Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Lectio Divina 16.8.2024 – Anugerah-Nya: Selibat dan Perkawinan

Lectio Divina 16.8.2024 – Anugerah-Nya: Selibat dan Perkawinan

0
Mereka bukan lagi dua, by Vatican News

Jumat. Minggu Biasa XIX, Hari Biasa (H)

  • Yeh. 16:1-15.60.63 atau Yeh. 16:59-63
  • Mazmur Tanggapan Yes. 12:2-3.4bcd.5-6
  • Mat. 19:3-12

Lectio

3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” 4 Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?

5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

7 Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” 8 Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” 10  Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”

11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. 12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat.

Meditatio-Exegese

Aku akan meneguhkan bagimu perjanjian yang kekal

Yang pertama kali menggunakan metafora ketidaksetiaan istri untuk mengadili ketidaksetiaan Israel pada Allah adalah Nabi Hosea. Selanjurnya, Nabi Yeremia menggunakan perkawinan untuk melukiskan kesetiaan Allah pada Perjanjian-Nya dan bagaimana Israel melanggar Perjanjian dengan-Nya (Yer. 2:2).

Nabi Yehezkiel mengembangkan lebih lanjut metafora dari kedua nabi terdahulu dan diterapkan untuk Yerusalem. Sebelum ditaklukkan Daud pada 1070 sebelum Masehi, kota itu berada di genggaman tangan orang Kanaan, yang mencakup suku Amori, Semit ( bdk. Bil. 21:13), dan Het dari Asia Kecil (bdk. Kej. 23:16).

Maka, asal-usul itu digunakan sang nabi untuk menjelaskan kualitas dan martabatnya yang rendah. Menggunakan cara perawatan bayi jaman kuna, nabi melukiskan Yerusalem, umat-Nya, dengan penanda yang sangat buruk: asal usul dari bangsa asing, tali pusat tidak dipotong, tidak dibasuh dengan air bersih dan dibedung kain lampin, dibuang di ladang dan diabaikan orang (Yeh. 16:1-5).

Umat-Nya, Yerusalem, menjadi cantik dan elok bukan karena jasanya sendiri. Allah menyelamatkan, membasuh luka dan membersihkan darah,  dan mendandaninya sehingga ia layak menjadi ratu dan termasyhur di antara bangsa-bangsa (Yeh. 16:9-15).

Sayang, umat pilihan-Nya memilih jalan serong, merusak relasi kasih yang dibangun Allah dengan perilaku seperti pelacur, isteri yang mengkhianati suami (Yeh. 16:15 bdk. Hos. 2:18-25; Yer. 2:2-3). Umat, Yerusalem, mengambil prakarsa: saat masih mengenakan segala perhiasan yang dianugerahkan Allah, ia menawarkan diri pada kekasih yang baru, yakni para ilah, dewa-dewa asing (Yeh. 16:33). Ia melakukannya pada Mesir (Yeh. 16:26), Asyur (Yeh. 16:28) dan Babel (Yeh. 16:29).

Santo Ephraem membandingkan perilaku Puteri Sion, Yerusalem pada Yesus, dengan apa yang dilakukan Allah padanya. Tulis orang kudus dari Nisibi, “Putri Sion tidak membalas Tuhan atas karunia yang diterimanya dari kemurahan hati-Nya.

Bapa membersihkan luka dan dosanya dengan darah-Nya; ia membasahi Putera-Nya dengan ludah. Ia mendandaninya dengan jubah ungu para raja; ia membungkus-Nya dengan kain yang ditenun dari olok-olok dan penghinaan. Ia memahkotainya dengan kemuliaan; ia memahkotai-Nya dengan duri.

Ia memberinya susu dan madu untuk dimakan; ia memberi-Nya empedu untuk diminum. Ia menuangkan anggur murni untuknya; ia memberi-Nya bunga karang yang dicelupkan pada anggur asam.

Ia menyambutnya di kota-kotanya; ia mengusir-Nya ke padang gurun. Ia memakaikan sandal pada kakinya; ia membuat-Nya tertatih-tatih tanpa alas kaki menuju Golgota. Ia memberinya hiasan safir untuk dikenakan di dadanya; ia menusuk lambung-Nya dengan tombak.

