Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Lectio Divina 13.9.2024 – Jangan Ada Selumbar di Matamu

Lectio Divina 13.9.2024 – Jangan Ada Selumbar di Matamu

0
Balok di mataku, by Carol Manasse

Jumat. Perayaan Wajib Santo Yohanes Krisostomus (P)

  • 1Kor. 9:16-19.22b-27
  • Mzm. 84:3.4.5-6.12
  • Luk 6:39-42

Lectio

39 Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? 40 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.

41 Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? 42 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat?

Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Meditatio-Exegese

Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil

Paulus mengisahkan panggilannya untuk menjadi Rasul Injil Tuhan. Kedudukan itu tidak pernah menjadikannya sombong, karena ia menerima perintah diri Allah, katanya, “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”, Vae enim mihi est, si non evangelizavero.

Ia tak pernah mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas panggilan itu. Baginya, panggilan merwartakan Injil merupakan panggilan dan tanggung jawab untuk melayani.

Upah yang diterimanya dari kerasulan pun sederhana. Katanya, “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.” (1Kor. 9:18).

Dalam mewartakan Injil, Paulus menggunakan cara unik. Ia menghidupi dirinya dari pekerjaan sebagai pembuat tenda (Kis. 18:3) dan menjadikan dirinya sahabat bagi semua orang. Persahabatan yang tulus menjadikan semua menerimanya, dan, akhirnya menerima Injil.

Ia meringkas seluruh usahanya, “Aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” (1Kor. 19:19). Maka, seluruh hidupnya hanya dicurahkan untuk mewartakan Injil, agar semakin banyak orang mendengarkan Injil, mengenal dan mengasihi Yesus Kristus.

Tetapi, saat ia berbicara tentang mereka yang ‘lemah’ dalam moral dan iman, ia tidak pernah memberi toleransi dengan mengizinkan mereka melakukan praktek hidup menyimpang. Ia mengingatkan dan menguatkan usaha untuk berbalik kepada Injil, seperti nasehatnya pada orang yang hidup dalam percabulan (1Kor. 5:1).

Akhirnya, Paulus melukiskan hidup dan kerasulannya seperti atlit lari atau petinju di Olimpiade, yang sudah lazim dilakukan di Korintus. Seorang atlit hanya mempunyai satu tujuan: juara.

Dan untuk menjadi juara, ia harus hidup disiplin berlatih dan mempersiapkan diri dengan semestinya. Ia harus menjaga daya tahan tubuh, kekuatan, kecakapan, kepandaian, hingga strategi untuk menang.

Sama seperti atlit akan mengalami kekalahan dalam pertandingan jika tidak disiplin dan miskin persiapan untuk lomba, pewarta Injil akan gagal bila ia tidak mempersiapkan dan selalu hati untuk semakin mengenal Allah dan sesama. Ia pasti ‘didiskualifikasi’.

Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan

Yesus suka bercanda. Dengan nada humor Yesus menyindir orang yang hendak mengantar seseorang berjumpa dengan-Nya.

Kata-Nya (Luk. 6:39), “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?”, Numquid potest caecus caecum ducere? Nonne ambo in foveam cadent?

Setiap orang yang hendak menuntun orang lain berjumpa dengan Yesus harus mengenal betul dirinya sendiri dan mengenal Yesus. Ia harus bersedia untuk menjadi murid-Nya.

Yesus tidak mengajarkan seperangkat ajaran indah dan tersusun rapi serta sistematis. Sebagai Guru dan Tuhan (Yoh. 13:13), Yesus mengajak para murid mengenal diri-Nya, kesaksian-Nya, dan cara hidup-Nya.

Mengenal Yesus sebagai Guru dan Tuhan mencakup tiga aspek:

  • Sang Guru adalah Model atau teladan untuk ditiru (bdk. Yoh. 13:13-15); Si murid tidak hanya merenungkan dan meniru-Nya, tetapi ikut ambil bagian dalam panggilan Sang Guru, dalam pencobaan-Nya ( Luk. 22: 28); penyiksaan yang dialami-Nya (Mat. 10:24-25); kematian-Nya (Yoh. 11:16); dan, akhirnya, ikut serta dibangkitan bersama-Nya (1Kor. 6:14; 2Kor. 4:14); dan Sang murid tidak hanya meniru Sang Model, tetapi juga bertekad kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan Yesus. Sehingga, seperti kesaksian Santo Paulus, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2: 20).

Engkau akan melihat dengan jelas

Orang yang tidak memiliki pandangan yang jernih disamakan dengan ‘munafik’. Kata Yunani υποκριτα, hypocrita, diterjemahkan dengan ‘munafik’.

Dalam Perjanjian Baru, kata ini bermakna “pembenaran diri sendiri”, seperti kecaman Yesus pada orang Farisi dalam Mat 23.

