Home BERITA Lectio Divina 07.04.2023 – Memandang Yang Ditinggikan di Salib

Lectio Divina 07.04.2023 – Memandang Yang Ditinggikan di Salib

0
Ditinggikan di salib, by Eugène Delacroix

Jumat. Jumat Agung (M). Pantang dan Puasa.

  • Yes. 52:13-53:12
  • Mzm. 31:2.6.12-13.15-16.17.25
  • Ibr. 4:14-16; 5:7-9
  • Yoh. 18:1-19:42

Lectio (Yoh. 18:1-19:42)

Meditatio-exegese

Penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya

Yesus memandang diri dan menghayati Hamba Yahwe seturut dengan nubuat Nabi Yesaya. Santo Matius bersaksi tentang kepenuhan nubuat setelah penyembuhan ibu mertua Petrus (Yes. 53:4; bdk. Mat. 8:17), ”Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita.”, Vere languores nostros ipse tulit et dolores nostros ipse portavit.

Santo Lukas menyajikan kedatangan Kerajaan-Nya dengan tanda-tanda. Inilah tanda itu: Roh Tuhan ada atas-Nya, pewartaan kabar baik bagi orang miskin, pembebasan para tawanan, penglihatan bagi orang buta, pembebasan bagi yang ditindas, pemberitaaan tahun rahmat telah datang.

Kerajaan itu datang saat Ia bersabda, ”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (bdk. Yes. 61:1-2; Luk. 4:18-19.21). 

Dan Yohanes Pembaptis melihat Yesus, ia berkata, “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” (Yoh. 1:29). Ia sadar penuh bahwa sepupunya akan memenuhi nubuat Nabi Yesaya tentang “anak domba yang dibawa ke pembantaian. (Yes. 53:7). 

Santo Yohanes Paulus II mengajarkan, “Tak serupa dengan wajah manusia: ungkapan ini meringkas penggambaran dalam Yes. 53:2-3 dan menunjukkan betapa luka dan derita di wajah Sang Hamba. Deskripsi yang begitu hidup, sehingga tulisan-tulisan Kristen, dengan alasan yang kuat, membaca nubuat itu sebagai pralambang sengsara Tuhan kita.”

“Sang nabi, yang dengan tepat disebut sebagai ‘Penginjil Kelima’, menyajikan Madah ini sebagai citra penderitaan Sang Hamba senyata-nyata seolah-olah ia menyaksikan dengan matanya sendiri: mata tubuh dan mata jiwa […]

Madah Hamba yang menderita memuat gambaran, dalam arti tertentu,  yang memungkinkan kita memahami tahap-tahap sengsara Kristus yang sangat rinci. Mulai dari penangkapan, penghinaan, pemukulan, peludahan, penghinaan bagi tahanan, penghukuman tak adil.

Disusul penyiksaan, pengenaan mahkota duri dan penghinaan, memanggul salib, penyaliban dan sakratul maut.” (Surat Apostolik, Salvifici Doloris, 17; bdk. Dives in Misericordia, 7). 

Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi

Saat Yesus mati di kayu salib, saat peninggian-Nya, saat Ia dimuliakan Bapa-Nya, Ia hanya ditemani Ibu Maria, tiga perempuan lain dan murid yang dikasihi-Nya. Disaksikan mereka berlima, Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya, seraya berkata (Yoh. 19:30), ”Sudah selesai.”, Consummatum est.

Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum, Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi (Yoh. 19:19). Pontius Pilatus pasti paham tentang sistem pemerintahan kerajaan. Maka ketika ia bertanya, “Engkau inikah raja orang Yahudi?” (Yoh. 18:33), ia ingin memastikan status Yesus sebagai raja  dan wilayah yang dikuasai-Nya.

Ternyata, Pilatus tidak menemukan kekuasaan politik yang mengancam kepentingan Romawi saat menginterogasi Yesus. Maka, ia ingin melepaskan Yesus.

Namun, ia menghadapi tekanan kuat dari orang banyak. Orang banyak dan pemimpin agama tidak mau mendengar dengan jernih kebenaran dan ketidak-salahan yang ditemukan dalam pengadilan.

Yang mereka mau adalah penjatuhan hukuman mati. Dan, di luar nalar sehat, mereka berteriak untuk pembebasan seorang penyamun (Yoh. 19:40), ”Jangan Dia, melainkan Barabas.”, Non hunc sed Barabbam.

Pontius Pilatus menulis dan mengumumkan secara publik alasan mengapa Ia dihukum mati. Pasti, para pemuka agama Yahudi, imam-imam, kaum Farisi dan Saduki, meradang. Ia disalib sebagai Raja.

Orang Yahudi bermimpi bahwa Mesias akan datang sebagai raja yang mendirikan kerajaan Allah bagi mereka. Mereka menghendaki raja yang membebaskan dari penguasa kejam dan penjajahan bangsa asing.

Namun, mereka tidak mau menerima bahwa Yesus adalah Raja yang mengisi setiap relung hati manusia dan mendirikan kerajaan yang tak akan musnah. Mereka memilih raja yang menguasai dunia yang segera musnah dalam hitungan waktu.

Tiada bukti kasih lain yang dimiliki Allah selain pengurbanan Anak-Nya di salib. Inilah bukti itu, yakni saat Ia bersabda, “Sudah selesai.”, Consummatum est.  

Ia tidak mengungkapkan kekalahan, tetapi kemenangan. Saat Ia menundukkan kepala, Ia tahu bahwa perjuangan-Nya telah berakhir dan kemenangan telah diraih. Maka, dari salib Ia memancarkan  harapan, kemenangan dan keselamatan.

