Minggu. Hari Minggu Biasa XXVIII (H)
- 2Raj. 5:14-17
- Mzm. 98:1.2-3ab.3cd-4
- 2Tim. 2:8-13
- Luk. 17:11-19
Lectio
11 Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. 12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh 13 dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”
14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.
15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.
17 Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? 18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?”
19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Meditatio-Exegese
Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel
Belas kasih dan kerahiman Allah menjangkau seluruh makhluk. Ia menaruh perhatian dan menyelamatkan orang asing dari penyakit. Karya belas kasih-Nya tak bisa dibatasi ruang, waktu atau sekat buatan tangan orang berdosa.
Naaman diperkenalkan sebagai seorang jenderal, panglima komando Kerajaan Syiria. Ia sangat berpengaruh, ternama, kaya, dan diberkati Tuhan, “sebab oleh dia TUHAN telah memberikan kemenangan kepada orang Aram” (2Raj. 5:1).
Allah memberikan kemenangan kepada orang Aram. Karya itu membuktikan Ia adalah Allah semesta alam dan segala bangsa. Pengakuan iman ini telah dirintis sejak Nabi Elia diminta untuk mengurapi Hazael, raja Aram arau Siria (1Raj. 19:15).
Lukisan indah tentang panglima perang yang mengabdi kepada raja Ben Hadad (2Raj. 8:7) ditutup dengan kejutan luar biasa. Sang panglima seperti kena kutukan, karena ia sakit kusta (2Raj. 5:1).
Naaman mencari cara dan orang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Atas saran seorang budak Yahudi yang bekerja pada istrinya, ia harus mencari dan menemui nabi di Israel, Nabi Elisa, untuk memohon penyembuhan.
Saat rombongan pasukan dan jenderal Syiria itu sampai di rumah sang nabi, mereka harus berdiri di halaman. Nabi tidak berkenan ditemui dan hanya berbicara melalui seorang utusan.
Semula Naaman menolak. Ia mengira Nabi Elisa akan keluar rumah, menyambutnya dan membuat upacara magis untuk mengusir penyakit yang diderita. Melalui utusan, sang nabi menyuruh Naaman berendam di Sungai Yordan tujuh kali.
Sekali lagi ia melawan perintah nabi. Harga dirinya terluka, seolah dilecehkan. Namun, atas saran hambanya, ia akhirnya mau menanggalkan kesombongan dan merendahkan diri serta menaati perintah nabi Allah.
Setelah mandi tujuh kali di sungai yang tidak lebih indah dari Sungai Abana dan Parpar, ia menjadi sembuh dan tahir. Naaman harus tahu bahwa nabi Allah bukan seorang dukun. Allah sendirilah menyembuhkannya ketika ia melakukan apa yang diperintahkan-Nya.
Pada awal karya publik-Nya, Yesus menyebutkan mukjizat penyembuhan Naaman di sinagoga di kampung halaman-Nya, Nazaret, “Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.” (Luk. 4:27).
Di samping Nabi Elisa, Ia menyebut Nabi Elia, karena Yesus mengidentifikasikan diri sebagai nabi yang diutus Allah. Sedangkan anggota jemaat diidentifikasi sebagai umat yang tidak tidak tahu bersyukur sama seperti umat pada jaman kedua nabi itu.
Pada saat yang sama, Yesus menekankan kehendak Allah yang berpaling kepada bangsa-bangsa asing, seperti kehendak-Nya menyembuhkan Naaman. Rupanya saat itu Ia mengantisipasi akan apa yang akan terjadi setelah banyak pemimpin agama Yahudi dan umat menolak-Nya.
Ia berbaling dari mereka dan wajah-Nya menatap bangsa-bangsa bukan Yahudi (Mat. 28:19-20) seperti dinubuatkan Nabi Yesaya pada abad ke-8 sebelum Masehi (Yes. 66:18-21).
Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem
Sepuluh orang kusta memohon kesembuhan pada Yesus saat Ia dalam perjalanan menuju Yerusalem. Hanya satu yang kembali menjumpai Yesus untuk berterima kasih. Yang kembali menjumpai-Nya adalah orang asing, tersingkir, orang Samaria.
Ia kembali untuk bersyukur dan berterima kasih. Kisah ini sangat khas, karena sering Santo Lukas melukiskan orang bersyukur dan memuji Allah atas perbuatan Yesus (Luk. 2:28-38; 5:25-26; 7:16; 13:13; 17:15-18; 18:43; 19:37; dst).
