Rabu. Minggu Biasa XXVIII, Hari Biasa (H)
- Gal 5:18-25
- Mzm 1:1-2.3.4.6
- Luk 11:42-46
Lectio
42 “Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.
43 Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar. 44 Celakalah kamu, sebab kamu sama seperti kubur yang tidak memakai tanda; orang-orang yang berjalan di atasnya, tidak mengetahuinya.”
45 Seorang dari antara ahli-ahli Taurat itu menjawab dan berkata kepada-Nya: “Guru, dengan berkata demikian, Engkau menghina kami juga.”
46 Tetapi Ia menjawab: “Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.”
Meditatio-Exegese
Kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh
Orang bisa kelihatan saleh dengan memenuhi perintah agama, Hukum Taurat, misalnya: sembahyang lima kali sehari, berpuasa di hari tertentu, mencuci kaki sebelum masuk rumah, membayar perpuluhan, tidak berzinah. Tetapi, semua itu tidak bermakna dan tidak menjamin keselamatan dan hidup kekal.
Ungkapan ‘hidup di bawah hukum Taurat’ (Gal. 5:18) searti dengan ‘menuruti keinginan daging’ atau ‘tidak dipimpin Roh Allah”. Sejak kejatuhan Adam dan Hawa manusia dikuasai kecenderungan untuk melawan Allah dan menentang segala yang mulia yang bergema dalam hati.
Augustinus dari Hippo menekankan, “Orang yang hidup menurut keinginan daging hanya hidup untuk dirinya sendiri. Maka, ungkapan ‘daging’ bermakna seluruh pribadi orang. Karena segala yang berasal dari cinta yang tak teratur pada diri sendiri disebut sebagai pekerjaan daging.” (The City of God, 14, 2).
Paulus menunjukkan cara hidup yang mengikuti keinginan daging, yakni: cara hidup yang berpusat pada diri sendiri, hedonistik dan individualistik. Ia mendaftar lima belas kekuatan destruktif yang memisahkan orang dari Allah, sesama, dirinya sendiri dan alam semesta.
Daftar yang dibuat Paulus dapat diperpanjang: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (bdk. Gal. 5:19-21).
Keinginan daging dapat digolongkan tidak hanya menjadi dosa melawan kemurnian – percabulan, kecemaran, hawa nafsu (Gal. 5:19) dan dosa melawan pengendalian diri – kedengkian, kemabukan, pesta pora (Gal. 5:21); tetapi juga dosa melawan keutamaan dan kasih – penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah (Gal. 5:20).
Maka, Paulus meminta umat yang dibinanya (Gal. 5:18), “Jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat.”, Quod si Spiritu ducimini, non estis sub lege.
Paulus telah mendesak umat Galatia, “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” (Gal. 5:16). Di tempat lain, kepada umat di Roma, ia meminta, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” (Rm. 8:14).
Pribadi yang hidup dalam Roh dan Kristus berperilaku dengan cara yang sama sekali berbeda dengan yang hidup dalam daging. Kehadiran dan kuasa Roh memampukannya untuk menghasil buah Roh.
Paulus menulis, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal. 5:22-23). Tak ada hukum yang melawan nilai-nilai itu.
Tidak mudah bagi tiap pribadi untuk membongkar keinginan daging dari lubuk hati dan menghasilkan buah Roh atau buah pertobatan. Ia harus berjuang tiada henti, terus menerus, hingga kematian menjemput. Tetapi, ia tidak sendiri, disertai rahmat Yesus Kristus.
Dengan menegaskan ajaran Konsili Trente (DS 1515), Gereja mengajar, “Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati].
Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, “siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota.” (2 Tim 2:5).” (Katekismus Gereja Katolik, 1264).
Hai, kamu orang-orang Farisi
Kaum Farisi merujuk pada orang yang memisahkan diri dari Yudas Makabe dan para Hasidim. Kaum Hasidim muncul pada pertengahan abad ke-2 sebelum Masehi, karena penentangan atas helenisasi atau pemaksaan budaya Yunani terhadap kaum Yahudi oleh penguasa asing.
Kata hasidim berasal dari kata Aram hasa, bermakna: saleh. Kaum Hasidim sangat taat dan hormat pada Taurat dan adat-istiadat Yahudi. Terlebih, mereka berjuang demi kemerdekaan untuk memeluk dan menjalankan peraturan agama.
Kata ‘farisi’, φαρισαιοις, pharisaios, bermakna orang yang ‘memisahkan diri’ dari pengajaran bangsa non Yahudi, karena dianggap mencemari tradisi Yahudi (lih. 1Mak. 1:11; 2Mak. 4:14). Di masa penganiayaan Raja Antiokhus, kaum Farisi tampil mempertahankan agama dan tradisi Yahudi.
Banyak di antara mereka menjadi martir (1Mak. 1:41). Maka, sekte Farisi sering dikenal dengan nama sekte puritan Yahudi, sehingga menjadi kelas terpandang pada masa Yesus. Kaum ini juga percaya akan kebangkitan badan (lih. Kis. 23:6).
Farisi juga bermakna orang yang terpisah dari umat kebanyakan karena pengetahuan akan hukum Taurat dan Kitab Suci. Kelompok keagamaan, yang muncul sekitar tahun 135 SM, berkeyakinan bahwa seluruh hukum dapat dilaksanakan secara rinci dengan memperhatikan apa yang tertulis dalam Taurat dan penafsiran sesuai dengan situasi konkrit.
Maka, mereka menuntut penafsiran dan pelaksanaan paling keras tentang Sabat, kebersihan ritual atau ketahiran, dan persepuluhan. Golongan yang sangat nasionalis ini justru menjadi penjaga kemurnian adat istiadat Yahudi.
