Minggu. Hari Minggu Biasa VI (H)
- Sir. 15:15-20.
- Mzm. 119:1-2. 4-5. 17-18. 33-34 (1b).
- 1Kor. 2:6-10.
- Mat. 5:17-37 atau Mat. 5:20-22a.27-28.33-34a.37.
Lectio (Mat. 5:17-37 atau Mat. 5:20-22a.27-28.33-34a.37)
Meditatio-Exegese
Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan menggenapinya
Saat mengajar orang banyak, Yesus menunjukkan bahwa setiap pribadi adalah anak-anak Allah. Maka, Ia minta masing-masing juga menjadi saudara-saudari bagi yang lain.
Yesus juga mengajar dengan penuh kuasa saat Ia menetapkan hukum baru. Ia tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan Allah. Ia menggenapinya, melaksanakan tepat seperti yang dikehendaki Bapa-Nya.
Yesus menggemakan madah Pemazmur, “Betapa kucintai Taurat-Mu. Aku merenungkannya sepanjang hari.” (Mzm. 119: 97).
Bagi bangsa-Nya, Taurat Tuhan mencakup lima kitab Musa, sejarah, nabi-nabi, dan seluruh tradisi alkitab serta penafsiran para Ahli Kitab.
Lebih jauh, Ia mengungkapkan wewenang dan wibawa-Nya sendiri atas hukum saat mengulang lima kali, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita… Tetapi Aku berkata kepadamu.” (Mat. 5:21.27.33.38.43).
Ia menetapkan pemahaman baru dan cara baru melaksanakan Hukum Tuhan.
Maka, Santo Matius menempatkan rangkaian khotbah panjang pertama di atas bukit. Yesus dipandang seperti Musa, yang menetapkan Hukum di Gunung Sinai (Kel. 24: 9). Saat Ia menetapkan Hukum baru, Yesus duduk seperti layaknya para rabbi mengajar para murid mereka.
Ketika Yesus menggenapi seluruh hukum, setiap murid harus sadar bahwa hanya melalui Dia saja tiap pribadi dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Ia bersabda, “Akulah Jalan.”, Ego sum via.
Maka, perintah terkecil dari seluruh hukum bermakna hanya melalui Dia. Setiap pribadi memiliki kebebasan untuk memenuhi atau menolak melakukan Hukum Allah, ajaran para nabi dan ketentuan rasuli.
Semuanya terikat pada-Nya. Ia bersabda (Mat. 5:17), “Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”, non veni solvere, sed adimplere.
Tidak mungkin melawan Hukum atau tidak mungkin mengikuti hukum itu sampai rincian terkecil. Sama seperti Yesus, jemaat harus mampu melaksakan yang menjadi tujuan hukum itu dibuat: mengasihi sesempurna mungkin.
Ia menghendaki kasih, kesetiaan, belas kasih, keadilan kebenaran dan kemanusiaan, agar martabat manusia dimuliakan. Mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti Yesus melakukannya.
Seluruh jemaat diundang untuk terus melaksanakan kasih dan mengajarkannya kepada generasi satu ke generasi lain. Sabda-Nya (Mat. 5:19, “Siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga.”, qui autem fecerit et docuerit, hic magnus vocabitur in regno caelorum.
Jika hidup keagamaanmu
Yesus menuntut para murid untuk mewujud nyatakan kebenaran, apabila ia ingin masuk dalam Kerajaan Surga. Tuntutan Yesus menjadi lebih jelas ketika teks Yunani dibaca: λεγω γαρ υμιν οτι εαν μη περισσευση η δικαιοσυνη υμων πλειον των γραμματεων και φαρισαιων, lego gar humin hoti ean me perisseuse he dikaiosune humon pleion ton grammateon kai pharisaion.
Teks Latin, Dico enim vobis: Nisi abundaverit iustitia vestra plus quam scribarum et pharisaeorum. Secara harafiah dialih bahasakan, “Aku berkata kepadamu, bahwa jika tidak melakukan keadilan lebih dari ahli Taurat dan orang Farisi.
Santo Matius memilih kata δικαιοσυνη, dikaiosune, melaksanakan kebenaran, yang berakar dari akar kata dikaios, bermakna: orang menjadi benar apabila ia melaksanakan kehendak Allah. Nabi Elia menjadi salah satu contoh orang benar.
Ia membela Yahwe di hadapan Baal, penghulu setan, berhala yang disembah Raja Ahab dan seluruh kerajaan Israel. Allah secara ajaib menurunkan api untuk membakar persembahan yang telah diguyur air oleh abdi Allah itu (bdk. 1Raj. 18:36-38). Kemudian Ia juga mengirim hujan yang dimulai dari awan sebesar telapak tangan (1Raj. 18:41-46).