Santo Lukas, tabib terdidik dan terlatih, mengajak pembaca wartanya untuk memiliki penglihatan yang jernih dengan datang pada Yesus. Pada-Nya tiap murid mohon dibebaskan dari perbudakan dosa, ketakutan dan penghukuman.

Maka, tiap pribadi harus berserah diri pada Sang Penyembuh, karena hanya Dialah yang mampu menyembuhkan hidup, jiwa dan raga, budi dan hati. Dengan cara ini, murid-Nya menjadi manusia baru.

Manusia harus mampu menghancurkan tiap dorongan yang tidak teratur dari hati, supaya hatinya bersih. Dari hatinya pasti keluar kenajisan, bila ia kotor (bdk. Mat. 15:18). Orang yang hanya mampu melihat kekotoran orang lain diumpaman ‘gajah di pulupuk mata tak tampak, tetapi kuman di seberang lautan tampak.’

Bila ia berhati bersih, ia mampu melihat kebaikan pada diri sesama. Ia menemukan Yesus di antara para saudara yang paling kecil dan hina.

Dan, akhirnya, ia mampu mewartakan “Yesus, orang Nazaret, melalui sabda, tindakan dan seluruh pribadiNya, menyingkapkan belas kasih Allah.” (Paus Fransiscus, Bulla Misericordiae Vultus, 1).

Katekese

Melihat selumbar di mata orang lain. Santo Augustinus, Uskup Hippo, 354-430 :

“Kata munafik sangat tepat digunakan dalam perikop ini (Luk. 6:42; Mat. 7:5), karena mengecam kejahatan dipandang sangat tepat hanya bagi orang yang memiliki kehendak baik.

Ketika orang berdosa melibatkan diri dalam usaha ini, mereka seperti pemain sandiwara, pemakai topeng,  yang menyembunyikan jatidirinya di balik topeng. Sementara mereka menilai watak orang lain melalui topeng yang dipakai menutupi wajahnya.

Kata munafik sejatinya bermakna ‘orang yang berpura-pura’. Maka kita secara khusus harus menghindari golongan orang yang suka berpura-pura dan mengendus-endus untuk meminta nasihat pada kita, padahal, sebenarnya, mereka sedang menimpakan segala yang jahat.

Mereka sering digerakkan oleh kebencian dan kekejaman. Terlebih, ketika situasi tertentu memaksa untuk mengecam atau mengutuk orang lain, kita harus bertindak seperti Tuhan: menimbang dan berjaga-jaga.

Pertama-tama, mari kita pertimbangkan apakah ada kesalahan lain seperti yang telah kita alami atau apakah kesalahan itu merupakan salah satu yang telah kita atasi. Kemudian, jika kita tidak pernah mengalami kesalahan seperti itu, marilah kita ingat bahwa kita adalah manusia dan mungkin mengalaminya.

Tetapi jika kita telah mengalaminya dan menyingkirkannya sekarang, marilah kita mengingat kelemahan kita bersama. Maka belas kasih, bukan kebencian, dapat menuntun kita untuk menolong sesama untuk memperbaiki diri dan menasihatinya.

Dengan cara ini, apakah peringatan tersebut mendorongnya memperbaiki diri atau justru menjadikannya lebih parah, karena dampak nasihat kita tidak dapat diperkirakan, kita diselamatkan dari cara pandang yang picik.

Tetapi, jika, ketika kita merenung, mendapati bahwa diri kita sendiri mengalami kesalahan yang sama dengan kesalahan dia yang hendak kita tegur, janganlah kita mengoreksi atau menegur orang itu.

Sebaliknya, mari kita meratapi kesalahan diri kita sendiri dan mengajak orang itu mawas diri atas kesalahan yang sama dengan kita, tanpa memintanya untuk melakukan nasihat kita.” (Sermon on the Mount 2.19.64

Oratio-Missio

Ya Bapa, anugerahilah kami kerendahan hati, agar kami sadar akan kebodohan, mengakuli kesalahan, mengingat perbuatan kami, menyambut nasihat dan menanggung kecaman. 

Bantulah aku selalu untuk lebih mudah memuji dari pada mengecam, berbela rasa dari pada memadamkan semangat, membangun dari pada menghancurkan, dan mendoakan yang terbaik bagi sesama dari pada mengutuki mereka. Semua ini kami mohon demi keluhuran nama-Mu. Amin (Doa dari William Barclay, abad ke-20, terjemahan bebas)

  • Apa yang perlu aku lakukan agar Yesus hidup dalam diriku?

Hypocrita, eice primum trabem de oculo tuo et tunc perspicies, ut educas festucam, quae est in oculo fratris tui – Lucam 6:42

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version