Minggu. Hari Minggu Paskah V (P)
- Kis. 14:21b-27.
- Mzm. 145:8-9.10-11.12-13ab.
- Why. 21:1-5a.
- Yoh. 13:31-33a.34-35.
Lectio Yoh. 13:31-33a.34-35
Meditatio-Exegese
Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman
Pewartaan Paulus dan Barnabas di daerah Ikonium membawa banyak orang Yahudi dan Yunani kepada Injil (Kis 14:1). Tetapi segelintir orang Yahudi “memanaskan hati orang-orang yang tidak mengenal Allah dan membuat mereka gusar terhadap saudara-saudara itu.” (Kis 14:2).
Mengabaikan ancaman kekerasan, bahkan, pembunuhan, Paulus dan Barnabas itu tetap tinggal di kota sampai beberapa saat, “karena mereka percaya kepada Tuhan. Dan Tuhan menguatkan berita tentang kasih karunia-Nya dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat.” (Kis 14:3).
Namun, kehadiran mereka justru semakin mengobarkan perbantahan, kebencian, di antara para penentang Injil (Kis. 14:4; bdk. Luk. 2:34; Luk. 12:51-53). Bahkan, Allah, Anak-Nya, utusan-utusanNya dan Injil-Nya selalu menjadi sumber perbantahan dan batu sandungan (bdk. Yes. 8:11-15; Yoh. 7:1-13; Yoh. 9:39; Rm. 9:30-33).
Akhirnya, direstui oleh pemimpin kedua kelompok (Kis. 14:5), sekelompok kecil orang Yahudi dan bangsa lain bersekongkol untuk melempari kedua utusan Tuhan dengan batu. Atas ancaman itu, kedua utusan Tuhan terpaksa meninggalkan Ikonium dan menuju ke kota lain di wilayah Likaonia seraya mewartakan Injil Tuhan (Kis. 14:6-7).
Di Listra seorang yang mengalami kelumpuhan mendengarkan pewartaan Paulus dan percaya pada Injil. Melihat iman orang itu, Paulus meminta si lumpuh untuk berdiri tegak dan sembuh. Maka, orang-orang di kota itu percaya para dewa mendatangi mereka. Paulus dianggap sebagai dewa Hermes dan dan Barnabas sebagai Zeus.
Bahkan imam di kuil Zeus mendatangi mereka dengan membawa hewan korban dan karangan bunga. Maka, Paulus dan Barnabas mengoyakkan baju mereka dan meminta mereka untuk berbalik kepada Allah.
Namun, sekelompok orang yang datang dari Antiokia dan Ikonium datang ke Listra dan menghasut untuk melawan Paulus dan Barnabas. Kedua utusan itu diseret ke luar kota, dan dilempari dengan batu.
Pelemparan batu di Listra mengingatkan akan kisah Stefanus, yang dilempari batu hingga tewas, dan Saulus, nama yang disandangnya dahulu, setuju (Kis. 7:54-8:1a). Paulus dikira telah tewas. Setelah siuman, ia bangkit dan masuk kembali ke kota.
Keesokan hari ia dan Barnabas pergi ke Derbe. Pulihnya Paulus dipandang oleh jemaat sebagai tanda heran (Kis. 8-20).
Kembali ke Listra, Ikonium dan Antiokia, Paulus dan Barnabas menguatkan hati para murid Tuhan. Mewartakan Injil dan mengobarkan hari para murid Tuhan menjadi tugas penggembalaan penting bagi Paulus (bdk. Rm. 1:11; 16:25; 1Tes. 3:2, 13; 2Tes. 2:17; 3:3). Kisah kesulitan dalam mewartakan Injil tidak mematahkan semangatnya.
Santo Ambrosius berkata, “Di mana ada banyak buah keberhasilan, disitulah terdapat penentangan yang kejam. Lebih baik kamu dikejar-kejar; dengan cara itu kamu akan meraih keberhasil secara lebih cepat.” (Expositio in Ps 118, 20, 43).
Untuk melanjutkan reksa penggembalaannya, Paulus mentahbiskan imam-imam dari antara anggota jemaat yang dipandang pantas dan memiliki kemampuan memadai. Santo Lukas menggunakan ungkapan χειροτονησαντες, cheirotonesantes dari kata kerja cheirotoneo, merentangkan tangan untuk memerintahkan, memilih, mengangkat.
