Home BERITA Lectio Divina 12.11.2024 – Lakukan Apa Yang Harus Dilakukan

Lectio Divina 12.11.2024 – Lakukan Apa Yang Harus Dilakukan

0
Kami hamba tak berguna, by Vatican News

Selasa. Minggu Biasa XXXII. Perayaan Wajib Santo Yosafat (M)

  • Tit 2:1-8.11-14
  • Mzm 37:3-4.18.23.27.29
  • Luk 17:7-10

Lectio

7 “Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan. 8 Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu:

Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum.

9 Adakah ia berterimakasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?

10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

Meditatio-Exegese

Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik

Paulus meminta Titus tak hanya untuk menghayati hidup moral yang unggul dalam melayani umat, tetapi juga mengajarkan iman dengan jujur dan bermutu tinggi. Kedua cara itu pasti membuat para musuh “malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.” (Tit. 2:8).

Paulus juga meminta semua anggota Gereja, dari segala usia, jenis kelamin atau status sosial di masyarakat. Dalam menghayati Injil, para lelaki tua “hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.” (Tit. 2:2); cara hidup yang berbeda dengan kebanyak orang Kreta, “pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.” (Tit. 1:12).

Para perempuan tua dari kalangan umat pun diminta berberi hidup yang lebih unggul dari orang bukan Kristen, katanya hendaklah “jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur” (Tit. 2:3); perilaku itu mungkin biasa ditemukan di antara kebanyakan perempuan di situ.

Maka, para ibu diminta untuk menjadi teladan para perempuan muda untuk mengasihi suami dan anak-anak, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangga, baik hati dan taat kepada suami (Tit. 2:4-5). Sedangkan para suami “kasihilah istrimu seperti Kristus mengasihi jemaat dan memberikan diri-Nya bagi jemaat.” (Ef. 5:25).

Bila kaum ibu, terutama yang bekerja rumah, sering kurang diperhatikan. Maka Santo Paus Yohanes Paulus II mengajar, bahawa “mentalitas yang menghormati kaum wanita lebih karena kerja mereka di luar rumahtangga dari pada karena kerja mereka di dalam keluarga, harus diatasi.

Untuk itu kaum pria harus sungguh menghargai dan mengasihi kaum wanita, dengan sepenuhnya menghormati martabat pribadi mereka; dan masyarakat hendaklah menciptakan dan mengembangkan kondisi-kondisi, yang mendukung kerja dalam rumah tangga.

Sambil menghormati seperti layaknya berbagai panggilan bagi pria maupun wanita, Gereja dalam perihidupnya sendiri hendaklah sedapat mungkin mendukung kesamaan hak-hak serta martabat mereka: itu pun demi kepentingan semua: keluarga, Gereja dan masyarakat.” (Anjuran Apostolik Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, Familiaris Consortio, 23)

Bapa rohani Titus menunjukkan bahwa nilai-nilai Injil sangat mudah dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Pasangan suami-istri pun dapat dengan mudah menjadi saksi Injil dengan peri hidup mereka. Jika gagal dalam menghayatinya, Injil kehilangan makna.

Titus sendiri harus menjadi teladan bagi kaum muda, seperti Timotius di Efesus (1Tim 4:12). Tiap imam atau gembala harus mencerminkan hidup Yesus dalam diri sendiri (1Kor. 11:1; bdk. Fil. 3:17; 2Tes. 3:9): “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”, Imitatores mei estote, sicut et ego Christi.

Santo Yohanes Paulus II mengajar, “Pribadi seorang imam harus diabdikan untuk sesama sebagai tanda dan wujud nyata. Inilah syarat pertama untuk pelayanan pastoral kita. Umat, dari mana kita dipilih dan bagi siapa kita ditahbiskan, di atas segalanya, ingin melihat dalam diri kita tanda dan wujud nyata itu. Dan mereka memiliki hak untuk menuntut itu.” (Letter to All Priests, 8 April 1979).

Singkatnya, Injil harus mempengaruhi cara hidup tiap pribadi. Injil mengajarkan apa yang perlu dilakukan dan menjadi pribadi macam apa yang hendak dikembangkan agar dapat berjumpa dan bersatu dengan Allah. Maka, apa pun yang menghalangi peziarahan menuju Allah harus disingkirkan dari hidup. 

Dengan kata lain, orthodoxy, keyakinan akan pengajaran yang benar, harus diikuti oleh orthopraxis, praktek yang benar. Santo Yakobus menulis, “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak. 2:26).   

Berkhotbah saja tidak akan mengubah keadaan masyarakat/komunitas. Perubahan hanya terjadi melalui pribadi, keluarga dan kelompok yang secara sadar berusaha keras mewujudnyatakan pesan Injil.

