Minggu. Hari Minggu Biasa XV (H)
- Ul. 30:10-14.
- Mzm. 69:14.17.30-31.33-34.36ab.37.
- Kol. 1:15-20.
- Luk. 10:25-37.
Lectio (Luk. 10:25-37)
Meditatio-Exegese
Firman ini sangat dekat kepadamu
Tidak perlu mencari jauh-jauh untuk menemukan penuntun melakukan perintah Allah. Firman-Nya yang menuntun manusia tinggal sangat dekat. Ia tinggal di hati masing-masing pribadi, sahabat Allah.
Musa menyampaikan kotbah terakhir pada segenap bangsa Israel di pemukiman di dataran Moab di tepi timur Sungai Yordan. Inilah akhir perjalanan empat puluh tahun. Generasi baru bangsa itu sudah siap menyeberangi Sungai Yordan dan merebut tanah yang dijanjikan pada para bapa bangsa: Abraham, Ishak dan Yakub.
Musa menekankan syarat yang harus dipenuhi umat agar diberkati Allah secara melimpah, yakni: mereka harus tak kunjung putus setia pada Hukum Tuhan yang ditetapkan pada Perjanjian Sinai. Musa membesarkan hati mereka bahwa kesetiaan untuk melaksanakan Hukum Tuhan dalam kehidupan sehari-hari bukan perkara yang sulit.
Masing-masing mampu melakukan. Ia menggunakan dua macam persamaan untuk menyingkapkan bahwa perintah Allah mudah dilakukan, karena sangat dekat dengan pelaku. PerintahNya tidak ada di langit (Ul. 30:12) atau di seberang lautan (Ul. 30:13).
Perintah-Nya sangat dekat, seperti diucapkannya (Ul. 30:14), “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.”, Sed iuxta te est sermo valde in ore tuo et in corde tuo, ut facias illum.
Mengutip Ul. 30:12-14 dalam Surat kepada Jemaat di Roma (Rm. 10:6-8), Santo Paulus memberi makna baru untuk melukiskan landasan Perjanjian Baru dengan mengacu pada kematian dan kebangkitan Kristus. Santo Paulus menafsirkan laut sebagai jurang maut.
Hanya Kristuslah yang bangkit dari kedalaman jurang maut (bdk. 1Ptr. 4:6) untuk naik ke surga (Mrk. 16:19; Kis. 1:9). Kemudian, Santo Paulus melanjutkan dengan pengakuan iman.
Tulisannya kepada jemaat di Roma dan diwariskan hingga saat ini pada kita: “Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.”
Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” (Rm. 10:8-9).
Theodoret, Uskup dari Sirus atau Chyrrhus, 393-457, menulis, “Mulut melambangkan merenungkan sabda Allah; hati, kesiap-sediaan jiwa; dan tangan untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah.” (Quaestiones in Octateuchum, 38).
Jemaat yang didirikan Tuhan, yang menghayati Hukum Baru dan Perjanjian Baru, memiliki kedudukan yang lebih baik dari pada jemaat Perjanjian Lama. Sebab jemaat baru telah dikaruniai rahmat dari Kristus Yesus.
Maka Konsili Trente mengajarkan bahwa “Allah tidak meminta untuk melakukan hal yang tak mungkin dilakukan; ketika Ia menetapkan suatu perintah yang ditetapkan padamu, Ia memintamu melakuan apa yang dapat kamu lakukan dan kamu diminta memohon bantuannya atas apa yang sulit kamu lakukan; dan Ia membantumu memenuhi perintah-Nya.” (dokumen De Iustificatione, 11).
Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Pertanyaan yang selalu mengema sepanjang masa diungkapkan seorang ahli Taurat, νομικος, nomikos. Pada Yesus, ia bertanya (Luk. 10:25), “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”, Magister, quid faciendo vitam aeternam possidebo?
Melalui kata yang digunakan, εκπειραζων, expeirazon, yang bermakna: menguji, mencobai, menggoda, si penanya sebenarnya hanya ingin mencobai Yesus. Tetapi, pertanyaan ini dimanfaatkan dimanfaatkan Santo Lukas untuk membina jemaat yang diasuhnya. Ia menunjukkan makna Kabar Suka Cita, Injil.
Si Ahli Taurat pasti sudah mendengar kabar tentang Yesus, ajaran, mukjizat dan karya-Nya. Maka, ketika bertemu Yesus ia ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan refleksi imannya. Si ahli Taurat mengira bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mewarisi hidup kekal.
Ahli Taurat itu pasti memahami benar, sesuai ajaran aliran Farisi, bila seluruh hukum Taurat dipenuhi, ia berhak atas hidup kekal. Maka digunakan kata κληρονομησω, kleronomeso, aku mewarisi, dari kata: κληρονομηω, kleronomeo.