Kisah lain juga diungkapkan dalam Luk. 1:46-55; 1:68-79; 2:29-32.
Yesus menyusur batas Galilea dan Samaria
Dalam perjalanan ke Yerusalem Yesus melewati perbatasan Galilea-Samaria. Dari awal perjalanan (Luk. 9:52) hingga sekarang (Luk. 17:11), Yesus menyusuri wilayah Samaria.
Baru sekarang Ia meninggalkan wilayah itu, untuk mengarah ke Yerusalem. Dalam perjalanan-Nya yang sangat panjang dan ditempuh dalam kurun lama, penulis Injil menempatkan pengajaran Yesus.
Maka, perjalanan, exodos, Yesus ke Yerusalem melambangkan perlawanan atas cara pikir, merasa dan bertindak yang sepertinya disahkan agama atau ajaran Tuhan yang membolehkan penyingkiran, perendahan, penindasan, dan pemusnahan orang atau bangsa yang dianggap tidak seiman atau sepaham.
Keyakinan yang tertutup bermakna penutupan diri untuk menjadi sarana dan alat Allah menyingkapkan kerahiman dan belas kasihNya. Yesus, melalui tindakan-Nya menyambut dan memulihkan penderita kusta, mengajarkan tentang bagaimana menyambut sesama sebagai saudara dan saudari dari Bapa yang sama.
Yesus, Guru, kasihanilah kami
Sepuluh penderita kusta berdiri sedikit jauh dari jalan. Mereka selalu disingkirkan, dihina, dan dihilangkan haknya untuk hidup bersama keluarga.
Menurut hukum pentahiran, penderita kusta harus mencabik-cabik pakaian, dan membiarkan rambut terurai. Ketika berjalan mereka harus membunyikan bel yang terikat di tongkat, sambil berteriak, “Najis. Najis.” (Im 13:45-46).
Hukum Taurat juga menetapkan siapa saja yang bersentuhan atau tersentuh penderita kusta atau apapun yang berkaitan dengan penderita, dianggap najis.
Angka sepuluh menjadi sangat penting. Dalam tradisi Kitab Suci, sepuluh menjadi lambang atas kesempurnaan dalam rencana ilahi, misalnya, sepuluh perintah Allah, sepuluh tulah untuk bangsa Mesir, sepuluh gadis yang bijaksana dalam perumpamaan tentang pelita (Mat. 25:1-13).
Sepuluh penderita kusta berdiri di kejauhan karena mereka menyandang penyakit menular dan najis. Mereka juga dilarang memasuki pemukiman (Bil. 5:2-3) atau mendekati orang yang ‘bersih’ (Im. 13:45-46).
Mereka berteriak memohon belas kasih dan kesembuhan dari Yesus. Menurut Santo Lukas, belas kasih yang dicurahkan Yesus merupakan bagian dari harapan akan kunjungan Allah (bdk. Luk. 1:50.54.58.72.78 ).
Santo Lukas melukiskan perjumpaan dengan Yesus seperti perjumpaan antar sahabat. Mereka berseru dan memanggil nama Yesus sebagai Guru. Yesus dipandang seperti rabbi biasa. PadaNya mereka memohon belas kasih, “Kasihanilah kami.”, Miserere nostri.
Ungkapan Latin miserere mengandung kata miser, kemalangan, kesusahan, penderitaan. Penderita kusta itu memohon agar Yesus mau menanggung beban derita bersama mereka.
Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam
Atas permintaan mereka, Yesus tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk mengusir penyakit itu. Ia hanya menanggapi dengan bersabda, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” (Luk. 17:14).
Kesepuluh orang itu harus menanggapi dengan iman yang kokoh pada-Nya. Penyembuhan terjadi pada saat mereka melangkahkan kaki menjumpai para imam.
Selanjutnya, imam harus memastikan dan menjadi saksi penyembuhan. Setelah dinyatakan sembuh, upacara pentahiran dilaksanakan seperti diatur dalam Hukum Taurat (Im. 14:1-32).
