Home BERITA Lectio Divina 17.08.2023 – Berikan pada Allah Hak Allah

Lectio Divina 17.08.2023 – Berikan pada Allah Hak Allah

0
Dinar Kaisar Tiberius, by wikimedia

Kamis. Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia (P)

  • Sir. 10:1-8
  • Mzm. 101:1a.2ac.3a.6-7
  • 1Ptr.2:13-17
  • Mat. 22:15-21

Lectio (Mat. 22:15-21)

Meditatio-Exegese

Pemerintah yang bijak dan teratur

Kerajaan, kekaisaran atau negara timbul dan tenggelam seiring jaman. Yang bertahan hanya sistem pemerintahan yang diatur berdasarkan prinsip keadilan dan bijaksana pasti bertahan. Sedangkan, yang korup, eksploitatif dan menindas pasti hancur.

Kitab Putera Sirakh membandingkan kedua sistem pemerintahan itu kira-kira pada abad ke-2 sebelum Masehi. Pemerintah yang baik harus menjamin kesejahteraan umum atau mempertahankan ketertiban dan keteraturan pada rakyatnya.

Dan di antara rakyat, hendaklah tercipta suasana rekonsiliatif, “Hendaklah engkau tidak pernah menaruh benci kepada sesamamu apapun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu.”

Dan setiap orang, termasuk mereka yang dipercaya memegang pemerintahan, hendaklah hidup sederhana. Putera Sirakh mengingatkan bahwa akar segala dosa adalah kesombongan. Dari kesombongan muncul kelaliman, kekerasan dan nafsu akan uang, serakah.

Kehancuran suatu rejim terjadi saat pemegang mandat rakyat hidup dalam kesombongan, hedonistik dan koruptif. Seolah-olah mereka adalah pusat dunia. Sepertinya merekalah penentu dunia.

Para pemimpin atau rakyat yang sombong sering melupakan apa yang dibenci Tuhan. “Kecongkakan dibenci oleh Tuhan maupun oleh manusia, dan bagi kedua-duanya kelaliman adalah salah.” (Sir. 10:7).

Pemerintahan juga bisa hancur bila para pengelola bertindak dengan cara pemaksaan, kesewenang-wenangan dan melanggar hak asasi. Pejabat yang korup, suka makan uang dan suap dan pihak lain yang memanfaatkan segala cara haram untuk mereguk kuasa dan uang ambil bagian dalam proses penghancuran.

Putera Sirakh mengingatkan, “Pemerintahan beralih dari bangsa yang satu kepada bangsa yang lain akibat kelaliman, kekerasan dan uang.” Regnum a gente in gentem transfertur propter iniustitias et contumelias et divitias dolosas.

Seruan ini selalu bergema sepanjang sejarah. Mudah disaksikan kebenarannya dalam skandal yang merugikan kepentingan umum.

Orang-orang Farisi menyuruh murid mereka dan orang Herodian

Oran Farisi dan Herodian tak kenal lelah mencoba menjebak Yesus supaya mereka punya alasan untuk menghukum-Nya. Kedua kelompok itu menghendaki pemenjaraan atau kematian Yesus.

Orang Herodian selalu setia pada Herodes Agung,  yang lahir di Askalon dan pendiri wangsa Herodian. Mereka memihak pada kekaisaran Romawi. Herodes Agung dan anak turunnya menjadi penguasa taklukan dan tunjukan Roma. 

Mereka menghendaki kematian Yesus seperti yang dialami Yohanes Pembaptis. Sejak bayi Yesus menjadi ancaman bagi wangsa itu (Mat. 2:1-12). Saat mengajar dan melayani di Galilea, Ia diawasi jangan-jangan membentuk kelompok yang mengecam dan menggoncang kekuasaan mereka, seperti Yohanes Pembaptis.

Orang Farisi sangat membenci penjajah, baik Yunani, Romawi atau siapa pun yang menindas bangsa Yahudi dan bekerja sama dengan musuh. Maka, mereka pun mengecam Yesus saat Ia makan siang di rumah para pemungut cukai, seperti Zakheus.

Memang, mereka membayar pajak, tetapi hapusnya penindasan menjadi cita-cita hidup keagamaan mereka. Cara kaum ini membuat mereka tidak dimusuhi kaum Zelot, yang menentang Romawi.

Maka, persekongkolah antara Farisi dan Herodian merupakan bentuk permufakatan unik. Dua kelompok yang bertentangan ini justru bersatu melawan Yesus. 

Kaum Farisi selalu berjuang untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, termasuk Romawi. Sebaliknya, kaum Herodian mendukung wangsa Herodes dan dan menjadi kaki tangan penjajah Romawi. Tahta yang mereka nikmati dibayar dengan upeti dari hasil memeras rakyat, termasuk dari kaum Farisi.

Orang Herodian berusaha menjerat Yesus dengan memanfaatkan segala situasi. Terlebih, apa yang dilakukan Yesus setelah Yesus masuk kota Yesusalem dengan gilang gemilang (Mat. 21:1-11) seolah menguntungkan mereka.