Orang itu merasa yakin bahwa hidup kekal akan diberikan atau diwariskan, sebab sudah menjadi haknya. Seolah-olah, sebagai anak Abraham (bdk. Luk. 3:8), ia pasti menjadi pewaris surga dan hidup kekal.
Namun, ada satu yang terlupakan, yakni: warisan selalu merupakan pemberian cuma-cuma. Warisan diberikan kepada anak laki-laki atau perempuan atau diangkat.
Anak hanya berharap diberi warisan. Tidak ada hak sedikitpun padanya untuk menuntut. Hak waris itu ternyata bisa juga hilang, seperti pada kisah Esau (Kej. 25: 29-34; 27:1-40).
Setiap orang Kristiani sudah menjadi anggota putera dan puteri Allah karena pembaptisan. Santo Paulus menulis, “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah” (Gal. 4: 7).
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dan kasihilah sesamamu
Yesus menjawab pertanyaan si ahli Taurat dengan membalikkan pertanyaan, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” (Luk. 10: 26). Pembalikan pertanyaan berarti Yesus mengajak ia untuk merenungkan sabda Tuhan di kedalaman relung hati. Taurat Allah tertanam dalam hati manusia (Mzm. 37:31).
Si ahli Taurat menjawab dengan mengutip: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im. 19: 18; Ul. 6: 5).
Yesus membenarkan jawabannya dan Ia pun mengutip Im 18:5 (Luk. 10:28), “Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”, hoc fac et vives.
Jawaban Yesus juga menggemakan seruan pemazmur (Mzm 40: 9), “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku.”, Facere voluntatem tuam, Deus meus, volui; et lex tua in praecordiis meis.
Siapakah sesamaku manusia?
Si ahli Taurat pasti paham perintah kuno dalam Taurat, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im. 19:18). Namun, bertanya tentang siapakah sesama manusia untuk membenarkan diri sendiri.
Rupanya, ia mengikuti pola pikir kebanyakan orang yang memaknai sesama hanya terbatas pada mereka yang diikat oleh ikatan darah, klan, marga atau suku bangsa. Bahkan, Kitab Ulangan juga mengatur: hutang-piutang di antara anggota klan atau marga dihapus; tetapi diperbolehkan menagih hutang pada orang asing (Ul 15:1-3).
Orang Yahudi di luar Israel diajak untuk tidak melakukan kepada siapa pun apa yang tidak ia sukai dilakukan terhadap dirinya (lih. Tobit 4:15). Rabi Hillel, abad ke-1 seb. Masehi, mengajarkan, “Inilah Hukum dan Para Nabi. Selebihnya adalah penjelasan.” (Talmud Bavli (Babylonian Talmud), Shabbat, 31a).
Maka, Putera Sirakh mendorong siapa pun yang diajarnya untuk mengatasi kecenderungan membatasi diri pada mereka yang paling dekat.
Ia mengajarkan (Sir. 18:13), “Belas kasihan manusia hanya merangkum sesamanya, sedangkan belas kasihan Tuhan melingkungi segala makhluk.”, Miseratio hominis circa proximum suum, misericordia autem Dei super omnem carnem.
Paus Fransiskus mengajar, “Dalam Perjanjian Baru, ajaran Hillel mendapat ungkapan positif: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi.” ( Mat. 7:12).
Seruan ini bersifat universal, cenderung merangkul semua orang bukan hanya karena kondisi manusiawi mereka, tetapi karena Allah Yang Mahatinggi, Bapa surgawi “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik.” (Mat. 5:45).
Karena itu dituntut: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk. 6:36).(Ensiklik Paus Fransiskus tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, Fratelli Tutti, 60).
Yesus memahami sesama dengan cara yang bertolak belakang dengan pemahaman orang Yahudi di Israel. Pemahaman-Nya sama dengan apa yang dihayati para Yahudi perantauan yang tersebar di pelbagai penjuru dunia di luar Palestina.
Maka, Ia menjawab dengan memaparkan perumpamaan tentang orang Samaria. Dan pada ujung perumpamaan itu, Yesus memaksa si ahli Taurat untuk berefleksi lagi tentang siapakah sesama.
Ia bertanya (Luk. 10: 36), “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”, Quis horum trium videtur tibi proximus fuisse illi, qui incidit in latrones?
Menghindari penggunaan kata ‘orang Samaria’, dia menjawab (Luk. 10: 37), “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”, Qui fecit misericordiam in illum.
Santo Lukas menggunakan kata ελεος, eleos, yang searti dengan hesed (Ibrani) atau misericordia (Latin, Vulgata) (Luk. 10:37). Kata Yunani eleos atau hesed bermakna belas kasih (bdk. Mi 6:8, versi TB: kesetiaan).
Maka, Yesus menjawab (Luk. 10:37), “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”, Vade et tu fac similiter.