Dan Gereja bukanlah komunitas tanpa bentuk yang bisa sesuka hati dikecam atau dipuji kapan saja. Gereja dibentuk oleh pribadi, keluarga dan kelompok.  Bila Gereja salah, itu berarti kesalahan terletak pada diri sendiri, di situlah letak kesalahannya.

Orang-orang Farisi mencemoohkan Dia

Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus berjumpa dengan orang Farisi. Mereka tidak hanya bersungut-sungut, karena Ia menerima pendosa dan pemungut cukai (Luk. 15:1-2).

Tetapi juga Ia makan bersama mereka yang disingkirkan. Makan bersama menandakan Yesus sadar bahwa Ia datang untuk merengkuh, menyelamatkan dan memulihkan citra mereka sebagai citra Allah (Kej 1:27).

Selanjutnya, mereka mencemooh-Nya (Luk. 16:14). Santo Lukas menggunakan kata εξεμυκτηριζον, exemukterizon, membuang ingus dari hidung; secara figuratif bermakna: mengusir, mencampakkan, atau nyebratake (Jawa).

Kaum Farisi dikenal sebagai orang yang suka berbuat baik, bahkan tanpa cela menjalankan perintah Taurat dan kebiasaan para leluhur hingga rincian paling kecil. Mereka melakukan 613 butir perintah pokok.

Justru karena setia melakukan perintah Taurat, mereka merasa berhak atas surga. Maka, dalam doa, wajar apabila dalam berdoa mereka membuat daftar kebaikan yang mereka lakukan.

Inilah doa mereka, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk. 18:11-12).

Dengan cara hidup tanpa cela, mereka merasa, seolah-olah, Allah berutang pada mereka. 

Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan

Menggunakan perumpamaan tentang hamba yang berbakti, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak dalam posisi berhutang  jasa pada manusia.  Justru manusia harus menempatkan diri sebagai pelayan Allah, seperti Yesus datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat. 20:28).

Pelayanan kepada Allah dan kepada manusia selalu bersifat suka rela dan berasal dari kemurahan hati, ex abundatia cordis. Maka pelayanan ini selalu penuh pengorbanan, murah hati dan tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri.

Bagaimana kita melayani Allah dan “saudaraKu yang paling hina ini” (Mat. 25:40)? Santo Yohanes bersaksi (1Yoh. 4:16), “Allah adalah kasih.”, Deus caritas est.

Allah adalah Sang Pencipta kehidupan dan sumber seluruh relasi kasih persudaraan. Ia menghembuskan nafas kehidupan dan Roh Kudus (Kej. 2:7; Yoh. 20:22). Dan Roh yang sama memenuhi hati dengan kasih tak terbatas dan memampukan kita mengasihi sesama (Rm. 5:5).

Maka sebagai hamba, tiap pribadi mengikatkan pinggang dan melayani-Nya serta melakukan segala sesuatu yang ditugaskan (Luk. 17:8.10). “Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh. 4:12).

Allah menghormati hamba yang setia dan mengasihi serta melayani sesama dengan murah hati. Ia selalu siap berkarya di dalam diri dan melalui kita demi kemuliaan-Nya. Kasihnya selalu mendorong masing-masing murid-Nya untuk melakukan apa yang terbaik bagi-Nya. 

Pada-Nya kita berseru (Luk. 17:10), Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”, Servi inutiles sumus; quod debuimus facere, fecimus.

Katekese

Kita dipanggil untuk melayani dengan rendah hati. Santo Abrosius dari Milan, 339-397:

“Kalian tidak berkata pada pembantumu: Duduklah”. Tetapi meminta pelayanan yang lebih darinya dan tak pernah ada ucapan terimakasih padanya. Tuhan juga tidak mengizinkan seseorang bekerja atau melayanimu, karena sepanjang waktu kita hidup, kita harus bekerja senantiasa.

“Sadarilah bahwa kalian  adalah seorang pelayan yang dipenuhi dengan banyak kewajiban. Kalian harus pertama-tama mengatur diri sendiri, karena kalian dipanggil sebagai anak Allah. Rahmat harus diakui, tetapi kodrat tidak boleh tak diperhatikan.

Jangan menyombongkan dirimu sendiri jika kamu telah melayani dengan baik, seperti yang seharusnya kamu lakukan. Matahari patuh dan bulan diberi tugas untuk berguna (Yos. 10:12-13; Bar. 6:59), dan para malaikat melayani … .

Mari kita tidak menuntut pujian untuk diri kita sendiri atau tidan menghindari pengadilan Allah dan mengantisipasi hukuman itu, karena ada masanya sendiri dan Sang Hakim.” (Exposition Of The Gospel Of Luke 8.31-32).

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan kasih, syukur dan kemurahan hati. Jadikanlah aku pelayan-Mu yang setia dan murah hati. Amin.         

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk selalu memberikan yang terbaik dariku untuk mereka yang kulayani?

Servi inutiles sumus; quod debuimus facere, fecimus – Lucam 17:10  

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version