Penyembuhan ini seperti mengulangi kisah penyembuhan Naaman, orang Siria itu (2Raj. 5:9-10). Nabi Elisa menyuruh Naaman pergi dan mandi di Sungai Yordan. Naaman harus percaya pada kata-kata sang nabi. Yesus menyuruh penderita kusta menghadap imam-imam. Mereka harus percaya pada sabda-Nya.
Tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya
Hanya satu orang yang kembali kepada Yesus untuk memuliakan Allah. Orang itu adalah seorang Samaria (Luk 17: 16). Yang sembilan pergi menghadap para imam untuk memenuhi hukum.
Mereka beryukur karena melaksanakan hukum agar memperoleh belas kasih. Kemungkinan kesembilan orang itu hanya memusatkan perhatian pada bagaimana mereka segera mendapat status baru sebagai orang yang tahir. Mereka tidak melanggar peraturan Tuhan, dan berhak atas anugerah ketahiran.
Kisah ini mirip dengan sabda Yesus pada perumpamaan tentang hamba, “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Luk. 17:9). Mereka mengira mukjizat penyembuhan itu sudah sepantasnya dilakukan Yesus.
Maka tidak ada lagi ucapan syukur atau terima kasih pada-Nya. Dengan nada getir, Yesus bersabda tentang mereka, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” (Luk. 17:17-18).
Sebaliknya, orang Samaria itu merasa bahwa ia tidak merasa layak di hadapan Allah. Ia meyakini penyembuhan itu adalah pemberian, anugerah Allah, yang dimulai sejak Ia menganugerahkan hidup. Maka, ketika ia mengalami mukjizat, ia berbalik kepada Yesus.
Saat berbalik, ia melakukan apa yang selayaknya dilakukan di depan imam: bersungkur dan mengucap syukur. Ia menghadap dan mengakui Imam Perjanjian Baru. Ia tidak menghadap imam Perjanjian Lama, yang telah dihancurkan oleh musuh pada tahun 70.
Imamat Perjanjian Lama dan seluruh kelengkapannya sudah sirna ketika Santo Lukas menulis Injil pada sekitar tahun 85. Dari mulut orang Samaria, dan dari mereka yang selalu disingkirkan, diabaikan, dikhianati, dianggap tiada, selalu keluar ucapan syukur dan terima kasih atas keselamatan dari Allah.
Yesus menampilkan orang Samaria yang bersyukur (Luk. 17:17-19) dan yang mengasihi sesama (Luk. 10:30-33). Karena sikap imannya itu, Yesus menyapanya dengan penuh kelembutan hati (Luk. 17:19), “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”, Surge, vade; fides tua te salvum fecit.
Katekese
Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Santo Cirylus dari Alexandria, 376-444 :
“Mengapa Yesus tidak bersabda, “Aku mau, jadilah tahir”, seperti terjadi pada saat Ia menyembuhkan penderita kusta lainnya (Luk. 5:13); namun, Ia justru meminta mereka memperlihatkan diri pada para imam?
Perintah-Nya disebabkan oleh hukum yang mengatur kewajiban menghadap pejabat berwenang setelah tahir dari kusta (Im. 14:2). Hukum Taurat meminta mereka memperlihatkan diri pada imam dan mempersembahkan korban bakaran untuk pentahiran.
Ia memerintahan mereka untuk pergi karena mereka telah disembuhkan, sehingga mereka dapat bersaksi di hadapan para imam, penguasa bangsa Yahudi dan selalu iri hati atas kemuliaan-Nya. Mereka bersaksi bahwa Ia melakukan perbuatan ajaib dan di luar yang mereka harapkan.
Mereka telah dibebaskan dari kemalangan karena kehendak Kristus, sehingga mereka disembuhkan. Ia tidak menyembuhkan mereka terlebih dahulu, tetapi mengutus mereka untuk menjumpai para imam, karena para imam tahu tanda-tanda penyakit kusta dan tanda-tanda kesembuhannya.” (Commentary On Luke, Homilies 113-16).
Oratio-Missio
Tuhan, semoga aku tidak gagal mengenali belas kasih dan kerahiman-Mu. Penuhilah aku dengan belas kasih dan ungkapan syukur. Bebaskanlah aku dari sikap suka menggerutu dan tak tahu rasa syukur. Amin.
- Apa yang perlu kulakukan agar semakin percaya pada-Nya dan selalu bersyukur atas anugerah-Nya?
Surge, vade; fides tua te salvum fecit – Lucam 17:19