Di masa lain, Nabi Yehezkiel menyingkapkan kehendak Allah, “Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh. 18:21).
Jangan membunuh.
Tertulis hukum, “Jangan membunuh.” (Kel. 20:13). Untuk melaksanakan hukum ini sepenuh-penuhnya, para murid Yesus tidak hanya menghindari tindakan penghilangan nyawa orang.
Tetapi ia juga harus membunuh segala hal yang mendorong tindakan pembunuhan dari dalam hati. Sabda-Nya, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” (Mat. 15:19).
Jika engkau mempersembahkan persembahanmu
Allah menerima ibadat manusia, bila ia selalu hidup berdamai dengan sesamanya. “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos. 6:6).
Saat Santo Matius membina jemaat, komunitas iman terbelah dan saling menolak. Umat yang berasal dari bangsa Yahudi menghendaki pelaksanaan Hukum Taurat bagi bangsa asing sebelum mereka dibaptis. Usul ini ditentang dan perselisihan pendapat tak bisa dihentikan dengan dialog.
Santo Matius mengingatkan Allah menghendaki penerimaan dan pengampunan, damai dan belas kasih.
Sabda-Nya, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:13-14).
Jangan berzinah
Yesus meninjau lebih teliti hubungan pria-wanita dalam perkawinan. Ada perintah: “Jangan berzinah. Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya”.
Secara huruf demi huruf, perintah itu ditanggapi: seorang laki-laki tidak meniduri istri orang lain.
Yesus menuntut jauh lebih melampaui apa yang tertulis, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat. 5:28).
Maka, setiap pribadi diminta menumbuh kembangkan kepercayaan timbal balik dalam perkawinan.
Kesetiaan akan sempurna bila kedua belah pihak tahu bagaimana harus bertindak setia satu sama lain dalam pikiran dan kehendak. Kedua belah pihak saling terbuka.
Dalam hukum perkawinan, perlu dipertimbangkan kata ‘zinah’, padanan dari kata Aram atau Ibrani zenuth.
Kata ini bermakna perkawinan antar saudara yang masih berhubungan sedarah dan tidak pernah diizinkan. Maka perkawinan ini tentu tidak sah.
Perintah-Nya, “Jangan berzinah” bermakna bahwa laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan harus saling terbuka dan jujur.
Tak terhingga usaha yang dilakukan untuk membantu dan membaharui janji perkawinan atau kaul. Semua itu dilakukan untuk membantu tiap pribadi menjadi kudus.
Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau
Yesus menggunakan ungkapan yang keras didengar untuk menekankan apa yang dikehendaki-Nya ketika ada upaya-upaya untuk melecehkan siapa pun yang dipandang kecil (Mat. 18:9; Mrk. 9:47).
Sabda-Nya harus tidak dibaca huruf demi huruf. Perintah-Nya menunjukkan tuntutan yang lebih radikal dan sungguh dalam melaksanakan Hukum Tuhan, agar manusia layak dan pantas di hadapanNya.
Ia tidak menghendaki mereka yang bersemangat suam-suam kuku dalam melaksanakan perintahNya. “Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Why 3:16).
Peganglah sumpahmu di depan Tuhan
Berabad-abad umat Israel berpegang teguh pada perintah itu. Bahkan ditambah juga dengan perintah bahwa seseorang harus bersumpah demi nama-Nya (bdk. Ul. 6: 13; Ul. 10:20).
Kepada Allah pemazmur mengidungkan madah, “Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu.” (Mzm. 24: 4). Demikian juga, ketika seseorang melakukan sumpah kepada Allah, ia harus segera melaksanakan dan tidak boleh menunda-nunda (Pkh 5:3-4).
Tradisi hidup bersama manusia ternyata ditopang oleh penemuan atas sumpah. Untuk memperkuat bobot kata seseorang agar layak dipercaya, ia bersumpah demi seseorang atau sesuatu yang jauh lebih berkuasa atas dirinya dan ia berwenang menjatuhkan hukuman bila apa yang dikatakan tidak dipenuhi.
Sumpah terus saja berlangsung hingga kini. Dalam Gereja dan masyarakat, selalu tersedia waktu dan kesempatan bagi seseorang untuk mengucapkan sumpah/janji.
Tetapi juga muncul ungkapan ketidak percayaan atas sumpah yang diangkat seseorang. Ketidak percayaan itu muncul karena kepalsuan.
Dalam tradisi alkitab, ditemukan pelbagai macam rumusan sumpah: demi langit, demi bumi (bdk. Yes. 66: 1; 1Taw. 28:2); demi Yerusalem (Mzm. 48:2); demi kepala. Bahkan, bila sumpah diucapkan dengan tidak menghadap kota suci itu, sumpah dianggap tidak sah.