Paus Fransiskus mengajar, “Yesus menantang kita untuk mengesampingkan segala perbedaan dan, berhadapan dengan penderitaan, menjadi dekat dengan siapa saja yang mengalaminya. Oleh karena itu, saya tidak lagi mengatakan bahwa saya mempunyai “sesama” yang harus dibantu, tetapi saya merasa terpanggil untuk menjadi sesama bagi orang lain.” (Ensiklik Paus Fransiskus tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, Fratelli Tutti, 81).
Yang dikehendaki Yesus adalah melakukan tindakan sebagai ungkapan belas kasih. Itulah yang dikehendaki Allah. Mengasihi Allah, yang tidak kelihatan, harus diwujudkan dalam mengasihi sesama yang kelihatan.
Santo Yakobus menulis, “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” (Yak. 2:22).
Tindakan belas kasih tidak boleh dipersempit hanya sekedar melakukan pembagian makanan, santunan, pengobatan atau tindakan lain sejenis yang dilakukan hanya sesekali. Belas kasih mencakup: “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk,
Supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri.” (Yes. 58:6-7; Hos. 6:6).
Katekese
Meneladan Orang Samaria. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936:
“Maka, Yesus menawarkan Orang Samaria sebagai teladan – lebih tepatnya orang yang tidak memiliki iman. Mari kita juga mempertimbangkan banyak orang lain yang kita kenal, barangkali kaum agnostik, yang tidak mengenal Allah, tetapi berbuat baik. Sebagai model, Yesus memilih orang tidan tidak percaya pada Allah.
Dan orang ini, dengan mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, menunjukkan bahwa Ia mengasihi Allah dengan dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatannya. Ia mengasihi Allah yang tidak dikenalnya.
Dan pada saat yang sama, ia mewujud nyatakan keyakinannya yang benar dan kemanusiannya yang utuh.
Setelah menceritakan perumpamaan yang sangat indah ini, Yesus menyapa kembali ahli Taurat itu yang bertanya kepada-Nya, “Siapakah sesamaku manusia?”, dan Yesus bertanya padanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36).
Dengan cara ini Ia tak hanya melempar pernyataan itu kembali kepada si penanya, tetapi juga menjungkir balikkan pola pikir, mind-set, kita.
Ia memaksa kita memahami bahwa berdasarkan tolok ukur yang ditetapkan-Nya, bukan kita yang menentukan siapa sesama dan bukan sesama kita. Tetapi kita sendiri harus mampu mengenali orang yang sedang mengalami kesulitan. Dialah sesama kita, yaitu, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” (Luk. 10:37).
Kunci untuk mengenali sema kita: kemampuan untuk menunjukkan belas kasih. Inilah kunci kita. Jika kalian tidak merasa berbelas kasih di hadapan orang yang membutuhkan, jika hati kalian tidak tergerak oleh belas kasih, itu berarti ada yang salah dengan diri kalian. Hati-hatilah.
Mari kita waspada dan meneliti batin.
Janganlah hati kita diseret oleh ketidak pekaan karena mementingkan diri sendiri. Kemampuan untuk berbelas kasih telah menjadi batu penjuru pengikut Kristus, karena diajarkan oleh-Nya. Yesus sendiri adalah belas kasih Bapa kepada kita.
Jika kalian berjalan di sepanjang jalan dan bertemu seorang gelandangan terbaring di sana dan melewatinya tanpa menengoknya atau kalian kira, “Ah, itu akibat dia mabuk. Terlalu banyak minum alkohol.” Janganlah bertanya apakah ia mabuk atau tidak. Tanyalah diri kalian apakah hati kalian tergerak atau tidak, apakah hati kalian telah membeku atau tidak.
Kesimpulan ini menunjukkan bahwa belas kasih pada hidup manusia dalam keadaannya yang sangat membutuhkan pertolongan adalah wajah kasih yang sejati.
Inilah cara orang menjadi murid Kristus yang sejati dan wajah Bapa menampakkan Diri-Nya sendiri: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk. 6:36).
Dan Allah, Bapa kita, berbelas kasih, karena Ia murah hati. Ia selalu melimpahkan belas kasih-Nya untuk menjadi dekat pada kita saat kita menderita, berdosa, merasa tidak pantas dan menderita sengsara.” (Angelus. Lapangan Santo Petrus, Minggu, 14 Juli 2019).
Oratio-Missio
Tuhan, semoga kasih-Mu menjadi pondasi hidupku. Bebaskan aku dari ketakutan dan perilaku mementingkan diri sendiri. Ajarilah aku untuk memberikan diri sepenuh hati untuk melayani sesama, bahkan hingga mempertaruhkan hidupku demi mereka. Amin.
- Apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup kekal?
At ille dixit, “Qui fecit misericordiam in illum.” Et ait illi Iesus, “Vade et tu fac similiter.” – Lucam 10:37