Home BERITA Lectio Divina 15.10.2023 – Berdandan Pantas untuk Pesta-Nya

Lectio Divina 15.10.2023 – Berdandan Pantas untuk Pesta-Nya

0
Ilustrasi: Tetamu di pesta perkawinan, by Pieter Breughel the Elder, 1525-1569

Hari Minggu Biasa XXVIII (H)

  • Yes. 25:6-10a
  • Mzm. 23:1-3a,3b -4,5,6
  • Flp. 4:12-14,19-20

Lectio (Mat. 22:1-14)

Meditatio-Exegese

Tuhan semesta alam akan menyediakan suatu perjamuan

Di Gunung Sion Tuhan menyediakan perjamuan dengan masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua benar. Sang nabi menyingkapkan simbol bahwa Allah menyediakan perjamuan ilahi yang mengatasi segala yang dapat dibayangkan manusia.

Dalam tradisi Kitab Suci Nabi Yesaya mempralambangkan Perjamuan Ekaristi, yang ditetapkan Yesus di Yerusalem pada malam sebelum Ia diserahan ke tangan manusia. Ia menyediakan santapan surgawi, roti para malaikat, panis angelicus, Tubuh dan Darah-Nya sendiri, yang menguatkan jiwa dan menjamin kemenangan abadi.

Tubuh dan Darah-Nya mengawali pesta abadi di akhir zaman, Pesta Perkawinan Anak Domba. Santo Yohanes bersaksi, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba” (Why. 19:9).

Merayakan Perjamuan Ekaristis selalu mengenang akan Kristus, yang dibangkitkan dan naik ke surga. Komunitas Kristiani selalu menantikan kedatangan Sang Penyelamat, Yesus Kristus dengan penuh harap dan sukacita. 

Santo Yohanes Maria Vianney menulis, “Perjamuan itu merupakan jaminan bagi kita; memastikan bagi kita suatu tempat di surga; jaminan bahwa suatu hari kelak surga akan menjadi rumah kita.

Terlebih, Yesus Kristus akan membangkitkan tubuh kita dalam kemuliaan, sesuai dengan seberapa sering kita dan layak kita menyambut TubuhNya dalam Komuni Kudus.” (Sermon on Holy Communion).

Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya

Maut tidak hanya menjadi pralambang kehancuran Israel. Umat dari Perjanjian Sinai, Kerajaan Israel di Utara dan Kerajaan Selatan di  Yudea, melupakan kewajiban mereka terhadap Allah.

Mereka tidak hanya menyembah berhala, para ilah palsu. Tetapi juga mengabaikan orang miskin dan melakukan kejahatan terhadap mereka.

Allah melepas tangan-Nya dan tidak melindungi kedua kerajaan itu, ketika penguasa Babel menghancurkan kedua kerajaan itu dan meluluh lantakkan Bait Allah yang dibangun Salomo. Penghancuran terjadi pada tahun 587 atau 586 SM. Kelak, sisa-sisa umat dari kedua kerajaan itu kembali ke Palestina dan berbalik kepada Allah.

Santo Paulus mengungkapkan suka cita atas kebangkitan Kristus, karena Ia mengalahkan maut dan dosa secara definitif, hingga tidak berkuasa lagi (1Kor. 15:54-56). Santo Yohanes bersaksi bahwa keselamatan ditandai dengan kebangkitan Anak Domba, yang membawa suka cita dan menghapus kesedihan.

Inilah kesaksiannya, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why. 21: 4; lih. Why. 17:7).

Gereja juga mengungkapkan harapan yang sama akan kepenuhan suka cita kemenangan atas maut. Mereka yang  telah meninggal pun bersuka cita dan mengharapkan Kerajaan-Nya.

“Pada waktu itu Engkau menghapus setiap tetes air mata kami karena dengan memandang Engkau, ya Bapa, kami akan serupa dengan Dikau sepanjang masa dan tak henti-hentinya memuji Dikau.” (Ekaristi Arwah, Doa Syukur Agung III).

Saat keselamatan yang dirindukan datang, semua bersuka cita dan memuji Allah karena Ia selalu setia akan janji-Nya; Ia juga memulihkan dan menjadi tempat pengungsian kaum miskin dan yang merindukan-Nya (Yes. 26:1-6).  

Seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya

Yesus mengemukakan perumpamaan ketiga dalam perdebatannya dengan para imam kepala, kaum Farisi dan tetua orang Yahudi (Mat 21:45). Ia berbicara tentang Kerajaan Allah dan pengajaran tentang penghakiman di akhir jaman.

