Home BERITA Lectio Divina 04.09.2022 – Memilih Dia

Lectio Divina 04.09.2022 – Memilih Dia

0
Ilustrasi: Simon dari Kirene di Perhentian Kelima, Jalan Salib di halaman Basilica of Our Lady of Consolation, Pasierbiec, Polandia.

Minggu. Hari Minggu Biasa XXIII (H)

  • Keb. 9:13-18.
  • Mzm. 90:3-4.5-6.12-13.14.17.
  • Flm.1:9b-10.12-17.
  • Luk. 14:25-33

Lectio (Luk. 14:25-33)

Meditatio-Exegese

Sebab jiwa dibebani badan yang fana, dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir

Menyaksikan kehancuran bangsa-bangsa, atau kemakmuran yang datang dan lenyap dalam kesejap, atau, bahkan, pembunuhan orang jujur di depan mata kepala sendiri, pasti membuat kecil hati, bahkan, hilang harapan. Kejahatan yang berkelindan dengan semua yang terlarang dan berkuasa seolah memupus asa.

Para pejuang yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran seperti menguras samudera dengan tempurung kelapa. Dalam situasi yang seolah tanpa harapan, tak diragukan lagi, banyak orang menyerah dan putus asa.

Kitab Kebijaksanaan, yang ditulis atas nama Raja Salomo, yang terkenal bijaksana, dipersembahkan untuk umat yang mengalami kehancuran iman dan kehilangan harapan seperti umat di Alexandria, Mesir. Tinggal sebagai orang asing dan menjadi minoritas, hidup batin umat Yahudi diaspora terbelah.

Iman yang dihayati dan diwarisi umat dari nenek moyang berbenturan dengan budaya Yunani yang melingkupi dan dihayati mayoritas penduduk. Sering, mereka mengalami penentangan. Dan tak sedikit meninggalkan Yahwe.

Penulis Kitab kebijaksanaan berusaha keras memulihkan iman umat dengan menjembatani iman Yahudi dengan kultur filsafat Yunani. Maka, sering kitab ini disebut sebagai kebijaksanaan untuk hidup benar.

Kebijaksanaan, bagi sang penulis suci, dipandang dan diidentifikasi sebagai Roh Kudus yang diutus Allah dari atas (Keb. 9:17). Roh itu menuntun untuk melihat, menimbang dan memilih kebijaksanaan atau kebenaran.

Bila dibiarkan sendirian, manusia tidak dapat memilih kebenaran, karena pikirannya hina, sangat terbatas dan sering menyesatkan (Keb. 9:14). Terlebih tubuh, pada saat itu, dipandang  sering tidak mau menopang keutamaan (Keb. 9:15).

Tubuh melambangkan nafsu yang tak teratur dan kebinasaan, seperti ungkapan Santo Paulus, “Aku, manusia celaka. Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm. 7:14). Dan, akhirnya, Roh menyadarkan akan keterbatasan manusia (Keb. 9:16).

Penulis suci tidak mengatakan bahwa manusia tidak dapat menemukan kebenaran. Kebijaksanaan Allah, memang, tidak dapat ditemukan hanya melalui usaha manusia sendiri. Dan sekarang Sang Sabda, Kebijaksanaan Allah telah menjadi manusia, sehingga kita mampu mengenal-Nya.

Manusia tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri melalui segala kebijaksanaannya. Hanya Sang Kebijaksaanlah yang mampu menyelamatkan manusia.

Santo Athanasius, Uskup Alexandria, menulis, “Karena Allah tidak menghendaki untuk dikenali melalui gambar dan tanda kebijaksanaan yang hidup untuk ditemukan dalam benda ciptaan, seperti terjadi pada masa lalu, sekarang, atas kehendak-Nya sediri Sang Kebijaksanaan telah menjadi daging.

Dan karena Ia telah menjadi manusia, Ia menderita kematian di salib. Supaya dalam hari-hari yang akan datang, setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan melalui iman pada salib.

Pada masa lalu, Kebijaksanaan Allah yang dimateraikan di seluruh barang ciptaan – dan kehadiran atas tandaNya adalah alasan mengapa kita menyebut mereka sebagai ‘ciptaan – menyatakan Diri-Nya sendiri dan, dengan demikian, menjadikan Bapa-Nya kita kenal.

