Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Renungan Harian Lectio Divina 04.03.2024 – Membuka Diri Dan Rendah Hati

Lectio Divina 04.03.2024 – Membuka Diri Dan Rendah Hati

0
Tak ada nabi diterima di kampung halamannya sendiri, by Vatican News

Senin. Minggu Prapaskah III, Hari Biasa (U)

  • 2Raj. 5:1-15a
  • Mzm.42:2.3; 43:3.4
  • Luk. 4:24-30

Lectio

24 Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. 25 Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.

26 Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. 27 Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.”

28 Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. 29 Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. 30 Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.  

Meditatio-Exegese

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya

Yesus berharap seluruh kerabat dan tetangga dekat-Nya di Nazaret menerima pewartaan-Nya dengan sukacita. Tetapi, yang ditemukan justru: penolakan. Ia ditolak oleh orang yang kenal-Nya sejak dari masa kecil.

Ia mengenal masing-masing tetangga sejak Bapak Yusuf dan Ibu Maria membawa-Nya pulang ke Nazaret dari pengungsian di Mesir (Mat. 2:19-23). Tetapi mereka melecehkan-Nya dengan berkata, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” 

Mereka tidak percaya Yesus sungguh anak Yusuf. Mereka tidak percaya pada yang peristiwa suci yang terjadi karena kehendak Allah.

Terlebih, mereka menolak gagasan untuk menerima kaum miskin, buta dan tertindas. Maka ketika Ia mewartakan apa yang menjadi tugas perutusan-Nya, segera, mereka menolak-Nya.

Mungkin mereka menolak sebab Yesus tidak mengutip, “hari pembalasan Allah kita.” (Yes. 61:2b). Orang Yahudi mengharapkan Allah datang segera untuk mengusir para musuh Allah, terutama penjajah.

Saat itu Kekaisaran Romawi menjajah bangsa Yahudi dan menduduki tanah Israel. Mereka tak hanya memaksakan penerapan pajak bergandan dan tinggi pada tiap kepala. Tetapi mereka juga memaksa umat Allah mengikuti budaya Yunani.

Pembalasan bisa dilakukan melalui pengusiran, pemberontakan bersenjata, dan tindak kekerasan lainnya. Sebaliknya, Yesus justru menyingkapkan sisi kerahiman dan belas kasih. Ia menghendaki lingkaran setan kekerasan, the spiral of violence, diputus.

Penolakan menyebabkan Yesus tidak membuat mukjizat di Nazaret. Penolakan mereka sama dengan ketidak-percayaan pada Allah. Maka, Yesus menanggapi (Luk. 4:24), “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”, Amen dico vobis: Nemo propheta acceptus est in patria sua.

Ia kemudian mengingatkan mereka akan kisah Naaman, orang Siria, yang disembuhkan dari lepra. Kemudian kisah janda di Sarfat dengan Nabi Elia.

Pada jaman Elia dan pada jaman Elisa

Dalam khobah pagi di Kapel Domus Sanctae Marthae, Bapa Suci Fransiskus mengatakan, “Pada masa itu, penderita kusta dan janda disingkirkan. Dalam pergaulan umum, para janda tidak diberi ruang yang wajar untuk hidup bersama anggota masyarakat lain. Sementara penderita kusta harus hidup di luar pemukiman, jauh dari komunitas mereka.”                   

Paus Fransiskus melanjutkan, “Di sinagoga di Nazaret, “Yesus berkata bahwa di sana tidak ada mukjizat: tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya, karena kamu tidak membutuhkan siapa pun; kamu memiliki dua lapis rasa aman semu.” Orang-orang yang dikenal Yesus sebelumnya merasa nyaman dengan apa yang mereka anggap sebagai ‘iman’.

