Minggu. Minggu Laetare. Minggu Prapaskah IV (U)
- 2Taw. 36:14-16.19-23
- Mzm.137:1-2.3-4.6
- Ef.2:4-21
- Yoh. 3:14-21
Lectio
14 Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, 15 supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. 16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. 18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. 19 Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.
20 Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; 21 tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”
Meditatio-Exegese
Laetare
Minggu keempat dalam masa Prapaskah disebut sebagai Minggu Laetare, Minggu suka cita, seperti terungkap dalam antifon pembuka, “Bersuka citalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya…”, Laetare Jerusalem: et conventum facite omnes qui diligitis eam…
Pada minggu ini Gereja tetap mengizinkan penggunaan warna ungu sebagai lambang masa pertobatan. Namun, warna merah muda atau merah seperti mawar juga diijinkan digunakan sebagai warna liturgi dan hiasan. Warna merah muda atau warna bunga mawar merah melambangkan suka cita Gereja.
Gereja menanti-nantikan Kebangkitan Tuhan. Seluruh murid-Nya meluapkan suka cita yang tak terbendung bahkan dalam masa Prapaskah, walau kita harus menahan diri untuk tidak memadahkan Aleluia dan Gloria, Kemuliaan, hingga saat perayaan Malam Kebangkitan-Nya.
Tuhan, Allah nenek moyang mereka, sayang kepada umat-Nya dan tempat kediaman-Nya
Saat melakukan refleksi atas keterpurukan bangsa Israel, penulis Kitab Tawarikh melaporkan pemenuhan nubuat Nabi Yeremia. Bangsa Israel ditawan dan hidup dalam pembuangan di Babel selama tujuh puluh tahun, sebab para pemuka umat – imam dan pemimpin pemerintahan – dan rakyat tidak setia pada Allah.
Nubuat sang nabi, yang lahir di Anatot kira-kira 645 SM, sebelah utara Yerusalem, tentang penyebab penghukuman dikutip, ”Semua pemimpin di antara para imam dan rakyat berkali-kali berubah setia dengan mengikuti segala kekejian bangsa-bangsa lain.
Rumah yang dikuduskan Tuhan di Yerusalem itu dinajiskan mereka. […] mereka mengolok-olok utusan-utusan Allah itu, menghina segala firman-Nya, dan mengejek nabi-nabi-Nya.” (2Taw. 36:14-16; bdk. Yer. 25:1-12; 29:10).
Ketidaksetiaan dan pemberontakan mereka pada Yahwe harus dibayar mahal. Kerajaan dihancurkan; Bait Allah diluluhlantakkan; dan seluruh penduduk, baik rakyat jelata maupun bangsawan, dibuang ke Babel selama 70 tahun.
Walau umat Israel tidak setia, Yahwe tetap setia. Hatinya selalu tergerak oleh belas kasihan, karena Ia kaya akan belas kasih, dives in misericodia, ”Namun Tuhan, Allah nenek moyang mereka, berulang-ulang mengirim pesan melalui utusan-utusan-Nya, karena Ia sayang kepada umat-Nya dan tempat kediaman-Nya.”(2Taw. 36:15).
Menggunakan tangan penguasa asing, Allah campur tangan untuk menyelamatkan umat-Nya yang kembali berbalik kepada-Nya dari kepahitan hidup. Mereka akan kembali ke tanah air mereka, membangun kembali Bait Allah, tempat dan tanda kehadiran-Nya, bertobat dan menjalin relasi mesra dengan Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Di samping itu, penulis Tawarikh rupanya mengedepankan persatuan bangsa Israel, bukan keterpecahan suku Utara dan suku Yehuda di selatan, karena ia tidak menyebut sejarah masa pemerintahan Gedalya, yang ditunjuk Nebukadnesar untuk memerintah orang-orang tidak dibawa pergi ke Babel dan tinggal di wilayah Yerusalem (bdk. 2Raj. 25:22-26).