Santa Benedicta a Cruce, Edith Stein, murid terkasih filsuf Yahudi Edmund Husserl, berkata, “Engkaulah Salib, harapan satu-satunya.”, Tu es Crux, spes unica.

”Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibr 5:9). Maka, di saliblah ada kemenangan atas dosa dan maut.

Hanya Santo Yohanes mengisahkan kelima orang ini berdiri di bawah salib. Sikap mereka seperti hamba melayani sang raja. Mereka hadir menemani Yesus dalam sakratul maut.

Bagi Ibu Maria, kematian Puteranya mengingatkan saat ia ada bersama Sang Anak di Kana. Ia hadir di pesta perkawinan kerabatnya bersama Yesus saat Ia bersabda, “Saat-Ku belum tiba.” (Yoh. 2:4). Sekarang ia hadir di bawah kayu salib, saat Ia bersabda, “Sudah selesai.” (Yoh. 19:30).

Ia tetap setia pada Anaknya sendiri dan Tuhannya. Ia membungkus-Nya dengan lampin dan membaringkan-Nya di palungan (Luk. 2:7). Sekarang ia mengafani-Nya dengan kain lenan, membubuhi-Nya dengan rempah-rempah dan membaringkan-Nya di pemakaman (Yoh. 19:40-42).

Sedangkan murid yang dikasihi-Nya tetap tanpa nama. Penginjil membiarkan tiap pembaca untuk bermenung dan menentukan sendiri apakah aku adalah juga murid yang dikasihi-Nya.

Santo Agustinus, 354-430, uskup Hippo, dalam khotbah tentang kisah sengsara dalam Injil Yohanes,  memusatkan pandangannya pada para perempuan yang menjadi saksi saat Yesus menumpahkan darah untuk menebus dosa dunia, “Ketika mereka memandang tubuh-Nya, kita juga menatap luka-luka-Nya saat Ia tergantung di salib. Kita melihat darahNya saat Ia mati.

Kita melihat harga yang ditawarkan oleh Sang Penebus, menyentuh bekas luka setelah kebangkitan-Nya. Dia menundukkan kepala-Nya, seolah-olah untuk menciummu. Hati-Nya terbuka, seolah-olah Ia jatuh cinta kepadamu. Tangan-Nya direntangkan agar Ia dapat memelukmu.

Seluruh tubuh-Nya dipersembahkan untuk menebusmu. Renungkan betapa hebatnya hal-hal ini. Biarkan semua ini mengendap dalam budi dan nuranimu, karena Ia dan setiap bagian tubuh-Nya pernah tergantung di salib. Maka, kini pastikan Ia hidup di setiap bagian dari jiwamu.” (GMI 248)

Seterusnya, tentang wafat-Nya, Santo Augustinus, 354-430, menulis, “Dengan wafat-Nya, Ia mengalahkan maut. Kita dibebaskan dari maut hanya dalam wafat-Nya. Tubuh-Nya tidak membusuk. Tubuh kita pasti busuk. Dan hanya dengan mengenakan Dia sebagai pakaian kita, kita tidak mengalami kebusukan hingga akhir jaman.

Ia tidak memerlukan pertolongan kita untuk menyelamat kita. Tetapi tanpa Dia, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ia memberikan diri-Nya sendiri bagi kita seperti pokok anggur pada ranting-rantingnya. Terpisah dari-Nya, kita tidak akan hidup.”

Katekese

Kemenangan Kristus yang ditinggikan di salib.  Santo Gregorius dari Nazianzus, Bapa Gereja dan Uskup Konstantinopel, 329-389:

“Banyak peristiwa menakjubkan terjadi pada waktu itu: Allah tergantung di kayu salib, kegelapan menyelimuti seluruh daerah dan matahari tidak bersinar (Luk. 23:44-45; Mrk. 15:33). Maka layak bahwa ciptaan harus berkabung atas Penciptanya.

Tabir Bait Allah terbelah dua (Mat. 27:51). Darah dan air mengalir dari lambung-Nya (Yoh. 19:34) – yang satu seperti berasal dari manusia, yang lain seperti dari apa yang mengatasi manusia. Bumi terguncang, bukit-bukit batu terbelah (Mat. 27:51). Orang mati bangkit untuk menjadi saksi kebangkitan dari kematian pada banyak orang (Mat. 27:52).

Peristiwa di kuburan dan setelah kuburan, siapa yang bisa menceritakannya dengan tepat? Namun tidak seorang pun dari mereka dapat dibandingkan dengan mukjizat keselamatan saya.

Beberapa tetes darah memperbarui seluruh dunia, dan beberapa tetes membaharui seluruh manusia, seperti  rennet, enzim untuk membuat keju dari susu.  Mari bergabung dengan kami dan mengikatkan diri bersama kami.” (On the Holy Pasch, Oration  45.1)

Oratio-Missio

Tuhan, Engkau menanggung ketidak-adilan dan pelecehan demi diriku. Melalui salib Englau telah menebus dunia dan menganugerahkan pengampunan dan pemulihan relasi dengan Engkau. Berilah aku keberanian untuk selalu memilih apa yang baik dan menghindari apa yang jahat. Amin. 

“Bukan juga setan menyalibkanNya; dahulu yang menyalibkanNya adalah kamu dan sekarang masih saja menyalibkan-Nya, ketika kamu bersuka cita atas kejahatan dosamu.” – Santo Fransiskus Asisi. 

  • Apa perlu aku lakukan untuk tidak menyalibkan-Nya kembali?

Iesus dixit, “Consummatum est!” Et inclinato capite tradidit spiritum – Ioannem 19:19

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version