Maka makna kata itu mengacu pada pentahbisan imam, karena dalam tradisi Rasuli merentangkan tangan searti dengan menumpangkan tangan dan disertai dengan puasa dan doa (bdk. Kis 13:3). Kata πρεσβυτερους, presbuterous, dari kata presbuteros, diterjemahkan sebagai penatua, yang dalam tradisi Gereja Katolik, sebenarnya mengacu kepada imam yang memimpin jemaat.
Penunjukan para imam di masing-masing gereja lokal berarti bahwa komunitas yang percaya kepada Yesus diperlengkapi dengan pelayanan, tata kelola organisasi jemaat dan peribadatan melalui ritus pentahbisan.
Maka, para imam “ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya.” (Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Imam, Presbyterorum Ordinis, 2).
Tugas pelayanan para imam memegang peran penting dalam hidup jemaat. Imamat mereka, yang berasal dari Tuhan kita, pada hakekatnya, dibedakan dari apa yang disebut sebagai imamat umum bagi seluruh kaum beriman.
Saat berjumpa dengan para imam di Philadelphia, Amerika Serikat, Santo Paus Yohanes Paulus II membagikan penghayatannya atas anugerah Sakramen Imamat, “Panggilan kita merupakan anugerah dari Tuhan Yesus sendiri.
Panggilan ini bersifat pribadi: kita dipanggil dengan nama kita, seperti dialami Nabi Yeremia. […] Sekali kita diberi anugerah itu kita tak boleh menolak. Pasti bukan Allah, yang mendorong kita untuk menjawab Ya, saat muncul dorongan yang terdengar di hati suara yang berkata Tidak … .
Panggilan ini seharusnya tidak mengejutkan dunia bahwa panggilan Allah melalui Gereja harus terus berlanjut. Kita, dengan hidup selibat, mempersembahkan diri melalui pelayanan kasih dan ibadat seturut dengan teladan Tuhan Yesus Kristus. Panggilan yang berasal dari Allah menyentuh kedalaman jiwa kita.
Dan setelah mengalami selama berabad-abad Gereja memahami betapa tepatlah para imam menanggapi cara hidup khusus ini dalam hidup mereka, untuk menunjukkan totalitas jawaban YA atas panggilan dari Tuhan kita.” (Homily di Civic Center, 4 Oktober 1979).
Para imam dan seluruh jemaat yang ada dalam reksa pastoralnya saling bekerja sama untuk tugas pewartaan Injil. Gereja terus menerus mengutus para pewarta sampai Gereja-gereja baru terbentuk sepenuhnya dan mereka melanjutkan karya pewartaan Injil (bdk. Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 17).
Pewartaan Injil selalu dilaksanakan, karena (Kis. 14:27), “Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman.”, aperuisset gentibus ostium fidei.
Sesudah Yudas pergi
Saat membasuh kaki para rasul (Yoh. 13:1-11), Yesus berpesan tentang kewajiban untuk saling membasuh kaki masing-masing (Yoh. 13:12-16). Setiap anggota komunitas iman saling mengasihi dan melayani satu dengan yang lain, total, seutuhnya.
Pesan-Nya (Yoh. 15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”, maiorem hac dilectionem nemo habet, ut animam suam quis ponat pro amicis suis.
Saat berbicara tentang pengkhianatan, Yesus mengungkapkan dengan begitu emosional (Yoh. 13:21),“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” , Amen, amen dico vobis: Unus ex vobis tradet me.
Yesus tidak menuduh. Ia hanya berbicara, “Seorang di antara kamu”. Daya rusak datang dari luar, tetapi bekerja dengan memanfaatkan anggota yang di dalam berbentuk pengkhianatan atau pembelotan atau pengingkaran.
Para rasul begitu ketakutan. Petrus mendesak Yohanes untuk menanyakan siapa pengkhianat itu. Gerak gerik Petrus menandakan ia belum mengenal masing-masing sahabat Yesus dan sahabatnya sekomunitas iman. Ia belum mencapai pemahaman tentang persahabatan seperti yang diharapkan Yesus (bdk. Yoh 15:15). Terlebih, Yohanes bertanya pada-Nya, “Tuhan, siapakah itu?”
