Home BERITA Lectio Divina 10.04.2022 – Izinkan Masuk Kerajaan-Mu

Lectio Divina 10.04.2022 – Izinkan Masuk Kerajaan-Mu

0
Izinkan masuk Kerajaan-Mu Yesus, ingatlah aku, by Niccolò Antonio Colantonio, c. 1455

Minggu. Hari Minggu Palma. Mengenangkan Sengsara Tuhan (M)              

  • Yes. 50:4-7
  • Mzm. 22:8-9.17-18a.19-20.23-24
  • Flp. 2:6-11.        
  • Luk. 22:14-23:56

Lectio (Luk. 22:14-23:56)

Meditatio-Exegese

Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan

Pada Hari Raya Minggu Palma, Gereja dihadapkan pada momentum yang saling berlawanan: kemuliaan dan penderitaan. Hosanna dipertentangkan dengan Salibkan Dia. Penyambutan Yesus sebagai Raja oleh para pengikut-Nya dan drama pengadilan palsu yang berpuncak pada penyaliban-Nya di Kalvari.

Penyambutan seperti yang diterima Yesus berakar dari kebiasaan yang dimulai oleh Simon Makabe saat memasuki puri dengan iringan kidung dan daun palma setelah menghancurkan musuh pada tahun 171 sebelum Masehi (1Mak. 13:51-52).

Yudas Makabe juga mendapatkan penyambutan yang sama setelah berhasil mengalahkan raja berbangsa Yunani dari Wangsa Seleukid, Antonius IV Epiphanes, dan membebaskan Bait Allah dari cengkeraman bangsa asing serta mentahirkannya pada tahun 163 sebelum Masehi (2Mak. 10:6-8).

Pada jaman Yesus, para raja biasa diarak dengan menunggang kuda ketika pada saat perang. Tetapi pada masa damai ia menunggang keledai. 1Raj. 1:38-41 melukiskan bagaimana Salomo menggunakan keledai kerajaan untuk ditunggangi saat upara pemahkotaannya sebagai raja Israel.

Yesus memasuki Kota Suci sebagai Raja Damai, seperti dinubuatkan Nabi Zakharia,  “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem. Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Za9:9).

Injil memerinci ciri-ciri keledai: muda dan belum pernah ditunggangi orang. Syarat ini mengingatkan akan jenis lembu yang digunakan untuk menarik Tabut Perjanjian: muda dan belum pernah kena kuk (lih. Luk. 19:30; 1Sam. 6:7).

Di samping itu, hanya orang yang memiliki kemampuan dan kepandaian tinggi mampu menjinakkan keledai yang belum pernah dilatih untuk ditunggangi.

Kisah Yesus mengatasi hewan liar, mengingatkan pada kuasa-Nya ketika mengatasi badai di danau Genesaret. Kemampuan dan kepandaian-Nya seolah meledek kaum cerdik pandai yang memusuhi-Nya – kaum Farisi, ahli Kitab, imam, dan Sanhedrin.

Plutarchus, penulis sejarah berkebangsaan Yunani, melukiskan bagaimana raja diarak saat memasuki kota. Ia mengisahkan seorang jenderal Romawi Aemilus Paullus, 229-160 sebelum Masehi, yang mengalahkan dan menghancurkan Macedonia. Ketika Aemilus kembali ke Roma, arak-arakan kemenangannya berlangsung selama tiga hari.

Hari pertama diarak dan dipajang seluruh benda seni yang berhasil dirampas. Pada hari kedua dipamerkan seluruh senjata yang dilumpuhkan.

Pada hari terakhir, arak-arakan dimulai dengan parade 250 sapi jantan, yang tanduknya disepuh emas, 17,000 pound uang emas; disusul raja Macedonia yang tertangkap dan diikuti seluruh keluarga besarnya; serta, Aemmilius sendiri memasuki kota Roma.

Ia menunggang kereta perang yang dihias sangat indah; mengenakan jubah ungu, yang ditenunun dengan benang terbuat dari emas; tangan kanannya membawa pataka lambang keberhasilan; dan barisan paduan suara menyanyikan lagu-lagu merdu untuk memuji prestasi kemiliteran Aemilius yang agung (The Life of Aemilius, Chapter 32.4-34.26, http://penelope.uchicago.edu/Thayer/E/Roman/Texts/Plutarch/Lives/Aemilius)

Saat memasuki Yerusalem, umat menyanyikan dengan lantang kidung pujian dan syukur, “Hallel” dari Mzm. 118, dan secara khusus menggemakan kata-kata Mzm. 118:25-26. Kata Yunani yang digemakan:  hosiana bermakna, selamatkanlah aku sekarang (2 Sam 14:4).

