk ketiga kalinya. 

Karya pelayanan-Nya kali ini adalah rangkaian ketiga perjalanan-Nya ke Yerusalem.

Saat Ia berjumpa dengan kaum Farisi, mereka bertanya, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”

Sebenarnya, mereka tidak bertanya, tetapi menarus suatu jebakan atau pencobaan.

Digunakan kata πειραζοντες, peirazontes dari kata kerja πειραζο, peirazo, – mencoba, mencobai seperti yang dilakukan iblis. Kata ini digunakan ketika Yesus menghadapi iblis di gurun setelah pembaptisan (Mrk. 1:13; Mat. 4:1-11; Luk. 4:1-13).

Para Farisi pasti sadar dan paham betul bahwa Yohanes Pembaptis ditangkap, dipenjara dan dieksekusi mati karena mengecam perkawinan Herodes Antipas.

Dengan menggiring Yesus untuk mengemukakan pendapat tentang halal tidaknya perkawinan, mereka hendak menjebak Yesus untuk juga menyatakan ketidakhalalan perkawinan Herodes Antipas.

Kalau Yesus terpancing, mereka berharap Yesus akan mengalami hal yang sama dengan sepupunya. Dan saat ini, Ia ada di Perea, wilayah yang dikuasai Herodes Antipas, yang juga seorang proselit, penganut agama Yahudi dari bangsa lain.

Yesus tidak langsung menanggapi pertanyaan yang secara jelas merendahkan martabat kaum perempuan.

Ia justru bertanya, “Apa perintah Musa kepada kamu?” (Mrk. 10:3). Yesus langsung menusuk jantung perdebatan di antara mereka sendiri tentang sah tidaknya perceraian seperti tertulis pada Ul 24:1-4.

Perintah ini muncul karena kecenderungan manusia untuk memberontak terhadap Allah. Para Farisi itu lebih senang melestarikan pola pikir, tindak dan adat yang mendukung dominasi mereka atas kaum perempuan. Sementara, Yesus malah justru menukik pada inti perjanjian antara manusia dengan Allah.

Bila manusia menjadi umat-Nya dan Yahwe menjadi Allahnya (Kel 6:6), seluruh ketetapan-Nya harus dipenuhi. Oleh sebab itu, Yesus menekankan maksud Allah pada saat menciptakan dunia dan manusia. Ia menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan (Kej 1:27).

Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya menjadi satu daging (Kej 2:24). Mereka menjadi satu, bukan lagi dua. Yang satu merupakan belahan atau sisi dari yang lain – tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (Kej 2:23). 

Dengan cara ini Yesus mengembalikan institusi perkawinan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.

Maka, Yesus menghapus hak istimewa kaum laki-laki untuk menceraikan istrinya dan memulihkan martabat kaum perempuan.  Keduanya memiliki martabat yang sepadan. Dalam perjanjian antara Allah dan umatNya, perkawinan hanya dilakukan antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kekudusan.  

Yesus ternyata sangat memahami hukum sipil Romawi, yang membolehkan perempuan menceraikan suami, seperti Herodias (Mrk. 6:17-18). Maka, bagi-Nya, perkawinan yang timbul karena perceraian tetap merupakan perzinahan (Mrk. 10:11-12).

Di tempat lain, Yesus ternyata menuntut orang untuk hidup murni bagi Kerajaan Allah (Mat. 19:11-12). Maka baik perkawinan maupun selibat merupakan panggilan untuk menghayati kesucian hidup.

Hidup yang mereka hayati, perkawinan dan selibat, adalah milik Allah. Manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan. Jadi hidup dan mati adalah milik Allah (bdk. 1 Kor. 6: 19b, 20; Rm. 14: 7-8).

Relasi suami-isteri digunakan juga untuk melukiskan relasi antara Yesus Kristus dengan jemaat. Santo Paulus melukiskan Yesus sebagai mempelai lelaki yang bersatu dengan istri, ”Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:31-32).

Dan para bapa Konsili Vatikan II melukiskan relasi Yesus dan Gereja sebagai mempelai nirmala bagi Anak Domba yang tak bernoda. Kristus “mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (Ef. 5:29). Ia memurnikan dan menghendakinya bersatu dengan diri-Nya serta patuh kepada-Nya dalam cinta kasih dan kesetiaan (lih. Ef. 5:24).

Akhirnya Kristus melimpahinya dengan kurnia-kurnia surgawi untuk selamanya, supaya kita memahami cinta Allah dan Kristus terhadap kita, yang melampaui segala pengetahuan (lih. Ef 3:19).” (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 6). 

