Minggu. Hari Minggu Biasa VI. Hari Orang Sakit Sedunia (H)
- Im. 13:1-2.44-46
- Mzm.32:1-2.5.11
- 1Kor.10:31-11:1
- Mrk 1:40-45.
Lectio
40 Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” 41 Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”
42 Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir. 43 Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: 44 “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.”
45 Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.
Meditatio-Exegese
Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis, harus tinggal terasing
Kusta, penyakit kulit sejenis ini, telah telah tercatat dalam banyak laporan. Kusta telah ada di India pada paling kurang tahun 2000 sebelum Masehi, seperti ditulis dalam kitab Atharvaveda. Dalam bahasa Ibrani penyakit ini disebut sebagai tzaraath. Dalam Perjanjian Baru disebut λέπρα, lepra. Orang yang menderita kusta disebut λεπρος, lepros (mis. Mrk 1:40).
Empar ribu tahun setelah pencatatan pertama, Gerhard Armauer Hansen, 29 July 1841–12 February 1912, mampu mengidentifikasi bakteri penyebab lepra atau kusta: Mycobacterium leprae.
Tradisi mencatat bahwa sejumlah prajurit Alexander Agung tertular penyakit ini ketika menyerbu India pada abad ke-4 SM. Kemudian, melalui para prajurit yang pulang dari perang, penyakit ini menyebar ke kawasan Timur Tengah dan bagian timur Laut Tengah.
Dipercaya juga parajurit Romawi membawa penyakit ini dari Mesir ke Pompeius dan Italia pada abad ke-1 SM. Analisis genetik menyingkapkan penyakit ini telah mengalami perkembangan sejak 100.000 tahun lalu di wilayah timur Benua Afrika dan barat daya Asia Selatan (lih. *leprosy*. (2015). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica).
Karena merupakan penyakit menular yang sulit ditangani pada masa itu, bangsa Israel perlu mengelola dan menangani para penderita dan seluruh anggota komunitas secara mamadai. Pemeriksaan yang seksama diperlukan untuk menentukan tingkat keparahan dan jenis penyakit (Im. 13:1-46; 14:1-32).
Pakaian tertentu harus dikenakan para penderita dan sarana penunjang hidup/akomodasi disediakan (Im. 13: 47-59; 14: 33-53). Saat mereka sembuh, diselenggarakan pentahiran khusus bagi penderita kusta dari keluarga miskin (Im. 14:21-32).
Menurut pengetahuan saat itu (Im. 13:1-59) terdapat pelbagai macam jenis penyakit kulit dengan beragam indikasi, yang mungkin bukan merupakan penyakit kusta. Dari gejala yang terlihat sudah memenuhi syarat untuk menyatakan si penderita najis. Namun, kajian sejarah medis dan epidemi atas penyakit ini dan penyakit lain yang membahayakan diperlukan di masa depan.
Yang membuat penderita semakin menderita, sebenarnya, bukan penyakit itu sendiri. Pengucilan, pengasingan, dan pemutusan hubungan sosial membuat mereka merasa diasingkan. Yang beriman pasti hanya mengandalkan Allah. Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan, mereka mengutuki Allah karena kemalangan bertumpuk-tumpuk.
Paus Fransiskus mengecam sikap abai pada yang dikucilkan, diasingkan dan ditelantarkan, ”Kita akhirnya tidak mampu merasakan belas kasihan kepada jeritan kaum miskin, menangis untuk penderitaan sesama, dan perlu membantu mereka, seolah-olah semua ini adalah tanggung jawab orang lain dan bukan tanggungjawab kita sendiri.
Budaya kesejahteraan telah mematikan perasaan kita; kita bergairah ketika pasar menawarkan sesuatu yang baru untuk dibeli; dan pada saat yang sama, mereka yang hidupnya terhambat karena kurangnya kesempatan tampak hanya sekedar sebuah tontonan belaka; mereka tak mampu menggerakkan hati kita.” (Seruan Apostolik Sukacita Injil, Evangelii Gaudium, 54).
Seorang yang sakit kusta
Setiap penyandang penyakit pasti mengalami kepahitan hidup. Pergolakan untuk menerima diri pasti tidak mudah. Pertanyaan yang selalu muncul: “Mengapa aku?” Contoh dalam Injil menggambarkan dengan hidup pengalaman penderita kusta.
Ia harus hidup di tempat penampungan khusus yang jauh dari kota atau desa. Ia tidak diijinkan terlibat dalam segala bentuk peribadatan. Untuk menghindari kontak dengan orang yang sehat mereka harus menggenakan pakaian compang-camping, berambut kusut dan terus berteriak, “Najis. Najis.” (Im. 13:45).
Di samping sebagai penyakit menular, kusta menjadi tanda kutukan atau hukuman Allah, semacam tulah (bdk. Ul. 28:27.35). Kisah Miriam, yang menderita kusta untuk sementara waktu, menyingkapkan bahwa ia menderita penyakit ini karena pemberontakannya melawan Musa (bdk. Bil. 12:1-10).