Seluruh umat mengidungkan seluruh Mzm. 118 pada Hari Raya Pondok Daun ketika mereka berarak-arakan 7 kali mengelilingi Altar Kurban Bakaran. Namun dalam Minggu Palma, umat mendaraskan doa Hosanna dengan makna Allah menyelamatkan raja Israel.

Sebelum memasuki Yesusalem, Yesus menangisi kota suci itu (Luk. 19:41-42). Setelah penyambutan selesai, Ia membersihkan Bait Allah, yang telah diubah menjadi sarang penyamun dan pusat kebobrokan (Luk. 19:45-36). Kemudian Ia mengutuk pohon ara, yang daunnya subur, tetapi tidak menghasilkan apa pun.

Ia sedih memandang umat yang tekun beribadat, tetapi tidak menghasilkan buah pertobatan. Mereka telah mengubah kebaikan, iman dan kepercayaan mereka menjadi kesia-siaan.

Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja

Yesus masuk kota Yerusalem sebagai puncak pelaksanaan tugas perutusan-Nya. “Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem.” (Luk. 9:51).

Di tempat inilah, Ia merasakan, seperti para nabi jaman dahulu, yang dipanggil untuk menentang kesesatan para pemimpin agama, untuk mengingatkan mereka akan kesetiaan pada Allah nenek moyang mereka. Si tempat inilah Ia dibunuh (Luk 13:33). Dan, dalam Kisah Para Rasul dilukiskan perkembangan dan persebaran jemaat yang didirikan Yesus mulai dari Yerusalem hingga ke ujung bumi. 

Santo Markus dan para penulis Injil lain melukiskan arakan-arakan kejayaan Yesus dari Betani ke Yerusalem. Di sepanjang jalur orang membentangkan pakaian dan dedaunan di jalan yang akan dilewati Yesus.

Secara tersurat Santo Lukas melukiskan kedatangan Yesus ke Yerusalem sebagai raja, dengan mengubah Mzm. 118:26,  “Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN!”  menjadi “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan.”(Luk. 19:38).

Sedangkan Santo Yohanes mengisahkan, barangkali menjadi awal mula nama Minggu Palma,  saat Yesus sedang menuju Yerusalem, orang banyak mengambil daun palma, mengibarkannya, dan berseru-seru sepanjang jalan (Yoh. 12:12-13),  “Hosana. Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel.”, Hosanna. Benedictus, qui venit in nomine Domini, et rex Israel.

Menurut Santo Lukas, Yesus dikenal sebagai Raja karena oleh karena “segala mukjizat yang telah mereka lihat” (Luk. 19:37). Para pemimpin agama tahu bahwa Ia dianggap sebagai Raja dan segera memamanipulasi apa yang dialami Yesus.

Seruan dan anggapan sebagai Raja sudah menjadi alasan yang cukup untuk menuduh sebagai pemberontak. Hukuman yang diancamkan sudah jelas: penyaliban. Santo Paulus mengatakan bahwa penduduk Yerusalem dan para pemimpin menyalibkan Yesus karena mereka tidak mengenal-Nya (Kis. 13:27).

Kaum Farisi mencoba meminta Yesus untuk menghentikan murid-murid-Nya yang menyerukan Ia sebagai Raja (Luk. 19:39). Karena seruan dan perarakan itu kemungkinan bisa memicu pemberontakan besar melawan Romawi. Tetapi, Ia tidak menghentikan mereka (Luk. 19:40). Mereka justru terus memasuki Yerusalem dengan teriakan lantang.

Saat memandang Yerusalem, Yesus menangisinya. Ia sadar bahwa Ia ditolak olehnya (Luk. 13:34) dan merasa takut atas penghancuran yang segera datang oleh Romawi (Luk 19:41-44).  Kelak disingkapkan juga luapan hati-Nya yang berbelas kasih kepada ‘puteri-puteri Yerusalem’, saat meratapi kesengsaraan yang ditanggung-Nya sepanjang perjalanan ke Kalvari (Luk. 23:27-31). 