Kaum Farisi Ia mengecam mereka yang menjadikan agama sebagai kedok untuk mengambil keuntungan pribadi. Ia membersihkan Bait Allah dari pedagang (Mat. 21:12-17) dan mengutuk pohon ara yang mandul (Mat. 21:18-22).

Orang Farisi sebenarnya telah lama merencanakan pembunuhan atas dirinya (Mat. 12:14). Mereka telah berusaha mencobainya, tetapi sia-sia (Mat. 16:1; 19:3). 

Kelompok lain yang terusik adalah para imam dan tua-tua bangsa itu. Mereka menentang dengan mempertanyakan landasan kuasa-Nya (Mat. 21:23-17). Kemarahan mereka makin memuncak setelah Yesus menanggapi dengan serangkaian perumpamaan, yang bernada menentang kuasa penyerang-Nya (Mat. 21:28-32; 21:33-46; 22:1-14).

Tetapi, karena para memimpin itu takut pada orang banyak, mereka mencari cara lain untuk membunuh Dia (Mat. 21:45-46).

Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?

Kaum Farisi dan Herodian terlebih dahulu memuji Yesus, “Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.” (Mat. 22:16).

Pujian itu kemudian disusul pencobaan yang membuat relasi makin runcing. Orang-orang suruhan itu mencobai Yesus dengan jebakan tentang pembayaran pajak. Tanya mereka, “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat. 22:17).

Pertanyaan tentang pembayaran pajak menjadi buah simalakama bagi Yesus. Apabila Ia menjawab bahwa pembayaran pajak adalah haram menurut agama Yahudi, Ia pasti dilaporkan pada penguasa Romawi dan segera ditangkap sebagai penghasut pemberontakan.

Sedangkan apabila Ia menjawab bahwa pembayaran pajak dihalalkan oleh hukum Taurat, Ia dianggap sebagai orang yang melecehkan hukum agama dan dibenci mereka yang menentang pembayaran pajak.

Setiap tahun orang dewasa dikenai pajak. Tiap kepala dibebani sebesar dua dinar. Satu dinar setara upah kerja sehari. Kalau memakai ukuran upah per hari sekarang mencapai kira-kira Rp. 70.000 – Rp. 100.000.

Orang Yahudi saat itu percaya bahwa raja mereka adalah Yahwe, Allah. Mereka adalah bangsa teokratik. Maka, pembayaran pajak pada raja di dunia dianggap sebagai penghinaan pada Allah.

Terlebih, kemarahan orang Yahudi makin memuncak apabila harus membayar pajak pada raja yang berasal dari negeri asing. Kelak, salah satu alasan pemberontakan mereka pada tahun 65-70 dipicu oleh keengganan untuk membayar pajak pada penguasa asing.

Tunjukkanlah kepada-Ku Mata uang untuk pajak itu

Dalam hidup sehari-hari orang Yahudi menggunakan mata uang perak bergambar kaisar Romawi untuk segala macam transaksi sehari-hari. Pada tahun 14-37 Masehi saat Kaisar Tiberius berkuasa,  gambar kepalanya dicetak di setiap keping uang logam, dinar. 

Dinar Romawi dilarang untuk digunakan dalam peribadatan di Bait Allah. Karena gambar kepala menjadi lambang penghinaan terhadap Allah.

Untuk membuat keping uang asing itu ‘halal’, keping uang Romawi harus ditukarkan di tempat penukaran uang yang dikelola kaum Lewi di Bait Allah (bdk. Mat. 21:12; Mrk. 11:15; Yoh. 2:14). Uang logam bergambar kaisar ditukar dengan uang tembaga tanpa gambar cetakan, sehingga dapat digunakan di Bait Allah.

Bagi orang Yahudi gambar penguasa di permukaan uang logam merupakan pelanggaran terhadap perintah Allah kedua. Pencetakan gambar penguasa setara dengan membuat patung berhala (Kel. 20:4-6).

Dinar Romawi pasti bernilai lebih tinggi dari pada uang tembaga yang digunakan di Bait Allah.  Uang itu biasanya disimpan di saku pakaian. Ringkas dan bisa dibawa ke mana pun untuk transaksi. 

Maka, dalam kebisuan, tiap orang yang membawa mata uang bergambar Caesar tidak hanya berarti mengkui kedaulatan dan kekuasaannya. Ia juga menaklukkan diri pada penjajah.

Tetapi, di tahun 70 bangsa Yahudi memberontak melawan Kekaisaran Romawi. Mereka tidak menentang uang yang dipakai, tetapi menentang panji-panji bergambar Caesar yang dikibarkan di Bait Allah.

Sejarahwan Yahudi, Flavius Josephus mencatat bahwa penduduk Yerusalem “memilih mati dari pada membiarkan panji-panji bergambar Caesar masuk Yerusalem.” (Antiquities of the Jews, 18:59).

Maka, Yesus meminta ditunjukkan uang untuk membayar pajak itu dan bertanya pada mereka (Mat. 22:19-20), ”Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu. Gambar dan tulisan siapakah ini?”, Ostendite mihi nomisma census. Cuius est imago haec et suprascriptio?