Mereka merasa terjamin dengan melaksanakan seluruh perintah Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan keselamatan. Paus melanjutkan, “Sikap batin mereka menyingkapkan tragedi ketaatan pada perintah Allah tanpa iman: aku diselamatkan hanya karena aku pergi ke sinagoga tiap hari Sabat, dan aku selalu mematuhi tiap perintah Allah”; dan “siapa Dia ini yang datang dan berkata padaku bahwa mereka yang disingkirkan, para penderita kusta dan para janda, lebih baik imannya dari padaku.”

Maka Paus meringkas, “Hati-hatilah karena jika kamu merasa bahwa kamu tidak ada di dalam garis batas, kamu tak akan diselamatkan! Inilah kerendahan hati, jalan kerendahan hati: merasa dipinggirkan, sehingga orang merasa bahwa ia membutuhkan tindakan keselamatan dari Tuhan, karena hanya Dia yang menyelamatkan, bukan kesetiaan kita melaksanakan hukum agama.” (Homili hari Senin, 24 Maret 2014, dalam L’Osservatore Romano, Weekly ed. in English, n. 13, 28 March 2014).

Pada saat terjadi bencana kelaparan, Nabi Elia tidak diutus pada bangsa Israel, tetapi ia diutus untuk menjumpai seorang janda di Sarfat, di Sidon, dan tinggal di situ (1Raj. 17:7-16). Kekeringan yang menimpa Israel merupakan hukuman atas perilaku jahat Raja Ahab.

Raja itu membuat mezbah untuk Baal di kuil Baal di Samaria, membuat patung Asyera. Maka sakit hatilah Tuhan, Allah Israel (1Raj. 16:32-33). Maka, perutusan Nabi Elia menyingkapkan bahwa karya keselamatan-Nya justru menjangkau bangsa asing.

Nabi Elisa diutus untuk menyembuhkan panglima perang Siria, Naaman, dari kusta, saat tidak ada mukjizat penyembuhan di kalangan orang Israel (2Raj. 5: 14). Saat Naaman menemuinya, sang nabi hanya menyuruh seorang suruhan dan meminta panglima perang yang perkasa untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan.

Naaman sangat marah, karena merasa direndahkan. Katanya, “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!

Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati.” (2Raj. 5:11-12).

Tetapi, para prajurit redahan mengingatkan panglima itu untuk merendahkan diri. Setelah merendah dirinya, panglima Kerajaan Siria itu melakukan apa yang diperintahkan sang nabi dan menjadi tahir.

Mengisahkan kembali tentang pentahiran Naaman, Yesus berusaha menumbuhkan sikap batin baru: keterbukaan dan kerendahan hati.

Mereka bangun, lalu menghalau, dan membawa Yesus ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia

Tetapi, sayang, usaha-Nya gagal. Komunitas Nazaret mencapai puncak kemarahan dan hendak melemparkan-Nya ke jurang.

Yesus tidak terpengaruh oleh kemarahan mereka dan tetap setia pada tugas perutusan-Nya.  Santo Lukas mengajarkan tentang betapa sulit untuk mengubah mentalitas selalu merasa unggul dibanding yang lain dan mentalitas menutup diri untuk menerima yang lain.

Penolakan pada Yesus di awal pewartaan-Nya mengesankan kegagalan Yesus. Kegagalan bukan di pihak Yesus, tetapi di pihak penerima warta.

Katekese

Ia menyelamatkan ketika kita disingkirkan. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang :

“Kerendahan hati Kristiani mendorong kita untuk mengakui kebenaran dan berkata: aku seorang pendosa! Inilah kebenaran kita. Kebenaran lain… kebenaran bahwa Allah menyelamatkan kita.

Namun, Ia menyelamatkan ketika kita disingkirkan. Ia tidak menyelamatkan kita ketika kita merasa diri aman dan nyaman.” (Penutup khotbah, hari Senin, 24 Maret 2014)

Oratio-Missio

Anugerahilah rahmat yang cukup agar aku mampu menjadi rendah hati untuk menerima keselamatanMu. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk tak pernah menolak kehadiran-Nya?  

Ait autem, “Amen dico vobis: Nemo propheta acceptus est in patria sua – Lucam 4:24

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version