Penguasa Romawi menetapkan  penyaliban bagi pelanggar hukum berat, seperti pemberontakan. Hukuman ini dirancang menjadi cara untuk mempermalukan dan menyiksa siapa pun yang sedang dieksekusi mati. Penjahat itu ditelanjangi dan dipaku pada salib yang didirikan di tempat umum, pinggir jalan raya, supaya bisa menggentarkan para musuh.

Beberapa pria yang sehat dapat bertahan selama beberapa hari di atas salib seperti itu sebelum ia mati karena kelaparan, kehausan, kelelahan, dan kegilaan. Penyaliban menyebabkan kematian yang lambat dan menyakitkan, biasanya sebagai akibat dari sesak napas.

Korban digantung di kayu salib sedemikian rupa sehingga paru-parunya dengan cepat dipenuhi cairan. Maka, ia tidak bisa bernapas kecuali menarik dadanya ke atas dan menarik napas satu-satu. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang tak tertanggungkan.

Kelelahan akhirnya menyebabkan sesak napas. Jika serdadu ingin mempercepat proses kematian, mereka mematahkan kaki korban agar sulit bernapas.

Penguasa sengaja menghukum mati Yesus di di antara dua penjahat terkenal. Ini dirancang untuk secara terbuka mempermalukan Yesus di depan orang banyak dan untuk menunjukkan bahwa Ia tidak berbeda dengan para perampok.

Ketika Yesus dipakukan di kayu salib, Ia sudah lebih dari setengah mati. Pencambukan dan mahkota duri yang dilesakkan ke tengkoraknya sudah hampir membunuh-Nya. Dalam keadaan seperti itu, sulit membayangkan bahwa Yesus mampu berpikir dengan jernih dan menimbang dengan hati yang tenang.

Namun, sabda-Nya sungguh menyentak kalbu saat Ia berbicara kepada Bapa-Nya (Luk. 23:34),  “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”, Pater, dimitte illis, non enim sciunt quid faciunt.  

Sabda berikut ditujukan untuk pencuri yang disalibkan di sebelah kananNya. Si pencuri, menurut tradisi bernama Damas, hanya meminta (Luk 23:42, AYT, 2016),  “Ya Yesus, ingatlah aku ketika Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu.”, Iesu, memento mei, cum veneris in regnum tuum

Dari mulut si pencuti terungkap iman akan Yesus yang dimuliakan, seperti dilukiskan oleh Nabi Daniel tentang Anak Manusia (Dan. 7:13-14). Dan Ia akan datang untuk mengadili seluruh semesta saat datang dalam awan gemawan (Mat. 25:31).

Melalui lukisan tentang permohonan si penjahat, Santo Lukas mengkontraskan tanggapan yang berbeda antara penduduk Nazaret yang menolak-Nya di awal karya publik (Luk. 4:16-30) dan penerimaan atas diri-Nya, justru pada saat kematian menjemput-Nya.  

Yesus disalibkan karena mengaku sebagai Raja. Pada mulanya, Allah tidak mau memberikan seorang raja kepada umat Israel. Karena Dialah Raja mereka dan mereka tidak membutuhkan yang lain. Meski demikian, Allah mengalah dan menjanjikan bahwa melalui garis keturunan Daud Ia akan membangun kerajaan yang akan kekal selama-lamanya (Mazmur 89:29).

Orang Yahudi memahami  Mesias akan datang sebagai raja untuk menegakkan pemerintahan Allah bagi mereka. Mereka menginginkan seorang raja yang akan membebaskan mereka dari penguasa yang kejam dan penjajahan bangsa asing. Banyak yang memiliki harapan besar bahwa Yesus menjadi raja penakluk dunia. Mereka tidak mau mengerti raja macam apa yang dihayati Yesus.

Ketika Setan mencobai Yesus saat berpuasa empat puluh hari di gurun, ia menawari Yesus semua kerajaan dunia (Luk. 4:5; Mat. 4:8-9). Setan datang lagi pada saat Ia sungguh lemah, dalam sekarat maut, dan dianggap sebagai saat yang baik (bdk. Luk 4:13). Yesus menolak, karena tahu dan sadar bahwa jalan menuju kemenangan adalah melalui salib.