Ia telah memaparkan perumpamaan tentang Kerajaan Allah sebanyak delapan kali, dengan memulai sabda, “Hal Kerajaan Surga itu seumpama…” (Lih. Mat. 13:24.31.33.44.45.47. dan 52).

Dalam perumpamaan ini tentang perjamuan kawin (Mat. 22:4), Santo Matius menggunakan ungkapan αριστον, ariston, yang bermakna : makan siang. Biasanya orang akan makan paling banyak pada kesempatan ini. Pada masa itu, pesta perkawinan dilaksananakan selama tujuh hari (Kej. 29:27; Hak. 14:12).

Dengan sangat canggih Santo Matius mempersiapkan unsur perumpamaan tentang perjamuan kawin dalam perumpamaan terdahulu yang bermakna simbolik. Para penggarap kebun anggur menganiaya utusan sang pemilik (Mat. 21:33-41).

Dalam perumpamaan gandum dan lalang, lalang dibiarkan tumbuh sampai waktu panen tiba, saat penghakiman terakhir (Mat. 13:24-30.36-43). Akhirnya, dalam perumpamaan tentang pukat, berkumpullah semua ikan yang baik dan jelek dalam satu jala, Gereja (Mat. 13:47-50).

Sang raja adalah Allah dan sang mempelai adalah Yesus. Undangan untuk menghadiri jamuan kawin adalah undangan untuk ambil bagian dalam perjanjian atau persatuan mesra dengan-Nya. Persatuan mesra dengan Allah sering dilambangkan sebagai perkawinan.

Saat Ia mengundang untuk menghadiri pesta perkawinan, Ia mengundang sebanyak tiga kali. Sang raja murka karena undangan pesta pekawinan anaknya ditolak. Bahkan para utusan yang menyebarkan undangan itu mengalami pembiaran, penolakan, penganiayaan atau pembunuhan (Mat. 22:5).

Para sahabatnya memiliki banyak sekali dalih untuk melecehkan undangan dan utusannya. Penolakan ini mengingatkan atas perilaku umat yang menghayati perjanjian pertama, Perjanjian Sinai. Mereka menolak tawaran undangan keselamatan dari Allah, bahkan membunuh para utusan Allah (bdk. Mat. 22:34-35).

Memang, masyarakat Yahudi boleh menolak undangan, tetapi dibatasi hanya untuk tiga alasan : pendirian rumah baru, pembuatan kebun anggur baru dan pertunangan dan perkawinan  (Ul. 20:5-7). Konsekuensi dari penolakan itu adalah penghancuran (Mat. 22: 7).

Sepertinya, penghancuran kota-kota ini merupakan nubuat akan kehancuran Yerusalem kelak dan pralambang pengadilan terakhir. Tentang penghancuran Yerusalem pada tahun 70, sejarahwan dan saksi mata penghancuran Bait Allah, Flavius Josephus, melaporkan bahwa ratusan imam yang mengungsi di dalam bangunan megah itu, mati dibakar.

Semua hangus, tak bersisa. Tiada yang selamat. Mulai saat itulah Bait Allah tidak berfungsi lagi dan tidak mungkin dibangun kembali.

Lebih lanjut, Flavius Josephus melaporkan tentara Romawi yang menang perang itu menaikkan bendera kemenangan tinggi-tinggi di menara-menara, berpesta pora atas kemenangan yang diperoleh, seolah tanpa pertumpahan darah. Tapi begitu masuk ke kota Yerusalem mereka seolah ragu karena sunyi.

Dengan pedang terhunus mereka menyusuri jalan-jalan kota. Setiap orang yang mereka temui dibunuh tanpa belas kasihan. Rumah-rumah dan penghuninya dibakar habis tanpa sisa.

Mereka juga menemukan rumah-rumah yang dipenuhi korban kelaparan karena pengepungan. Prajurit yang menyaksikan kematian itu lari dengan wajah penuh ketakutan (bdk. The Wars of the Jews, Book 6, Chapter 8).

Sang raja ternyata tidak membatalkan pesta perkawinan anaknya. Maka, ia mengundang orang asing, orang baik dan orang jahat yang ditemukan di jalanan. Semua diundang untuk datang berkumpul dalam pesta atau pukatnya (bdk.  Mat. 13:47-48).

Undangan ini adalah anugerah yang harus diterima. Sabda-Nya (Mat. 22:9), “Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu.”, ite ergo ad exitus viarum, et quoscumque inveneritis, vocate ad nuptias.

Ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta

Sang raja mengundang semua orang. Akan tetapi, sang raja mendapati tamu tanpa pakaian pantas. Orang macam ini memang beriman dan selalu berseru, “Tuhan! Tuhan!” tetapi, ternyata hatinya jauh dari Allah.