Mereka merindukan kemerdekaan dari penjajahan, tetapi tidak dengan cara angkat senjata.
Golongan inilah yang menyelamatkan Agama Yahudi dari penghancuran bala tentara Romawi pada tahun 70. Mereka tekun membangun komunitas-komunitas di Palestina dan kota-kota lain di seantero kekaisaran Romawi.
Sejak rata dengan tanah, ibadat dan korban bakaran tidak dapat lagi dilakukan di Bait Allah. Mereka berhasil menggantikan ibadat dan korban dengan pembacaan sabda yang termaktub dalam Kitab Suci di sinagoga.
Flavius Josephus, sejarahwan Yahudi dari golongan Farisi, mendeskripsikan bahwa kaum Farisi, walau berasal dari kaum awam, mewariskan kepada umat begitu banyak praktek keagamaan yang tidak tertulis dalam hukum Musa yang mereka warisi dari para leluhur.
Berbeda dengan kaum Saduki yang hanya terdiri dari segelintir kaum kaya, kaum Farisi mampu mempengaruhi orang banyak di mana-mana (Antiquities of the Jews, 13.10.6).
Relasi orang Kristen dengan beberapa orang Farisi sebenarnya sangat baik. Mereka mengingatkan Yesus akan ancaman dari Herodes Antipas (Luk. 13:31). Gamaliel yang membela para rasul di hadapan Mahkamah Agama (Kis. 5:26-40).
Dikisahkan pula orang Farisi siap menerima iman Kristen (Kis. 15:5) dan gigih membela Paulus (Kis. 23:9). Bahkan, salah satu tokoh besar kekristenan, Paulus, bangga sebagai Farisi (Flp. 3:5).
Celakalah kamu
Yesus tidak menghendaki legalisme dalam menjalin relasi dengan Allah. Yesus menolak praktik keagamaan yang abai terhadap keadilan. Di balik praktik yang saleh, ternyata tersembunyi kerakusan. Misalnya: membayar persepuluhan hanya untuk hasil bumi yang seharusnya tidak dipanen, karena itu menjadi hak kaum miskin (Ul. 14:22; Im. 27:30).
Yesus mengecam praktik kesalehan yang didorong oleh hasrat untuk dikagumi atau dikenal. Kesalehan ini dilakuan melalui penguasaan ilmu keagamaan atau tanda heran, seolah-olah Allah berkenan padanya. Tetapi, di balik hasrat itu, tersembunyi kerakusan akan uang.
Yesus bersabda (Luk. 16:15), “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.”, Vos estis, qui iustificatis vos coram hominibus; Deus autem novit corda vestra, quia, quod hominibus altum est, abominatio est ante Deum.
Yesus menolak cara hidup yang seolah tanpa cela, tetapi di dalam hati menyembunyikan cara hidup menurut daging, yaitu percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (bdk. Mat. 15:18; Gal 5:19-21).
Mentalitas ini lebih najis dari pada menyentuh jenasah atau nisan yang tak dikenal (bdk. Bil. 19:16). Tiap murid harus menghindari mentalitas ini, karena merusak hidup secara perlahan, seperti ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi (Luk. 12:1).
Yesus mempersalahkan ahli Kitab karena dengan pengetahuan mereka menjauhkan orang dari penghayatan iman yang benar. Pengetahuan, kebijaksanaan dan bimbingan tidak boleh digunakan untuk menyesatkan anak kecil, yaitu mereka yang hidup bergantung pada Allah (Mat. 18:6; Mrk. 9:42).
Maka, Ia bersabda (Luk. 11:46), “Celakalah kamu juga, hai Ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.”, Et vobis legis peritis: Vae, quia oneratis homines oneribus, quae portari non possunt, et ipsi uno digito vestro non tangitis sarcinas.
Katekese
Meletakkan beban berat pada sesama. Origenes dari Alexandria, bapa Gereja, 185-254:
“Sama seperti Ahli Taurat dan kaum Farisi yang dengan pongah menduduki kursi Musa, demikian juga beberapa orang tertetu di gereja menduduki kursi kegembalaan. Ada sementara orang di gereja yang memahami hukum dan menyampaikannya dengan tepat.
Mereka menyampaikan apa yang harus dilakukan setiap orang, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Beberapa lainnya meletakkan beban berat pada bahu sesamanya, tetapi tidak mau menyentuh dengan ujung jarinya untuk membantu.
Orang-orang seperti inilah yang dibicarakan Sang Penebus ketika bersabda, “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga.” (Mat. 5:19).
Namun, ada orang lain, yang duduk di kursi kegembalaan, yang melakukan perintah Taurat sebelum bicara dan mengajarkan dengan bijaksana. Mereka mencegah orang untuk berlaku serong.
Mereka menempatkan beban yang penuh belas kasih di pundak sesama. Merekalah yang mengangkat beban pertama, sebagai pesan bagi pendengarnya.
Inilah orang-orang yang dibicarakan-Nya ketika Ia bersabda, “tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga.” (Commentary On Matthew 9).
Oratio-Missio
Tuhan, bebaskanlah hatiku dari kecenderungan untuk memeintingkan diriku sendiri, sehingga aku menjadi tertutup terhadap kebaikan, belas kasih dan kelembutan bagi setiap orang yang kukenal dan kujumpai. Amin.
- Apa yang perlu aku buat untuk hidup sesuai sabda-Nya dan tidak mengikuti keinginan daging?
Et vobis legis peritis: Vae, quia oneratis homines oneribus, quae portari non possunt, et ipsi uno digito vestro non tangitis sarcinas. – Lucam 11:46