Ketika Yesus sedang sekarat di kayu salib, ia diejek karena mengaku dirinya sebagai raja. Meskipun demikian, ia mati tidak hanya sebagai Raja orang Yahudi, tetapi juga Raja bangsa-bangsa. KemenanganNya atas kuasa Setan, dunia, dan dosa dicapai melalui kematian di kayu salib dan kebangkitanNya pada hari ketiga.

Yesus mengubah penghinaan di salib menjadi mahkota kemuliaan untuk memulihkan martabat manusia dan mengangkatnya kembali sebagai putera-puteri Allah.  Santo Yohanes, dalam Kitab Wahyu menyebut Yesus  sebagai “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” (Why. 19:16).

Santo Lukas menggunakan ungkapan βασιλεία, basileia, regnum (Latin), kerajaan saat si penjahat berkata (Luk. 23:42, AYT, 2016), “Ya Yesus, ingatlah aku ketika Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu.”, “Iesu, memento mei, cum veneris in regnum tuum.

Maka, basileia bermakna: menerima Allah yang berkuasa atas diriku. Kerajaan Allah bermakna bukan sesuatu yang dapat dilihat (Luk. 17:20); ada di antara manusia (Luk. 17:20). Kerajaan Allah selalu diwartakan (Luk. 4:43; 8:1; 9:2, 60; 16:16); dan mengandung rahasia (Luk. 8:10); tetapi, dapat dicari (Luk. 12:31) dan diberikan sebagai anugerah (Luk. 12:32) serta diterima (Luk. 18:17).

Kerajaan Allah sudah dekat (Luk. 10:9.11; 21:31). Kerajaan-Nya berarti kuasa Allah untuk merajai hidup manusia.

Kerajaan Allah Allah bertahan selamanya karena dibangun di atas dasar kasih dan keadilan Allah. Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Raja berarti memasuki Kerajaan yang akan bertahan selamanya. Di situlah tinggal keadilan, kebenaran, kasih,   dan damai sejahtera.  

Katekese

Memandang Yesus di salib. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936

“Sepanjang Pekan Suci ini, mari kita memandang salib, agar kita memperoleh anugerah rasa takjub. Saat Santo Fransiskus dari Asisi memandang Tuhan kita yang disalib, ia takjub bahwa para rekan sekomunitasnya tidak menitikkan air mata.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih bisa digerakkan oleh kasih Allah? Apakah kita sudah kehilangan kemampuan untuk takjub karena-Nya? Mengapa?

Barangkali iman kita semakin tumpul karena kebiasaan bodoh. Mungkin kita terjebak dalam penyesalan dan membiarkan diri lumpuh karena putus asa. Bisa jadi kita telah kehilangan seluruh kepercayaan kita atau merasa tidak bermakna sama sekali.

Mungkin, di balik seluruh kemungkinan ini, disingkapkan kebenaran bahwa kita tidak membuka diri untuk anugerah Roh Kudus. Ia menganugerahi kita masing-masing rasa takjub.

Mari kita mulai dengan rasa takjub. Mari kita memandang Yesus yang tergangtung di salib dan berkata pada-Nya, “Tuhan, betapa Engkau mengasihiku. Betapa aku begitu berharga bagi-Mu.”

Mari kita mengungkapkan rasa takjub pada Yesus agar kita dapat memulai hidup kembali. Karena kemuliaan hidup tidak terletak pada harta milik dan ketenaran. Inilah kemuliaan hidup: kita menemuka kebenaran bahwa kita dikasihi.

Kemuliaan hidup pasti teletak dalam keindahan kasih. Dalam diri Yesus yang disalib, kita memandang Allah yang dihina. Yang Mahakuasa ditinggalkan dan dicampakkan.

Dan dengan anugerah rasa takjub kita sadar bawa saat kita menyambut yang dihina dan dicampakkan, dalam menjalin relasi dengan mereka yang diperlakukan tidak adil alam hidup, kita mengasihi Yesus. Karena Ia tinggal di antara mereka: dalam diri saudara-saudari kita yang paling hina, dalam diri mereka yang ditolak dan diabaikan, dalam diri mereka yang kita singkirkan dari adat-budaya yang kita anggap paling benar.” (Homili, di Basilika Santo Petrus, 28 Maret 2021, Minggu Palma).  

Oratio-Missio

Ya Yesus, ingatlah aku ketika Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu         

Apa yang perlu aku lakukan untuk setia tinggal dalam KerajaanNya?

Iesu, memento mei, cum veneris in regnum tuum – Lucam 23:42

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version