Yesus tidak pernah menuduh orang. Ia menyingkapkan melalui isyarat, “Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya.” (Yoh. 13:26). Tindakan Yesus ini nampak wajar, karena biasa dilakukan di antara mereka yang ambil bagian dalam perjamuan terakhir, termasuk kepada Yudas.
Selanjutnya, Ia bersabda, “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.” (Yoh. 13:27). Kesebelas rasul yang lain seperti dibutakan mata mereka. Mereka hanya menangkap bahwa Yesus menyuruh Yudas untuk pergi ke luar dan membeli keperluan mereka atau memberi sedekah kepada kaum miskin.
Ternyata, di balik itu, mereka tidak sadar akan bahaya yang mengancam. Yesus menggemakan perasaan yang membuncah pada diri pemazmur, “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku.” (Mzm. 41:10; bdk. Mzm. 55:13-15).
Yudas sadar bahwa Yesus mengetahui pengkhianatannya (bdk. Yoh. 13: 18). Tetapi ia tidak mau mengubah sikap batinnya sendiri. Ia sudah kerasukan setan. Pada saat itulah terjadi pemisahan antara Yesus dan Yudas.
Yudas bangkit dan pergi meninggalkan-Nya. Ia meninggalkan ruang yang diterangi Terang dan memasuki kegelapan. Santo Yohanes melukiskan (Yoh. 13:30), “Pada waktu itu hari sudah malam.”, erat autem nox.
Yudas memilih kegelapan, yang hanya bisa dikalahkan oleh Terang (bdk. Kej. 1:2; Yoh. 1:5; Yoh. 8:12). Dan sesudah Yudas pergi, pintu tempat Perjamuan Malam ditutup.
Tidak sulit untuk kembali, bila ia mau berbalik kepada Allah. Namun, ketika memasuki kegelapan dan tinggal di dalamnya, pintu akan tetap ditutup, walau berteriak, “Tuhan, Tuhan!” karena menyesatkan diri (bdk. Mat. 7:15-23).
Sekarang Anak Manusia dipermuliakan
Setelah Yudas memisahkan diri dari komunitas, Anak Manusia dipermuliakan dan terjadi sekarang (Yoh. 13:31). Seluruh Injil mengisahkan tentang Yesus dimuliakan melalui kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga (Yoh. 17:1).
Pemuliaan Yesus tidak hanya mempengaruhi diri-Nya sendiri, tetapi juga Bapa. Orang mengira bila penyaliban akan mempermalukan Dia. Tetapi, ternyata, ia menjadi sarana Allah menampakkan kemulian-Nya.
Dengan cara ini, penulis Injil menyingkapkan kekeliruan pemikiran sepanjang jaman: “Apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat.” (1Kor. 1:27). Cara Allah mempermuliakan Yesus menjadi bentuk olok-olok bagi tiap penguasa tiranik.
Komunitas iman yang didirikan-Nya berlandaskan pada peristiwa pemuliaan. Melalui peritiwa ini Allah menyingkapkan kasih-Nya bagi dunia. Santo Yohanes, bersama dengan seluruh penulis Perjanjian Baru, menekankan karya Allah yang mengalahkan perendahan, penghinaan, pelecehan melalui pengosongan diri Anak-Nya.
Kemuliaan-Nya dinyatakan sepanjang karya pelayanan-Nya. Sedangkan tugas para murid-Nya adalah merenungkan karya-Nya, karena kemuliaan itu harus dinyatakan kepada orang banyak (Yoh. 1:14; 2:11; 11:4).
Pemuliaan Yesus mengacu pada kemuliaan yang diterima Yesus saat Ia ditinggikan di salib (Yoh. 3:14; 12:32). Santo Yohanes menekankan bahwa kematian Yesus merupakan awal kemenangan-Nya: penyaliban atas diri Yesus dapat dipandang sebagai langkah pertama kenaikan-Nya kepada Bapa-Nya.
