Home BERITA Lectio Divina 12.08.2023 – Yang Diminta-Nya Hanya Sebesar Biji Terkecil

Lectio Divina 12.08.2023 – Yang Diminta-Nya Hanya Sebesar Biji Terkecil

0
Penderita ayan disembuhkan-Nya, by John Reilly

Sabtu. Pekan Biasa XVIII (H)

  • Ul. 6:4-13
  • Mzm. 18:2-4.47.51ab
  • Mat. 17:14-20

Lectio

14 Ketika Yesus dan murid-murid kembali kepada orang banyak, seorang laki-laki datang kepada Yesus dengan berlutut di hadapan-Nya sambil berkata, 15 “Tuhan, kasihanilah anakku sebab ia sakit ayan dan sangat menderita. Ia sering jatuh ke dalam api dan ke dalam air. 16 Aku sudah membawanya kepada murid-murid-Mu, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkan dia.”

17 Yesus menjawab, “Hai, kamu generasi yang tidak percaya dan sesat! Berapa lama lagi Aku akan tinggal bersamamu? Berapa lama lagi Aku harus bersabar terhadap kamu? Bawalah anak itu kepada-Ku.”

18 Maka Yesus membentak roh jahat itu sehingga keluar dari anak laki-laki itu, dan anak itu sembuh saat itu juga. 19  Kemudian para murid datang kepada Yesus, ketika mereka sendirian dengan-Nya dan bertanya, “Mengapa kami tidak dapat mengusir roh jahat itu?”

20 Kata-Nya kepada mereka, “Karena imanmu yang kecil. Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu, kalau kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, maka kamu dapat berkata kepada gunung ini, ‘Pindahlah dari tempat ini ke sana!’ dan gunung ini akan pindah. Tidak ada yang mustahil bagimu.”

Meditatio-Exegese

Kasihilah Tuhan, Allahmu

Di masa akhir hidupnya, Musa menyerukan agar tiap anak Israel untuk percaya pada Allah yang mahaesa (Ul. 6:4), “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!”, Audi, Israel: Dominus Deus noster Dominus unus est

Pengakuan iman ini menjadi ciri khas bangsa itu yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di sekeliling mereka. Dan kata pertama seruannya, “Dengarlah”, shema, menjadi nama doa yang didaraskan tiap anak Israel sepanjang abad tiap pagi dan petang.

Seruan pada Ul. 6:8-9 menjadi landasan anak-anak Israel untuk menciptakan filakteri/tefilin dan mezuzah. Filakteri berbentuk kotak kecil yang berisi kutipan Kel. 13:1–10, Kel. 13:11–16, Ul. 6:4–9 dan Ul. 11:13–21 dan diletakkan di dahi dan tangan kiri.

Pada jaman Yesus, kaum Farisi menggunakan filakteli yang lebih besar untuk menunjukkan bahwa mereka lebih setia dan taat melaksanakan Hukum (bdk. Mat. 23:5) .

Sedangkan ‘mezuzah’ adalah kotak kecil berisi kutipan yang sama dengan filakteli dan ditempatkan di sebelah kanan kusen pintu. Penganut agama Yahudi menyentuh mezuzah dengan jari dan menciumnya saat masuk atau keluar rumah untuk mengingat perintah Allah.

Perintah terpenting yang disingkapkan (Ul. 6:5):  “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Diliges Dominum Deum tuum ex toto corde tuo et ex tota anima tua et ex tota fortitudine tua.

Mengasihi berasal dari dorongan hati untuk taat pada Allah. Kasih dan ketaatan berasal dari relasi yang dibangun Allah dengan umat Israel, yakni: relasi antara orang tua dengan anak.

Seperti seorang kepala keluarga, Allah membela, membebaskan dari perbudakan Mesir dan menopang hidup mereka di gurun. Sebagai balasan, umat mengasihi-Nya dengan hati, jiwa dan seluruh daya, karena Ia mengasihi lebih dahulu (bdk. 1Yoh. 4:10.19).