Hamba Yahwe yang menderita pun digambarkan sebagai yang kena tulah seperti kusta, walau ia menanggung penyakit kita (bdk. Yes. 53:4). Keadaan yang menyedihkan dialami Ayub.
Ia menderita barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya (Ayb. 2:7). Padanya para sahabatnya menuduh bahwa ia telah secara sembunyi-sembunyi berdosa melawan Allah.
Kitab Ulangan menggunakan istilah ‘borok’ atau ‘barah’ jahat yang tak tersembuhkan. Oleh karena itu, para rabbi memandang para penderita penyakit ini sebagai mayat hidup.
Orang yang mengalami penyembuhan dianggap mengalami mukjizat yang lebih hebat dari pengusiran setan. Bahkan disamakan dengan mukjizat pembangkitan orang mati, seperti Elia membangkitkan anak laki-laki janda Sarfat dari kematian (1Raj. 17:17-22).
Untuk menjadi tahir, penderita kusta harus bertobat dan hanya mengharapkan pertolongan Allah semata. Pada masa Perjanjian Lama dan berabad sesudahnya, belum ditemukan obat untuk mengatasi penyakit ini.
Datang, berlutut, dan memohon bantuan Yesus
Orang itu datang, berlutut dan memohon bantuan-Nya. Ia percaya Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkannya. Santo Markus menggunakan kata δυνασαι, dunasai, daya, kekuatan, kemampuan. Kuasa Yesus ini erat berkaitan dengan kesaksian Yohanes Pemandi, “Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku.” (Mrk. 1:7).
Kuasa itu mendorong Petrus dan Andreas menjadi penjala manusia (Mrk. 1:17); mengajar dengan penuh kewibawaan (Mrk. 1:22); mengusir setan dan memerintahkan mereka diam (Mrk. 1:27.34). Kepada Yesus, penderita lepra itu berkata, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” (Mrk. 1:41)
Tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan
Santo Markus mengungkapkan wajah Yesus menyingkapkan Allah yang penuh belas kasih. Santo Paulus mengungkapkan (Ef. 2:4, terjemahan Vulgata), “Allah yang kaya dalam belas kasih.”, Deus autem qui dives est in misericordia. Selanjutnya, Bapa Suci Fransiskus menulis, “Yesus dari Nazaret, dengan kata-kata-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya menyatakan kerahiman Allah.” (Bulla Misericordiae Vultus, 1).
Santo Markus menggunakan kata σπλαγχνισθεις, splagchnistheis. Kata ini bermakna: terguncang sampai ke usus-ususnya. Jadi, seluruh pribadi Yesus tergerak, karena Ia mau menanggung derita si kusta. Dalam Injil Sinoptik, ungkapan ini hanya dikenakan pada Yesus, Mesias, Kristus, Yang Diurapi.
Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam
Imam memiliki kekuasaan yang sangat besar dan peran luar biasa dalam tata hidup bangsa Yahudi. Seorang imam, seperti Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis (Luk 1:5), bertindak tidak hanya sebagai pemimpin ibadat. Ia memegang peran dan juga bertindak sebagai pemimpin politik, hakim dan tabib. Semua tugas itu menyatu dalam imamat yang disandang Harun dan keturunannya.
Yesus mengutus yang telah disembuhkan untuk menghadap imam (Im. 14:2), supaya ia dinyatakan sembuh sesuai ketentuan Taurat. Dengan demikian, ia telah dipulihkan dari segala kutukan dan diintegrasikan sebagai anggota masyarakat dan umat Allah.
Bila ia berjumpa dengan imam, ia akan diperiksa dan melakukan ritus pentahiran selama tujuh hari. Dan pada hari kedelapan ia dinyatakan sembuh. Hari kedelapan sama dengan hari pertama sesudah Sabat, inilah hari kebangkitan Tuhan (bdk. Im. 14:10-11; Mrk. 16:2).
Tentang hari kedelapan, Gereja mengajarkan, “Tetapi bagi kita tiba satu hari baru: hari kebangkitan Kristus. Hari ketujuh menyelesaikan ciptaan pertama. Pada hari kedelapan mulailah penciptaan baru.
Dengan demikian karya penciptaan berpuncak pada karya penebusan yang lebih besar lagi. Ciptaan pertama mendapat arti dan puncaknya dalam penciptaan baru dalam Kristus, yang melampaui yang pertama dalam kecemerlangan.” (Katekismus Gereja Katolik, 349).
Di samping itu, ia juga diutus untuk mewartakan dan menyampaikan pada imam bahwa jaman Mesias sudah datang, sesuai nubuat para nabi, seperti Nabi Yesaya.
Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota
Yesus tak hanya bertindak sebagai imam, tetapi Ia juga menyingkapkan pralambang tindakan sakramental: mengulurkan tangan, menjamah dan menyatakan tahir. Sabda-Nya (Mrk 1:41), “Aku mau, jadilah engkau tahir.”, Volo, mundare.