Pada saat yang sama, penyaliban juga menjadi pemuliaan Allah, karena Kristus, dengan menerima secara suka rela menerima kematian, mempersembahkan diri-Nya sebagai korban terbesar yang dapat dipersembahkan manusia kepada Allah.
Melalui pengorbanan-Nya, Ia menaati kehendak Allah. Bapa menanggapi pemuliaan yang dipersembahkan Yesus kepada-Nya dengan mempermuliakan Yesus sebagai Anak Manusia, yakni, dalam kodrad-Nya sebagai manusia biasa, melalui kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke sisi kanan Allah.
Maka kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sama dengan kemulian yang dimiliki-Nya sejak sebelum dunia dijadikan. Para murid Tuhan juga dapat meneladan Yesus dengan cara menaati kehendak Bapa seperti yang dilakukan Yesus.
Santo Paulus mengajarkan (Gal. 6:14), “aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus.”, mihi autem absit gloriari nisi in cruce Domini nostri Iesu Christi.
Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi
Setelah menyampaikan bahwa Ia akan meninggalkan para murid (Yoh. 13:33), Yesus meringkas perintah-Nya dalam satu Perintah Baru. Ia akan mengulanginya beberapa kali selama khotbah panjang dalam Perjamuan Malam (bdk. Yoh. 15:12.17) dan Santo Yohanes dalam Surat Pertama menekankan pelaksanaan perintah ini (1Yoh. 2:8; 3:7-21).
Mengasihi sesama sudah diperintahkan dalam Perjanjian Lama (bdk. Im 19:18). Yesus menyetujui perintah ini ketika Ia meringkas perintah kedua dari seluruh hukum dan serupa dengan perintah pertama: Kasihilah Allah dengan segenap hati dan jiwa dan budimu (bdk. Mat. 22:37-40). Tetapi Yesus memberi makna baru pada perintah untuk mengasihi sesama dengan bersabda, “sama seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Mengasihi sesama seperti dituntut Perjanjian Lama mencakup pula kasih yang dicurahkan pada musuh (Kel. 23:4-5). Tetapi kasih yang dituntut Yesus memiliki jangkauan yang melebihi segala dan mencakup pula kesediaan untuk membalas setiap kejahatan dengan kebaikan (bdk. Mat. 5:43-44).
Kasih yang meluap dari setiap hati muridNya tidak diukur dengan neraca hati manusia, tetapi hati Kristus, yang memberikan hidup-Nya di salib untuk menebus manusia (bdk. 1Yoh. 4:9-11). Inilah pembaharuan Yesus.
Kasih yang diteladankan-Nya selalu menggocangkan selalu tiap hati. Para murid-Nya yang tersebar di seluruh penjuru kekaisaran Romawi pada abad 1 Masehi menjadi saksi kasih di tengah bangsa yang belum mengenal-Nya. Tertullianus, bapa Gereja, melaporkan, “Lihat betapa mereka saling mengasihi satu sama lain.” (Apologeticum, XXXIX).
Katekese
Murid Yesus saling mengasihi. Para Bapa Konsili Vatikan II:
“Perintah utama menurut hukum ialah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama seperti dirinya sendiri (lih. Mat. 22:37-40).
Kristus menjadikan perintah cinta kasih terhadap sesama itu menjadi hukum-Nya sendiri, dan memperkayanya dengan makna yang baru, ketika Ia menghendaki diri-Nya sendiri seperti juga saudara-saudari-Nya sebagai pribadi yang harus dicintai, dan bersabda: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang diantara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40).
Sebab dengan mengenakan kodrat manusia Ia telah menghimpun segenap umat manusia dalam suatu kesetiakawanan adi kodrati menjadi keluarga-Nya. Dan Ia menetapkan cinta kasih menjadi tanda para murid-Nya dengan sabda-Nya: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu murid-muridKu, bila kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).” (Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, 8).
Oratio-Missio
Tuhan, nyalakanlah di dalam hatiku api kasihMu dan Roh Kudus, agar aku dengan suka cita melayani sesama dan mengampuni siapapun tanpa syarat. Amin.
- Apa yang perlu kulakukan untuk mengasihi di keluarga komunitas imanku dan lingkunganku?
In hoc cognoscent omnes quia mei discipuli estis: si dilectionem habueritis ad invicem – Ionannem 13:35