Yesus hendak membabaskan para murid-Nya dari kungkungan sumpah yang mudah kehilangan makna. Sumpah juga tak berarti ketika si pengucap tidak mau berpegang pada janji.
Yesus menuntut tiap murid untuk menyatukan hati, kata dan perbuatan. Ia bersabda (Mat. 5:37), “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.
Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”, Sit autem sermo vester: “Est, est”, “Non, non”; quod autem his abundantius est, a Malo est.
Yesus menuntut tiap murid untuk bertindak jujur. Kejujuran membebaskan manusia dari sikap melecehkan Allah karena sumpah demi namaNya, demi langit, demi Yerusalem dan demi kepala sendiri.
Ia tidak berkuasa atas keempat hal tersebut. Bila sumpah dicederai, ia melanggar perintah: Janganlah menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan (Kel. 20:7).
Ketika orang melanggar sumpah/janji, ia membiarkan dirinya mengikuti kemauannya sendiri menuju kebinasaan. Melalui Nabi Yesaya Allah bersabda (Yes. 55: 8), “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku”, Non enim cogitationes meae cogitationes vestrae neque viae vestrae viae meae.
Yesus menuntut standar hidup moral yang jauh lebih tinggi dari pada huruf-huruf hukum ciptaan manusia. Sabda-Nya (Mat. 5:48), “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.”, Estote ergo vos perfecti, sicut Pater vester caelestis perfectus est.
Katekese
Tiap Pribadi kebebasan memilih: yang baik atau yang jahat. Santo Paus Yohanes Paulus II, 1920 – 2005:
Pencobaan dapat diatasi, dosa dapat dihindari, karena bersamaan dengan perintah-Nya Allah memberi kita kemungkinan untuk berpegang pada perintahNya, “Mata Tuhan tertuju kepada orang yang takut kepada-Nya, dan segenap pekerjaan manusia la kenal. Tuhan tidak menyuruh orang menjadi fasik, dan tidak memberi izin kepada siapapun untuk berdosa” (Sir. 15:19-20).
Menaati perintah Allah, dalam keadaan tertentu, sukar, bahkan sangat sulit; tetapi hal ini bukanlah merupakan kemustahilan.
Inilah ajaran yang selalu dipegang oleh tradisi Gereja dan ditekankan oleh Konsili Trente:
“Tidak ada seorang pun, walau ia seolah dibenarkan, memandang diri sebagai pengecualian dari ketaatan pada perintah-perintah Tuhan, atau ia tidak boleh berpegang pada pernyataan yang keliru, karena dilarang oleh para Bapa Gereja sebagai terkutuk, sehingga perintah-perintah Allah tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang merasa dibenarkan.
Karena Allah tidak pernah meminta yang tidak mungkin. Namun, dalam perintah-Nya, Ia memintamu untuk melakukan apa yang dapat kau lakukan dan meminta bantuan-Nya untuk apa yang tak bisa kamu lakukan.
Maka Ia akan menganugerahkan bantuan yang memungkinkan kamu melakukan perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya tidak pernah membebani (bdk. 1Yoh. 5:3). Kuk-Nya mudah dan beban-Nya ringan (bdk. Mat. 11:30).” (Ensiklik Cahaya Kebenaan, Veritatis Splendor, 102)
Oratio-Missio
Ya Yesus yang baik, seandainya saja aku memiliki rahmat untuk benar-benar menyatu denganmu! Di tengah seluruh macam hal duniawi di sekitarku, ya Tuhan, satu-satunya yang kuinginkan adalah bersatu denganMu. Engkaulah kerinduan jiwaku.
Sang Sahabat hatiku, persatukanlah jiwaku yang sangat kecil ini dengan kebaikan hatiMu yang sempurna. Engkaulah milikku; kapan aku akan menjadi milikMu? Yesus, Tuhanku, Kekasih jiwaku, tariklah hatiku ke dalam HatiMu. Peganglah, genggamlah, dan satukanlah aku dengan Hati KudusMu selama-lamanya.
Engkau telah menciptakan aku demi diriMu sendiri; buatlah aku bersatu denganMu. Seraplah setetes kecil hidupku ke dalam samudera kebaikan, yang menjadi tempat asal hidupku. Amin. (Doa Santo Franciskus de Sales, 1567-1622, terjemahan bebas)
- Apa yang harus aku lakukan untuk selalu setia pada Hukum Kasih-Nya?
qui autem fecerit et docuerit, hic magnus vocabitur in regno caelorum – Matthaeum 5:19