Dan pada jaman akhir, Kebijaksanaan yang sama, yang adalah Sang Sabda, menjadi manusia, seperti kesaksian Santo Yohanes; dan setelah mengalah maut dan menyelamatkan umat manusia, Ia menyatakan Diri-Nya sediri dengan cara yang lebih jelas, dan melalui Diri-Nya sendiri, Ia menyingkapkan Bapa-Nya.” (Contra arianos, 2, 81-82).

 Banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya

Dalam perjalanan ke Yerusalem, Yesus diikuti orang dalam jumlah besar. Saat Ia memberi makan orang banyak, mereka berjumlah lima ribu orag laki-laki dewasa (bdk. Mat. 14:21; Mrk. 6:44; Luk. 9:14). Seandainya mereka adalah kepala keluarga dengan menbawa seorang isteri dan dua orang anak, maka yang mengikuti Yesus berjumlah dua puluh ribu orang.

Jumlah yang demikian banyak menandakan popularitas Yesus. Seandainya peristiwa ini terjadi sekarang, segala macam hal tentang Yesus dapat dibuat menjadi mesin uang: merchantdise, genre musik Yesus, kuliner Yesus, Yesus channels, snack Yesus, dst.

Tetapi, kelak, yang banyak itu akan meninggalkan-Nya sendirian saat Ia ditangkap hingga digantung di kayu salib.

Yesus sadar bahwa tidak semua orang akan menjadi sahabat terdekat-Nya. Ia pasti tahu mereka datang dengan pelbagai macam dorongan batin. Mungkin ada yang hendak membonceng popularitas, pamer kemampuan finansial, menunjukkan pengaruh, ambil keuntungan dagang, dan, bahkan, memata-matai.

Situasi seperti yang dihadapi-Nya identik dengan yang dialami GerejaNya di sini dan kini, _hic et nunc_. Santo Lukas melukiskan kerumunan itu dengan sangat tepat, “banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.” (Luk. 14:25).

Mereka hanya berduyun-duyun. Tidak mau tahu akan tujuan kepergian-Nya, εξοδος, exodos, yang harus digenapi di Yerusalem, yakni: sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.

Setelah memandang mereka dan mengambil kesempatan, Yesus menoleh, memutar badan, kemudian menyampaikan kepada mereka syarat-syarat untuk menjadi murid-Nya, sahabat-Nya sendiri. Menjadi murid-Nya, seseorang tidaklah cukup hanya dengan mendekatiNya, atau berjalan kaki bersama-Nya.

Tiap murid-Nya harus mempersiapkan diri menghadapi salib dan penghinaan, bahkan, kematian. Lagi pula, ia perlu mengorbankan seluruh kedekatan emosional manusiawi, meninggalkan segala yang sangat dekat dan sangat dicintai.

Tidak membenci

Menggunakan gaya bahasa yang dilebih-lebihkan, hiperbola, Yesus menyingkapkan tuntutan pertama untuk mengikutiNya. Santo Lukas menggunakan kata μισει, misei, dari kata  μισεω miseo, membenci, tidak menyukai, mengingkari.

 Sabda-Nya (Luk 14:26), “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”, Si quis venit ad me et non odit patrem suum et matrem et uxorem et filios et fratres et sorores, adhuc et animam suam, non potest esse meus discipulus.

Sabda-Nya pasti menyentak perasaan, menggoncangkan jiwa. Maksud-Nya hanyalah mengajak setiap orang untuk benar-benar mendengarkan-Nya.  Dalam tradisi bangsa Yahudi, membenci berarti kurang mencintai, seperti dalam ungkapan perasaan Tuhan dalam Kitab Nabi Maleakhi (Mal. 1:2-3), “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.”dilexi Jacob, Esau odio habui.

Santo Lukas menggunakan ungkapan yang lebih keras dari pada yang digunakan Santo Matius, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat. 10:37).  Setiap murid-Nya diundang untuk tidak hanya mengasihi-Nya lebih dari pada para kerabat, lebih dari pada hidupnya sendiri.

Tetapi juga membenci apa saja yang berasal dari para kerabat yang memisahkan dari kasih Kristus. Tiap murid-Nya harus membenci apa yang ada dalam dirinya sendiri dan menolak apa pun  yang bertentangan dengan-Nya dan melawan hukum kasihNya. Karena, hukum-Nya menentang apapun kehendak dan kecenderungan yang jahat.