Karena ketegaran hatimulah

Yesus tidak pernah menyetujui perceraian. Ia menyebut dispensasi Musa itu sebagai akibat dari  σκληροκαρδιαν, sklerokardia, ketegaran hati (Mrk. 10:5). Beberapa kali Yesus menggunakan ungkapan ketegaran hati (Mrk. 3:5; 6:52; 16:14).

Orang yang tegar hati tidak pernah mau dan mampu menangkap makna sabda Allah serta melaksanakan sabda-Nya, termasuk dalam perkawinan. Sabda-Nya (Mrk. 10:5), “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menulis perintah ini untuk kamu.”, Ad duritiam cordis vestri scripsit vobis praeceptum istud.

Murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu

Para ibu membawa anak-anak mereka pada Yesus. Mereka ingin agar anak-anak itu diberkatiNya. Namun para murid melarang mereka. Tidak ada penjelasan mengapa mereka dilarang. Tetapi, apabila melacak cara pikir para murid, larangan mereka berlandaskan pada Hukum Tuhan tentang kenajisan karena menstruasi.

Para perempuan yang mengalami menstruasi dipandang najis; orang-orang yang berhubungan dengan mereka dan segala benda yang terkena sentuhan mereka dianggap najis (lih. Im. 15:19-27). Untuk menjadi tahir, ia harus mempersembahkan dua ekor burung tekukur atau merpati dan menghadap imam untuk mengadakan upacara pentahirannya (Im. 15:28-31).

Jadi dalam waktu tertentu kaum perempuan dan anak-anak yang langsung bersentuhan dengan mereka pasti terpinggirkan, paling tidak secara ritual keagamaan.  Dengan mengusir anak-anak, mereka tidak ingin Sang Guru najis.

Mereka lupa bahwa mereka tidak boleh menolak orang yang bukan golongan mereka, tetapi mengusir setan demi nama Yesus (Mrk. 9:39).

Yesus menunjukkan kemarahan pada para murid atas penolakan mereka pada anak-anak. Digunakan kata ηγανακτησεν, eganaktesen, dari kata kerja aganakteo: marah, jengkel (Thayer,  Greek Lexicon, hal. 3). Sisi perasaan manusiawi Yesus disingkapkan  (Mrk. 10:14; bdk. Mrk. 1:25. 41. 43; 3:5; 7:34; 8:12; 9:19). 

Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku

Pada jaman kuna, anak-anak berusia kurang dari 12 tahun berada di lapisan terbawah lapisan sosial masyarakat, seperti gembala, pemungut cukai, janda miskin, pelacur, dan pendosa lainnya. Mereka tidak memiliki hak atau sumber daya untuk menopang hidup mereka sendiri. Mereka tergantung sepenuhnya pada orang tua.

Yesus mengemukakan apa yang seharusnya  dilakukan paa murid. Sabda-Nya (Mrk. 10:14), “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Sinite parvulos venire ad me. Ne prohibueritis eos; talium est enim regnum Dei.

Yang Ia maksud, pertama, anak-anak menerima segala sesuatu dari orang tua mereka. Mereka tidak bisa menuntut, karena mereka hidup hanya dari belas kasih.

Kemudian, para orang tua menerima anak mereka sebagai anugerah dari Allah dan merawat mereka dengan kasih sebesar mungkin. Orangtua tidak mendikte anak, tetapi mengasihi mereka, mendidik mereka sedemikan rupa, agar mereka tumbuh dan dewasa dalam iman.

Santo Basilius Agung, 329-379, mengajarkan, “Sang Rasul memuji Timotius yang telah mengenal Kitab Suci sejak kanak-kanak (2Tim. 3:15). 

Ia juga meminta agar anak-anak dididik “dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4). Maka, kita mempertimbangkan tiap saat usia hidup kita, bahkan dari usia paling muda, selalu siap sedia menerima setiap orang ke dalam komunitas iman.” (The Long Rules 15).

Barangsiapa menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil

Sabda-Nya (Mrk. 10:15),“Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”, deuisquis non receperit regnum Dei velut parvulus, non intrabit in illud

Menyambut Kerajaan Allah seperti anak kecil bermakna bahwa hidup para murid Yesus selalu bergantung kepada-Nya, seperti anak kecil yang bergantung pada kebaikan hati orang tua atau seperti ranting anggur yang mati bila tidak menempel pada pokok anggur (Yoh. 15:16).