Walau ia menganiaya pelayan-pelayan Tuhan dan membunuh para nabi, dan menanggung pembuangan di Babel sebagai hukuman, Ia membawanya pulang agar hidup merdeka saat hari hukumannya berakhir.” (Commentarii in Diatessaron, 18, 1).

Walau terus menerus dikhianati, Allah tidak pernah berhenti mengasihi umat-Nya. Ia terus menerus mengingat perjanjian-Nya dan meneguhkan dengan perjanjian kekal.

Sabda-Nya (Yeh. 16:60), “Tetapi Aku akan mengingat perjanjian-Ku dengan engkau pada masa mudamu dan Aku akan meneguhkan bagimu perjanjian yang kekal.”, Et recordabor ego pacti mei tecum in diebus adulescentiae tuae et suscitabo tibi pactum sempiternum.

Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?

Yesus selalu dicobai bukan hanya oleh setan, tetapi juga para pemimpin, seperti kaum Farisi. Digunakan kataπειραζοντες, peirazontes, dari kata peirazo: mencobai, menguji. Kata ini juga digunakan ketika setan mencobai Yesus di gurun (Mat. 4:1-11).

Kaum Farisi bekerja keras untuk menjelekkan atau menjatuhkan namaNya di muka umum (Mat. 12:13; Luk. 11:52-53). Sebenarnya yang mereka lakukan sangat ganjil. Seharusnya mereka berusaha untuk melakukan rencana keselamatan Allah, tetapi justru melakukan rancangan setani.

Kaum Farisi berharap Yesus melakukan kesalahan, sehingga mereka dapat merekayasa tindakan untuk melawan-Nya. Jika Ia menolak perceraian dengan alasan apa pun, mereka berharap dapat menempatkan Yesus dalam posisi seperti Yohanes Pembaptis. 

Yohanes dihukum mati karena mengecam Herodes Antipas yang mengawini isteri saudaranya, Filipus. Atau, jika Ia membolehkan perceraian tanpa pembatasan, mereka dapat menuduh-Nya seperti orang kafir yang membolehkan perceraian tanpa batasan.

Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia

Yesus mengutip dari Kitab Kejadian untuk mendefinisikan perkawinan antara Adam dan Hawa serta keturunan mereka. Mereka diciptakan secitra dengan Allah (Kej. 1:26-27).

Kemudian, “Lalu berkatalah manusia itu, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:24).

Dengan cara ini, Yesus menyingkapkan kehendak Allah dan apa yang diharapkan dari perkawinan: dua orang yang berbeda jenis kelamin melaksanakan pekawinan yang tak terceraikan, sehingga mereka menjadi satu daging.

Gambaran ideal ini ditemukan pada perkawinan Adam dan Hawa. Adam diciptakan demi Hawa dan sebaliknya, bukan untuk yang lain. Mereka adalah model dan simbol atas perkawinan yang akan datang.

Yesus menyatakan juga bahwa perceraian yang diijinkan Musa, pada dasarnya, bukanlan perintah, seperti yang ditafsirkan para Farisi dan ahli Taurat. Ijin yang diberikan Musa disebabkan oleh sikap batin bangsa yang tegar tengkuk, tidak setia pada perjanjian dengan Allah.

Perkawinan yang tak terceraikan dipandang berat oleh para murid. Tetapi, kehadiranNya di perjamuan kawin di Kana memberi jaminan bahwa Ia akan selalu hadir dalam setiap perkawinan dan perkawinan menjadi tanda kehadiranNya (bdk. Yoh 2:1-11; Katekismus Gereja Katolik, 1613).

Gereja mengajar dalam: “Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan dengan jelas arti asli dari persatuan pria dan wanita, seperti yang dikehendaki Pencipta sejak permulaan; izin yang diberikan oleh Musa untuk menceraikan isteri adalah suatu penyesuaian terhadap ketegaran hati (bdk. Mat 19:8).

Kesatuan perkawinan antara pria dan wanita tidak tercerai – Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6)” (dikutip dari Katekismus Gereja Katolik, 1614).