Penggunaan keterangan ‘dengan segenap hatimu’ dan ‘dengan segenap jiwamu’ dan ‘dengan segenap kekuatanmu’ menunjukkan bagaimana cara tiap pribadi mengasihi-Nya: total.

Gereja mengajar, “Ketika orang menanyakan kepada-Nya, “Guru hukum manakah yang terutama, dalam hukum Taurat?” (Mat 22:36), Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.

Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:37-40; bdk. Ul. 6:5; Im 19:18). Dekalog harus dijelaskan dalam terang hukum kasih ganda dan sekaligus satu-satunya yang merupakan kegenapan hukum.” (Katekismus Gereja Katolik, 2055).

Seruan akan ‘takut akan Allah’ dapat ditemukan dalam Ulangan dan seluruh Perjanjian Lama. Ungkapan itu selalu bermakna setia pada Perjanjian dan melaksanankannya, menempuh jalan yang ditunjukkan Allah, dan beribadah kepada-Nya (bdk. Ul. 10:12). Di samping, menjauhi ilah lain (Kel. 5:7; 6:14; 11:16).

Pribadi yang  ‘takut akan Allah’ diteladankan oleh, misalnya, Obaja (1Raj. 18:3) dan Ibu Maria (Luk. 1:50).

Ketika Yesus dan murid-murid kembali kepada orang banyak

Setelah berkeliling di daerah Kaisarea Filipi (Mat. 16:13-28), Yesus mengajak para murid ke gunung dan menampakkan kemuliaan-Nya pada tiga murid-Nya – Petrus,  Yakobus dan Yohanes (Mat 17:1-10).

Dari gunung Ia dan ketiga murid menemui kembali orang banyak (Mat. 17:14-21) dan mencoba kembali ke Galiliea untuk beristirahat (Mat. 17:22).

Perpindahan lokasi geografis menandakan adanya gerakan pezirahan batin dalam mengikuti hidup Yesus mulai dari Galilea, menyusuri jalan salib-Nya hingga kebangkitan-Nya.

Saat Ia menampakkan kemuliaan-Nya di gunung, Ia mendapati ketiga murid-Nya, terutama Petrus, gagal memahami apa makna Ia berubah rupa. Santo Matius melukiskan bahwa mereka ketakutan.

Santo Markus menulis bawa mereka tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena ketakutan (Mrk. 9:6); sedangkan Santo Lukas  melukiskan Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu (Luk. 9: 33).

Saat Yesus kembali berjumpa dengan orang banyak yang menanti kedatangan-Nya, masalah yang harus dihadapi-Nya justru makin bertumpuk. Pada Yesus seorang bapak meminta tolong untuk menyembuhkan anaknya yang kena serangan ayan.

Gejala serangan itu dilukiskan dengan rinci: menderita kesakitan, jatuh ke dalam api dan air. Pada saat itu, penyakit seperti ini dipandang sebagai ulah setan, musuh Allah dan manusia.

Maka, ia menjadi asal usul kejahatan dan dosa. Berhadapan dengan situasi ini seperti ini, para murid tidak berdaya dan tidak mampu mengatasi (Mat. 17:16).

Kalau kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja

Bisa dimengerti bila Yesus sangat marah dan kecewa. Ia sepertinya gagal mendidik para murid-Nya untuk mengenal dan mempercayai-Nya. Setelah Ia mengecam orang-orang itu karena kedegilan hati mereka, Ia meminta anak itu dibawa kepada-Nya untuk disembuhkan. 

Setelah orang-orang pergi dan mereka hanya sendirian, para murid bertanya (Mat. 17:20), “Mengapa kami tidak dapat mengusir roh jahat itu?”, Quare nos non potuimus eicere illum?