Tanda-tanda penyambutan Kerajaan Allah nampak dalam hal-hal berikut:

  • menyambut mereka yang lemah, miskin, kecil, sakit dan difabel serta tidak menyesatkan mereka. Yang menyesatkan patut diikat lehernya dengan batu kilangan dan dibuang ke laut (Mrk. 9: 42; Luk. 17, 2; Mat. 18, 6);
  • Yesus, mengidentifikasi diri dengan yang kecil. Barang siapa menyambut seorang anak, “menyambut aku.” (Mrk. 9:37). Karena “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40);
  • menjadi seperti kanak-kanak, menggantungkan diri pada belas kasih Allah  (Mrk. 10:15; Mat. 18: 3; Luk. 9, 46-48);
  • membela hak-hak anak, karena merekalah yang paling lantang berteriak “Hosana Putera Daud!” (Mat. 21: 15). Saat dikecam oleh para imam agung dan Ahli Taurat karena teriakan kanak-kanak Yerusalem, Ia membela dengan mengingatkan para pengecam akan sabda Allah (Mat. 21:16);
  • orang-orang kecil yang bergantung pada-Nya lebih mengenal dan peka akan kehadiran Kerajaan Allah. “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” (Mat. 11:25-26); dan
  • Yesus menerima, menyembuhkan dan membangkitkan anak-anak:  anak perempuan Yairus, 12 tahun (Mrk. 5: 41-42), anak perempuan dari perempuan Kanaan (Mrk. 7:29-30), anak laki-laki dari janda di Nain (Luk. 7:14-15), anak laki-laki yang sakit ayan (Mrk. 9:25-26), anak laki-laki perwira Romawi (Luk. 7:9-10), anak laki-laki dari pegawai istana Herodes Antipas (Yoh. 4:50), dan anak laki-laki yang memiliki lima roti dan dua ikan (Yoh. 6:9).

Katekese

Bagaimana membantu pasangan suami-istri yang mengalami masalah. Paus Fransiskus. 1936 – sekarang:

“Inilah yang kamu katakan [Irena], tentang membantu pasangan suami-istri. Dan bagaimana kita membantu mereka? Kita membantu mereka dengan menawarkan penyambutan yang hangat, persahabatan, pendampingan, bimbingan rohani, dan menyatukan mereka dengan tubuh Gereja.

Dalam komunitas iman Katolik, kita harus menawarkan bantuan untuk menyelamatkan perkawinan. Ada tida kata: kata-kata emas yang terkait dengan hidup perkawinan.

Saya hendak sampaikan pada pasangan suami istri, “Apakah kalian saling mencintai?” “Ya,” mereka menjawabnya.

Ketika salah satu dari kalian memberikan sesuatu pada yang lain, apakah kalian mengucapkan terima kasih? Dan jika salah satu dari kalian melakukan suatu tindakan yang kurang ajar, apakah kalian sadar untuk meminta maaf?

Dan jika salah satu dari kalian merencanakan sesuatu, misalnya, rekreasi ke luar kota, atau melakukan sesuatu yang lain, apakah kalian menanyakan pendapat pasanganmu?”

Tiga kata: “Apakah pendapatmu, apa yang dapat kulakukan?”; “Terima kasih”, “Maaf’. Jika pasangan suami-istri menerapkan kata-kata ini, perkawinan akan berlangsung mulus. Inilah bantuan nyata.

Kamu, Iriana, menyebutkan musuh besar perkawinan saat ini: teori gender. Dewasa ini perang dunia dikobarkan untuk menghancurkan perkawinan. Dewasa ini marak penjajahan ideologis yang menghacurkan, tidak dengan sejata, tetapi dengan pemikiran.

Maka kita harus mempertahankan diri dari penjajahan ideologi ini. Jika kita dilanda masalah, lekaslah berdamai sesegera mungkin, sebelum hari berlalu.

Dan jangan lupa tiga kalimat ini: “apa yang dapat kulakukan”, terima kasih”, “maafkan aku”.” (Sambutan dalam Pertemuan dengan Para Imam, Religius, Seminaris dan Pekerja Pastoral, di Church of the Assumption of the Blessed Virgin Mary – Tbilisi, Sabtu, 1 Oktober 2016)

Oratio-Missio

Tuhan, Engkau memanggilku untuk menjadi kudus. Kuduskanlah hidupku. Jadikanlah aku ragi untuk mengubah cara hidup yang tidak menghormati kesetiaan dalam perkawinan atau kaul-kaul yang diucapkan di hadapan-Mu. Amin.

  • Apa yang harus aku lakukan untuk setia pada janji perkawinan atau kaul-kaulku?

Propter hoc relinquet homo patrem suum et matrem et adhaerebit ad uxorern suam,  et erunt duo in carne una; itaque iam non sunt duo sed una caro – Marcum 10:7-8

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version