Dengan kata lain, Yesus menuntut siapa saja yang hendak menjadi murid-Nya harus menjadikan-Nya prioritas paling utama dan pertama dalam dalam komunitas yang didirikanNya. Ecclesia, umat baru yang dipanggil untuk mengimani-Nya, dipersatukan oleh iman kepada-Nya.

Landasan hidup komunitas itu adalah kasih, agape, bukan ikatan kekerabatan, kesukuan, atau ikatan primordial lain. Landasan itu memungkinkan semua orang saling mengasihi dan memandang sebagai saudara (bdk. Mat. 5:46-47).

Yesus menekankan kasih saat bersabda (Yoh 15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”, maiorem hac dilectionem nemo habet, ut animam suam quis ponat pro amicis suis

Kasih pada Allah dan Yesus harus diutamakan dalam hidup. Santo Gregorius Agung mengajarkan, “Di dunia kita harus mengasihi setiap orang, bahkan kita harus mengasihi musuh kita; tetapi kita harus membenci orang yang menentang kita menapaki jalan kepada Allah, walau ia adalah kerabat kita […].

Maka, kita harus mengasihi sesama; kita harus mengasihi semua – pada para kerabat dan orang asing, tetapi tanpa memisahkan kasih kita pada Allah atau kasih kita pada mereka.” (In Evangelia Homiliae, 37, 3).

Tidak memikul salibnya dan mengikut Aku

Penyaliban merupakan penghukuman paling kejam dan hina. Yesus pun bersedia menanggung hukuman ini untuk membuka cakrawala hidup baru, yaitu hidup merdeka dari dosa, setan dan maut. Setiap murid harus menempatkan Yesus sebagai prioritas paling utama dan pertama.

Ia harus menjadikan Yesus sebagai tujuan hidupnya, merdeka untuk bersatu dengan-Nya. Setia kepada Yesus sampai mati, termasuk, kalau perlu kehilangan nyawa karena-Nya, berarti memikul salib dan mengikuti-Nya.

Hidup dengan pantas dan tidak mengikuti keinginan daging menjadi cara mengikuti-Nya. Santo Paulus berkata, “Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Rm. 8:13).

Siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara

Dua perumpamaan menyingkapkan bahaya atau kerugian yang mengancam jika tidak ada perencanaan matang sebelum memulai pembangunan menara atau menyerbu kubu musuh. Dalam budaya yang menjunjung tinggi rasa malu dan kehormatan, orang selalu mempertaruhkan segala-galanya untuk menghindari celaan atas kegagalan dalam menyelesaikan tugas yang telah dimulai.

Perumpamaan ini menggemakan tradisi kebijaksanaan alkitabiah dalam Perjanjian Lama, “Dengan hikmat rumah dibangun […] dengan nasihat yang bijak engkau dapat melakukan peperangan, dan dalam melimpahnya penasihat, ada kemenangan.” (Ams. 24:3.6).

Pada masa Yesus hidup, tuan tanah membiayai pembangunan dinding di sekeliling kebun atau kebun anggur untuk melindungi dari pencuri atau siapa pun yang hendak menghancurkan hasil kebun. Sebuah menara dibangun di pojok dinding dan penjagaan dibuat khususnya pada musim panen.

Keduanya berfungsi untuk mencegah dan mengawasi orang jahat yang tak dikehendaki. Memulai pembangunan menara dan dinding, seperti menara jaga, dan membiarkannya tak terselesaikan karena perencanaan yang ceroboh dan buruk, pasti mendatangkan cemooh dari seluruh penjuru desa dan memboroskan sumber daya serta dana.

Demikian juga dengan raja atau panglima perang yang hendak  berperang melawan musuh yang jauh lebih kuat akan dipandang bodoh bila ia tidak menghadapi musuh dengan perencanaan dan strategi yang memastikan kemenangannya.

Memperhitungkan ongkos, sumber daya lain yang dianugerahkan wajib dilakukan untuk menjamin kembalinya investasi, yang dalam ilmu ekonomi disebut: return on the investment, roi.

Sebelum memutuskan mengikuti-Nya, tiap orang ditantang untuk mengambil keputusan: setuju atau menolak syarat yang ditetapkan-Nya. Bila setuju pada-Nya, keputusan itu berkonsekuensi: menjadikan kehendak Allah sebagai yang pertama dan utama sejak sekarang.