Santo Yohanes Chrysostomus, 347-407, menulis, “Yesus menyingkapkan hal yang sangat menakutkan untuk merusak hukum ini. Ketika menetapkan hukum ini, Ia tidak bersabda, “Karena itu, jangan memisahkan atau menceraikan” tetapi ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. 

Jika kamu mengutip Musa, Aku akan mengutip Allah, yang diimani Musa; dan bersama-Nya, Aku selalu kuat. Karena, sejak awal mula penciptaan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Inilah hukum yang berlaku sejak jaman kuna, bahkan jika tampaknya manusia baru saja menemukannya.

Hukum ini tetap teguh. Dan Allah tidak hanya membawa perempuan kepada suaminya,  tetapi juga memerintahkannya untuk meninggalkan ayah dan ibunya. Ia juga tidak hanya memerintahkan laki-laki untuk pergi kepada perempuan itu, tetapi juga mengikatkan diri padanya.

Dengan cara ini, Ia menyingkapkan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan atau diceraikan. Bahkan, Allah pun tidak puas dengan perintah yang sabdakan-Nya, karena Ia masih meminta mereka mencari persatuan yang lebih luhur lagi: ‘karena keduanya itu menjadi satu daging’.” (The Gospel Of Matthew, Homily 62.1)

Dan ada pula yang memilih sendiri untuk tidak kawin, supaya dapat melayani Allah.

Selibat dan perkawinan sangat diperlukan untuk pertumbuhan Gereja. Masing-masing memiliki panggilan yang unik dari-Nya.

Santo Yohanes Paulus II mengajarkan, “Selibat pasti merupakan anugerah Roh Kudus. Anugerah yang serupa walau berbeda terkandung dalam panggilan untuk kasih setia dan benar dalam perkawinan, yang diarahkan untuk penciptaan manusia baru/prokreasi sesuai dengan kodrat manusiawi, tepatnya dalam konteks Sakramen Perkawinan.

Jelaslah bahwa anugerah ini sangat penting bagi perkembangan komunitas Gereja, umat Allah. Tetapi, bila komunitas ini menghendaki untuk menanggapi dengan sepenuhnya panggilan pada Kristus, haruslah disadari, dengan kesadaran yang tepat, akan anugerah hidup selibat ‘demi Kerajaan Allah’.” (Letter To All Priests, 1979).

Katekese

Diapanggil Untuk Sakramen Perkawinan. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang:

“Sakramen perkawinan bukan sekadar kesepakatan sosial, ritual kosong atau hanya tanda lahiriah dari suatu perjanjian. Sakramen adalah hadiah yang diberikan untuk pengudusan dan keselamatan pasangan, karena “bahwa mereka saling memiliki, secara nyatamenghadirkan hubungan Kristus sendiri dengan Gereja melalui lambang sakramental. 

Maka, suami-isteri terus-menerus mengingatkan Gereja akan kejadian di kayu salib. Antara mereka sendiri dan bagi anak-anak, suami-isteri bersaksi tentang keselamatan, yang mereka terima berkat Sakramen.” (Yohanes Paulus II,  Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, 94)

Perkawinan adalah suatu panggilan karena merupakan jawaban terhadap panggilan khusus untuk menghayati kasih suami-isteri sebagai tanda belum sempurna cinta antara Kristus dan Gereja.

Dengan demikian, keputusan untuk menikah dan membentuk keluarga harus menjadi buah dari suatu pertimbangan panggilan.” (Seruan Apostolik Amoris Laetitia, 72).

Oratio-Missio

Tuhan, panggilanMu untuk hidup suci meresapi seluruh hidupku. Sucikanlah hidup kami – baik yang membangun keluarga maupun menghayati hidup bakti – agar kami menghayati hidup sebagai insan yang disucikan untuk-Mu. Jadikanlah kami ragi dalam masyarakat yang kurang menghargai kesetiaan dalam perkawinan atau  kaul-kaul yang kami ucapkan. Amin.     

  • Apakah melalui cara hidupku sekarang – menikah atau selibat, aku sungguh menghadirkan Kristus?

Quod ergo Deus coniunxit, homo non separet – Matthaeum 19:6

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version