Pertanyaan itu menyingkapkan kegagalan mereka untuk menyadadari kehadiran Allah bersama mereka dalam Yesus, Sang Imanuel (Mat. 1:23). Sama seperti pengalaman ketiga murid di gunung, mereka gagal membantu orang yang kesusahan, karena iman mereka kecil, propter modicam fidem vestra (Mat. 17:20).

Selanjutnya, Yesus menyadarkan bahwa daya kekuatan iman akan menjadi semakin besar ketika para murid menghadapi masa sulit dan derita karena harus mengikuti jalan salib, yang berujung pada kebangkitan.

Ia menyingkapkan (Mat. 17:20), ”Kalau kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja”, Si habueritis fidem sicut granum sinapis, dicetis monti huic: “Transi hinc illuc.”, et transibit, et nihil impossibile erit vobis.”  

Para murid dan jemaat perdana mengalami bahwa ketidak percayaan tidak dapat diatasi hanya dengan puasa dan doa. Tiap orang yang percaya mampu mengatasi persoalan ketidak percayaan bila menyatukan diri dengan Yesus: menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti-Nya.

Katekese

Iman sebesar biji sesawi. Origenes dari Alexandria, 185-254:

“Sepengetahuan saya, gunung-gunung yang dibicarakan Tuhan merupakan daya kuasa jahat yang menjadi nyata dalam terjangan banjir dosa. Daya ini berdiam di kedalaman lubuk jiwa begitu banyak orang.

Tetapi ketika seseorang memiki iman yang kokoh, karena ia percaya akan segala yang tertulis dalam Kitab Suci dan beriman seperti Abraham, yang memiliki iman pada Allah seperti ini, orang yang beriman seperti Abraham pasti dipandang sebagai orang benar (Kej. 15:6). Maka, ia memiliki iman seperti biji sesawi.

Lalu, orang itu, yang dirasuki roh tuli dan bisu  atau sakit ayan, akan berkata, “Pindahlah dari sini ke tempat lain.” Roh itu akan pindah. Maka, roh akan pindah dari orang dicelakainya ke palung dalam tak bertepi.

Bertitik tolak dari pemahaman ini, Rasul Paulus berkata dengan kuasa apostolik, “Sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung.” (1Kor. 13:2). Karena ia yang memiliki iman kokoh, kecil seperti biji sesawi, dapat memindahkan tidak hanya satu gunung, tetapi juga lebih banyak lagi.

Dan tak ada satu hal yang mustahil bagi orang yang memiliki iman yang sangat kokoh. Mari kita renungkan juga sabda-Nya, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.” (Mrk. 9:29). Jika sangat dibutuhkan setiap waktu, kita harus ambil bagian menyembuhkan orang yang menderita sakit.

Kita tidak meminta atau mempertanyakan atau berbicara pada roh najis itu seolah-olah ia mendengar suara kita. Tetapi dengan tekun berdoa dan berpuasa, kita dapat berhasil karena kita berdoa untuk orang yang menderita. Serta, melalui puasa, kita dapat mengusir roh najis itu darinya.” (Commentary On Matthew 13.7.19)

Oratio-Missio

Ambillah, ya Tuhan, dan terimalah segenap kemerdekaanku, ingatanku, budiku serta segenap kehendakku; apa saja yang kupunyai dan kumiliki. Engkaulah yang telah memberikan itu kepadaku.

Kepada-Mulah, ya Tuhan, semua itu kupersembahkan kembali; segalanya itu milikmu. Pergunakanlah itu menurut kehendakmu.

Berilah aku kasih dan rahmatMu. Sebab sudah cukuplah bagiku.” (doa Santo Ignatius dari Loyola,  1491-1556, terjemahan bebas)         

  • Apa yang aku lakukan dilakukan untuk percaya kepada Sang Imanuel?

Si habueritis fidem sicut granum sinapis, dicetis monti huic: “Transi hinc illuc!”, et transibit, et nihil impossibile erit vobis” – Matthaeum 17:20

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version