Dan, kini di tanah air tempat kita berpijak, setiap umat ditantang untuk setia pada apa yang telah disepakati dan ditetapkan bersama dalam konstitusi dan kesepakatan lain. Ketidaksetiaan pasti meluluh lantakkan tata hidup bersama.
Anak Manusia harus ditinggikan
Yesus menjelaskan pada Nikodemus bahwa Anak Manusia, , harus ditinggikan. Santo Yohanes menggunakan ungkapan Anak Manusia, υιον του ανθρωπου, huion tou anthrophou, Filius hominis (Latin Vulgata), suatu gelar yang berasal dari penglihatan Nabi Daniel akan Raja Mesias yang diurapi dan diutus dari surga untuk memerintah semesta alam (Dan. 7:13-14).
Dalam tradisi bangsa Yahudi, ketika seseorang dinobatkan sebagai raja, ia secara harafiah ‘ditinggikan’ dan duduk di singgasana yang lebih tinggi dari rakyat. Yesus akan diakui sebagai Raja yang diurapi ketika Ia ditinggikan di salib di Kalvari.
Di sana Ia wafat sebagai Anak yang diutus Bapa di surga untuk menebus, menyembuhkan, dan mendamaikan manusia dengan Allah.
Pada Nikodemus, Yesus menunjuk tanda profetis yang dilakukan Musa di padang gurun tepat sesaat setelah umat Israel digigit ular berbisa. Kitab Bilangan mengisahkah bahwa banyak orang mati karena mereka berdosa dan memberontak melawan Yahwe dan Musa, utusan-Nya.
Melalui Musa, Allah menunjukkan belas kasih-Nya dengan memerintahkannya, ”Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Bil 21:8).
Tanda ini menjadi pralambang dan menunjukkan karya penyelamatan yang dikejakan Yesus untuk menyembuhkan dan menyelamatkan dunia.
Santo Yohanes menggunakan bentuk kata futurum pasif: υψωθηναι, hupsothenai, ditinggikan, dari kata dasar υψοω, hupsoo, meninggikan, yang memiliki tiga makna. Maka, Yesus ditempatkan di tempat yang tinggi berarti Ia digantung di salib; sekaligus juga Ia ditinggikan dan dimuliakan.
Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444, bapa Gereja Perdana, menjelaskan makna spiritual dari ular perunggu dan bagaimana hal itu menunjuk pada karya penyelamatan Yesus Kristus, “Kisah ini merupakan salah satu kunci untuk menyelami misteri inkarnasi.
Karena ular melambangkan dosa yang pahit dan mematikan, yang membunuh seluruh manusia di bumi… ia menggigit jiwa manusia dan meracuninya dengan racun kejahatan. Tidak mungkin kita bisa lolos dengan menaklukkannya, kecuali dengan bantuan yang hanya berasal dari surga.
Sabda Allah yang menjelma dalam rupa daging yang berdosa agar, “menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (Rom. 8: 3), seperti tertulis dalam Kitab Suci. Dengan cara ini, Ia menjadi Pemberi anugerah keselamatan abadi bagi mereka yang menghayati ajaran-Nya dan memandang-Nya dengan iman yang teguh.
Tetapi ular itu, setelah ditempatkan di atas tempat tinggi, melambangkan bahwa Kristus dengan jelas dinyatakan melalui sengsara-Nya di kayu salib.
Namun ular itu, yang ditempatkan di atas kayu yang tinggi, melambangkan bahwa Kristus ditinggikan dengan jelas malalui sengsara-Nya, agar tidak ada seorang pun yang gagal melihat Dia.” (dikutip dari Commentary on the Gospel of John 2.1).
Pada saat Yesus wafat di salib, Ia beralih kepada Bapa (Yoh. 13:1). Saat itu pula Ia ditinggikan (Yoh. 8:28) dan dimuliakan (Yoh. 17:1). Yesus, yang ditinggikan dan dimuliakan itu, menganugerahkan keselamatan, “apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12:32).