Jika tidak mampu mengikuti Yesus, janganlah mulai melangkan kaki di jalan salib.  Tetapi, Ia tetap saja mengundang setiap pribadi untuk hidup kudus di hadapan-Nya dan sesama. Undangan itu tidak pernah dicabut.

Tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya

Segala milik bisa bermakna apa saja yang mampu memisahkan manusia dari Yesus: anak, istri, kegemaran, harta dan apa saja. Pengikut Yesus dituntut untuk selalu menjadikan-Nya Raja dalam seluruh aspek hidup – cara pikir, cara merasa, dan cara tindak.

Banyak orang berani menentang sekalipun itu kaisar, karena Sang Raja, “Mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan Kaisar dengan mengatakan, bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus.” (Kis 17:7).

Mengikuti Yesus selalu merupakan keputusan bulat, tidak setengah-setengah. Yang mengikutiNya dengan setengah hati pasti gagal.

Katekese

Jadilah kudus. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936:

“Menjadi kudus tidah dituntut harus menjadi uskup, imam atau biarawan-biarawati. Kita sering tergoda untuk mengira bahwa kekudusan hanya diperuntukkan bagi mereka yang dapan menarik diri dari urusan sehari-hari dan menghabiskan waktu dalam doa.

Bukan itu sebenarnya. Kita dipanggil menjadi kudus dengan menghayati hidup kita yang penuh kasih dan menjadi saksi dalam segala sesuatu yang kita lakukan, di tempat mana saja kita membaktikan diri.

Apakah engkau dipanggil dalam lembaga hidup bakti? Jadilah kudus dengan menghayati kaul-kaulmu dengan suka cita. Apakah engkau menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau istriku, seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya.

Apakah engkau mencari nafkah? Jadilah kudus dengan hidup penuh integritas dan keterampilan tinggi dalam pelayananmu kepada para saudara dan saudarimu. Apakah kamu orang tua atau nenek-kakek? Jadilah kudus dengan penuh kesabaran mengajar mereka yang kecil bagaimana mengikuti Yesus.

Apakah engkau memegang tampuk kekuasaan? Jadilah kudus dengan bekerja bagi kesejahteraan bersama dan menolak apa yang menguntungkan untuk diri sendiri. […]

Semoga rahmat pembaptisanmu menghasilkan buah dalam jalan kekudusan. Semoga segala sesuatu terbuka kapada Allah; berpaling kembali kepadaNya dalam setiap situasi. Jangan berkecil hati, karena kuasa Roh Kudus memampukanmu melakukan segala yang perlu, dan pada akhirnya, kekudusan adalah buah dari Roh Kudus dalam hidupmu (bdk. Gal 5:22-23).

Ketika engkau merasa dicobai untuk terus berdiam dalam kelemahanmu, angkatlah matamu pada Kristus yang disalib dan berdoalah, “Tuhan, aku hanya pendosa yang yang malang; tetapi Engkau dapat melakukan mukjizat untuk menjadikan diriku sedikit lebih baik.”

Dalam Gereja, karena semua yang dipanggil menjadi kudus berasal dari para pendosa, kamu akan mendapati segala sesuatu tersedia untuk tumbuh dan berkembang menuju kekudusan.

Tuhan telah menganugerahkan pada Gereja anugerah: kitab suci, sakramen, tempat yang kudus, komunitas yang hidup, kesaksian santo dan santa, dan pelbagai macam keindahan yang mengantar kepada kasih Allah, “seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya.” (Yes. 61:10)” (Seruan Apostolik, Bersukacita Dan Bergembiralah, Gaudete et Exultate, 14-15).

Oratio-Missio

Tuhan, Engkaulah Hartaku, Hidupku dan Segalanya bagiku. Tiada satu pun dalam hidupku dapat mengimbangi suka cita untuk mengenal, mengasihi dan melayani-Mu sepanjang hidupku. Ambillah hidupku dan segala milikku. Jadikanlah aku menjadi milik-Mu, agar digunakan untuk memuliakan-Mu sepanjang hidupku. Amin.

  • Apa yang perlu kulakukan untuk menjadi pengikut-Nya yang setia?

Et, qui non baiulat crucem suam et venit post me, non potest esse meus discipulus – Lucam 14:27

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version