Yesus berbeda dengan Nabi Elisa. Ia hanya menyuruh Naaman dengan kata-kata (bdk. 2Raj. 5:10-14). Sentuhan tangan Yesus menandakan bahwa Ia memandang si lepra sebagai citra, gambar Allah (Kej. 1:27).
Maka, penyembuhan orang dengan penyakit kusta menjadi salah satu tanda bahwa jaman Mesias seperti dinubuatkan Perjanjian Lama telah datang (Mat. 11:5). Dan Yesus memberi kuasa pada para rasul untuk menyembuhkan orang kusta (bdk. Mat. 10:8)
Tindakan sadar-Nya menandakan bahwa Yesus mengambil risiko dianggap najis, karena Ia bersentuhan dengan orang yang dinyatakan najis. Risiko yang ditanggung-Nya tentu lebih besar jika dibanding ketika jubah-Nya dijamah oleh perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun (Mrk. 5:25).
Maka, saat orang yang disembuhkan itu mewartakan kesembuhannya, Yesus menyingkir. Ia tidak mau menjadi skandal atau bahan pergunjingan.
Tetapi, orang itu tetap saja berteriak memberitahukan kepada orang lain tentang pengalaman kesembuhannya. Ia tidak bisa dihentikan, walau Yesus melarang dengan keras, bahkan bernada marah dan melarang keras, εμβριμησαμενος, embrimesamenos.
Yesus tidak mau terjebak dalam godaan popularitas, yang akan menjauhkan-Nya dari tugas perutusan Bapa. Ia tetap Mesias yang tersembunyi. Inilah alasan kedua penyingkiran-Nya di tempat yang sepi. Dan orang banyak tetap berusaha mencari Dia.
Yesus selalu bersedia melayani, terutama, yang paling membutuhkan uluran tangan dan menjadi saudara-Nya (Mat. 25:40), demi keselamatan mereka.
Santo Paulus mengungkapkan bahwa seluruh karya kerasulan dan pilihan cara merasul harus benar dan selaras dengan orang yang dilayani dan tempat pelayanan, ”Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah” (1Kor. 10:32).
Dan seluruh daya dikerahkan supaya semua orang dihantar menuju keselamatan. Rasul agung itu meneguhkan, ”Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.” (1 Kor. 10:33).
Di tempat lain, Sri Paus Fransiskus mengajarkan, “Mari kita bergerak ke luar, kita bergerak keluar untuk menawarkan hidup Yesus Kristus pada setiap orang. Maka, saya mengulangi untuk seluruh Gereja apa yang sering saya sampaikan kepada para imam dan awam di Buenos Aires: Saya memilih Gereja yang terluka, menderita dan kotor karena telah bekerja di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan mengandalkan keamanan dan kenyaman dirinya sendiri.” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 49).
Katekese
Mengapa Yesus menyentuh si kusta. Origenes dari Alexandria, 185-254:
“Dan mengapa Yesus menyentuh si kusta, walaupun Hukum Taurat melarang orang menyentuh penderita kusta? Dia menyentuhnya untuk menunjukkan bahwa “Bagi orang suci semuanya suci.” (Tit. 1:15). Setitik kotoran yang ada di tubuh seseorang tak akan melekat di tubuh orang lain.
Demikian juga kenajisan yang berasal dari luar tubuh tak akan mengotori hati yang suci. Maka Ia menyentuh si kusta dalam keadaannya yang tak mungkin disentuh, sehingga dengan cara ini Ia mengajarkan pada kita untuk menjadi rendah hati.
Ia juga meminta kita untuk tidak merendahkan orang lain atau membencinya, atau merendahkan martabatnya, karena ia sedang menderita luka tertentu di tubuh mereka atau penyakit yang seharusnya membuat kita mengulurkan tangan… Jadi, saat Ia merentangkan tangan-Nya untuk menyentuh si kusta, ia segera pergi berlalu.
Tangan Tuhan pasti tidak menyentuh penderita kusta, tapi tubuh yang telah tahir. Saudara-saudari yang terkasih, mari kita pertimbangkan, apakah ada seseorang yang menderita setitik noda kusta dalam jiwanya, atau hatinya dikotori rasa bersalah?
Jika ia sedang menderita, dan segera memohon pada Allah, segeralah memohon, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” (Fragments On Matthew 2.2–3).
Oratio-Missio
Tuhan, njalakanlah hatiku dengan kasih-Mu. Jadikanlah tubuh, jiwa dan budiku tahir. Buatlah aku tidak lelah menyabarkan belas kasih dan cinta-Mu pada sesamaku. Amin.
- Apa yang perlu kulakukan untuk memiliki hati yang selalu tergerak oleh belas kasihan?
Et misertus extendens manum suam tetigit eum et ait illi: “Volo, mundare.” – Marcum 1:41