Ia hanya taat mengikuti hukum najis atau halal. Ia melupakan kasih. Yang dipilih Allah untuk ambil bagian dalam perjamuan kawin adalah ia yang melakukan kasih (bdk. 1Kor. 13:1-3).

Ia mengabaikan waktu yang harus dimanfaatkan untuk menumbuh kembangkan iman, melaksanakan kasih dan memulihkan relasi dengan Allah dan sesama melalui Sakramen Rekonsilisasi (Pengampunan) (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 162, 2016).

Anggota jemaat, sekali pun ia kenal nama Yesus, bila abai dalam menyongsong kehadiran-Nya, pasti ditolak. Karena ditolak masuk dalam perjamuan kawin untuk anak sang raja, orang yang tidak pantas dimasukkan “ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Mrk. 22: 13).

Tentang tempat itu, Gereja mengajarkan: “Yesus beberapa kali berbicara tentang ‘gehenna’, yakni ‘api yang tidak terpadamkan’ (bdk. Mat. 5:22.29; 13:42.50; Mrk. 9:43-48), yang ditentukan untuk mereka, yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat, tempat jiwa dan badan sekaligus dapat lenyap (bdk. Mat 10:28).

Dengan pedas, Yesus menyampaikan bahwa Ia akan “menyuruh malaikat-malaikat-Nya”, yang akan mengumpulkan semua orang, yang telah menyesatkan orang lain dan telah melanggar perintah Allah, dan… mencampakkan mereka ke dalam dapur api; di sanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi.” (Mat 13:41-42),

dan bahwa Ia akan mengucapkan keputusan pengutukan, “Enyahlah daripadaKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal.” (Mat. 25:41).” (Katekismus Gereja Katolik, 1034).

Allah tidak pernah menghendaki manusia binasa dan mengundang setiap manusia untuk keselamatan. Bahkan Ia mengutus Anak-Nya, Yesus Kristus, dan telah menganugerahkan segala yang dibutuhkan untuk keselamatan, yakni : Sakremen.

Maka, pilihan sekarang ada di pihak manusia: Allah atau mati. Kepada Timotius dan seluruh anggota Gereja, Santo Paulus membesarkan hati umat untuk selalu memilih Allah.

Kata Rasul agung itu (1Tim. 2:3-4), “Hal ini baik dan berkenan di hadapan Allah, Juru Selamat kita, yang menghendaki semua orang diselamatkan dan sampai kepada pengetahuan akan kebenaran.”, Hoc bonum est et acceptum coram salvatore nostro Deo, qui omnes homines vult salvos fieri et ad agnitionem veritatis venire.

Katekese

Tamu tanpa pakaian pesta. Santo Yohanes Chrysostomus,  347-407.

“Kamu telah datang ke rumah pesta perkawinan, Gereja kita yang suci, karena kebaikan hati Allah, waspadalah, sahabatku, karena ketika Sang Raja masuk, Ia mendapati kesalahan yang terkait dengan  pakaian hati kita. 

Kita pertimbangkan apa yang akan datang dengan hati penuh rasa gentar. Tetapi Sang Raja akan menyapa para tamu dan mendapati seseorang tidak mengenakan pakaian pesta.

Rekan-rekan terkasih, apa yang dimaksud dengan pakaian pesta? Karena kalau kita sebut sebagai pembaptisan atau iman, adakah yang masuk dalam pesta kawin itu tanpa pembaptisan/iman? 

Seseorang adalah orang luar karena ia belum percaya. Apa yang kita maksud dengan pakaian pesta, kalau bukan kasih?

Orang itu masuk ke pesta perkawinan, tetapi tanpa mengenakan pakaian pesta. Inilah dia yang datang ke Gereja yang kudus.  Ia mungkin memiliki iman, tetapi ia tidak memiliki kasih.

Benarlah  kita ketika menyebut bahwa kasih adalah pakai pesta. Karena kasih inilah yang dimiliki Sang Pencipta ketika Ia datang ke pesta perkawinan itu untuk menyatukan Gereja dengan diri-Nya sendiri. 

Hanya kasih Allah yang dikaruniakan agar Putera-Nya yang terkasih menyatukan seluruh hati manusia yang terpilih dengan diri-Nya. Santo Yohanes berkata bahwa “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal.” (Yoh. 3:16).” (Forty Gospel Homilies 38.9).

Oratio-Missio

Tuhan, semoga aku selalu hidup pantas di hadapan-Mu dan tuntunlah aku selalu mengasihi-Mu dan sesamaku. Kelak, perkenankanlah aku memandang wajah-Mu dalam perjamuan abadi. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk menjawab pertanyaan-Nya, “Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?”

Amice, quomodo huc intrasti, non habens vestem nuptialem? – Matthaeum 22:13

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version