Maka, barang siapa melihat Yesus, padanya dianugerahkan hidup kekal. Hidup kekal tidak diberikan kelak di kemudian hati, tetapi sudah diberikan sekarang, ketika memandang-Nya dan percaya pada-Nya.
Begitu besar kasih Allah
Firman-Nya (Yoh. 3:16), ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”, Sic enim dilexit Deus mundum ut Filium suum unigenitum daret ut omnis qui credit in eum non pereat sed habeat vitam aeternam.
Allah begitu mengasihi manusia. Santo Paulus mengungkapkan (Ef. 2:4), “Allah, yang kaya dengan belas kasih dan karena kasih-Nya yang besar itu Ia mengasihi kita”, Deus autem qui dives est in misericordia propter nimiam caritatem suam qua dilexit nos.
Karena itu, Ia tidak menghendaki manusia, ciptaan-Nya, binasa. Ia menganugerahkan milik-Nya yang paling bernilai tinggi tiada banding, Anak-Nya yang tunggal, untuk menyelamatkan manusia dari dosa dan maut, memberinya kehidupan dan tinggal bersama-Nya di surga (Ef. 2:5-6).
Ia mengambil prakarsa dengan membuka harapan saat manusia terjerat dalam cengkeraman maut saat jatuh dalam dosa, ”Berfirmanlah Tuhan, Allah, kepada ular itu, “… keturunannya akan meremukkan kepalamu.” (Kej. 3:15).
Yesus ternyata meninggalkan paradoks yang harus diselesaikan manusia: kasih dan penghakiman. Manusia dapat mengasihi kegelapan dosa dan tidak percaya pada-Nya atau mengasihi cahaya kebenaran Allah, kebaikan dan keindahan.
Manusia bisa memilih untuk memuja setan atau memilih untuk memuja Allah dan mengasihi-Nya di atas segala sesuatu. Apa yang dikasihi manusia menunjukkan pilihan hatinya.
Katekese
Ia turun dari surga, agar kita bisa naik. Santo Hilarius dari Poitiers, 315-367:
“Allah, yang mengasihi dunia, memberikan Putra Tunggal-Nya sebagai bukti kasih-Nya. Jika bukti kasih-Nya adalah ini, bahwa Ia menganugerahkan seorang manusia pada segala makhluk, memberi manusia yang sangat manusiawi demi dunia, memberikan seseorang yang ditinggikan dari bukan siapa-siapa demi penebusan segala sesuatu yang sama sekali tidak layak untuk ditinggikan, kurban yang demikian murah dan tak bermakna yang menjadi jaminan bagi kita karena kebaikan-Nya.
Anugerah-anugerah yang tak ternilai harganya adalah bukti kasih-Nya : bukti kebesaran kasih-Nya adalah penyerahan diri-Nya yang tak terbatas. Allah, yang mengasihi dunia tidak menganugerahkan anak angkat bagi kita, tetapi Anak-Nya yang tunggal.
Inilah pamprih-Nya, Putera Allah yang sejati, tulus; bukan buatan manusia, bukan kompromi, atau kepura-puraan. Inilah bukti kasih dan kerahiman-Nya, yakni: Ia memberikan milik-Nya sendiri, Putera-Nya yang tunggal.” (On The Trinity 6.40.27).
Oratio-Missio
Tuhan, wafat-Mu membawa hidup bagi kami. Semoga kasih-Mu mengubah hidupku agar aku selalu memilih-Mu di atas segala hal yang lain. Bantulah aku untuk mengasihi apa yang Kau kasihi, menghendaki apa yang Kau kehendaki, dan menolah apa yang Kau tolak. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk membuktikan kalau aku mengasihi Allah?
Sic enim dilexit Deus mundum ut Filium suum unigenitum daret ut omnis qui credit in eum non pereat sed habeat vitam aeternam – Ioannem 3:16