Uang yang ditunjukkan adalah sekeping dinar dengan cap/gambar Caesar. Maka, tepatlah kecaman Yesus akan kemunafikan orang Farisi. Kata Yunani υποκριται, hupokritai, bermakna “pemain sandiwara/drama yang berperan bukan sebagai dirinya sendiri”.

Yesus menyebut mereka orang munafik sebanyak empat belas kali dalam Injil Matius (Mat. 6:2.5.16; 15:7; 16:3; 22:18; 23:13.14.15.23.25.27.29; 24:51).

Saat bertanya tentang εικων, eikon, ‘gambar’, Yesus mengejutkan setiap orang, termasuk kaum Farisi. Kata itu mengingatkan orang Farisi bahwa tiap manusia diciptakan “menurut gambar Allah” (Kej. 1:27). Maka, mereka meninggalkan Yesus dengan langkah cepat dan terburu.

Wajah kaisar tercetak di uang logam Romawi. Dan ia diciptakan Allah menurut gambar-Nya. Maka, kaisar dan tiap aparatur negara harus tunduk pada kedaulatan dan kekuasaan Allah, Penguasa hidup dan matinya.

Berikanlah apa yang wajib kamu berikan

Kewajiban warga negara adalah membayar pajak kepada negara. Kewajiban ini dilandaskan pada pemikiran bahwa segala kuasa berasal dari Allah (Rom. 13:1).

Pemerintahan memiliki kuasa untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kesejahteraan umum. Dan  mereka yang menentangnya layak dihukum, karena berlawanan dengan kesejahteraan umum.

Maka, “tiap warga negara wajib membayar pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.” (Rm. 13:6-7).

Imbal balik yang diterima oleh warga sebagai wujud nyata kesejahteraan umum: terjaminnya rasa aman, perlakuan setara di muka hukum, sarana-prasarana pergerakan warga, jaminan untuk mengekspresikan hasil budaya, jaminan atas kebebasan berkeyakinan, dan sebagainya.

Ketaatan kepada penguasa yang dilambangkan dengan pembayaran pajak. Tetapi ini tidak berlaku lagi apabila penguasa melanggar hukum yang ditetapkan Tuhan, yakni prinsip penyelenggaraan kekuasaan yang melanggar hak asasi manusia (bdk. Kis. 5:29).

Katekese

Perhatikan dan ulurkan tangan untuk yang miskin dan rentan. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936:

“Sangat perlu memberi perhatian dan mendekatkan diri kepada bentuk-bentuk baru kemiskinan dan kerentanan, di mana kita dipanggil untuk mengenali Kristus yang menderita, bahkan jika hal ini tampaknya tidak memberi kita manfaat nyata dan langsung.

Saya berpikir tentang para tunawisma, para pecandu napza, para pengungsi, penduduk asli, orang lanjut usia yang semakin terasing dan terlantar, dan banyak orang lainnya.

Para migran memberikan tantangan khusus bagi saya, karena saya adalah imam dari sebuah Gereja tanpa perbatasan, Gereja yang menganggap dirinya ibu bagi semua.

Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada setiap negara untuk memiliki keterbukaan murah hati yang akan mampu menciptakan bentuk-bentuk sintesis budaya baru tanpa perlu takut kehilangan identitas lokal.

Betapa indahnya kota-kota yang mampu mengatasi kecurigaan yang melumpuhkan, mengintegrasikan orang-orang yang berbeda dan menjadikan integrasi ini suatu faktor baru dari pengembangan.

Betapa menariknya kota-kota yang, bahkan dalam rancangan arsitekturnya, penuh dengan ruang yang menghubungkan, menciptakan relasi dan mendukung pengakuan akan yang lain.” (Seruan Apostolik Sukacita Injil, Evangelii Gaudium, 210).

Oratio-Missio

Tuhan, karena Engkau menciptakan aku, aku berhutang padaMu seumur hidupku. Karena Engkau menebus aku, aku berhutang nyawa pada-Mu. Karena Engkau melimpahi aku dengan janji setia-Mu, aku berutang pada-Mu seluruh jiwa, raga dan budiku.

Terlebih, aku berutang atas limpahan kasih yang Engkau curahkan lebih dari yang aku mampu bayangkan, karena Engkau sendiri memberikan Diri-Mu sendiri dan menjanjikan Diri-Mu padaku. Tuhan, aku berdoa pada-Mu, karena kasih, buatlah aku mampu merasakan apa yang kurasakan melalui akal budiku. Karena kasih, buatlah aku mengenal apa yang kuketahui melalui pemahamanku.

Aku berutang pada-Mu lebih dari seluruh diriku, tetapi aku tak punya apa-apa lagi, dan, karena diriku aku tak mampu meluasi seluruh hutangku pada-Mu. Tuhan, perkenankanlah aku dekat padaMu, dalam kepenuhan kasih-Mu.

Karena aku Engkau ciptakan, seluruhnya aku milik-Mu. Buatlah aku selalu menjadi milik-Mu, dalam kasih. Amin. (Doa Santo Anselmus, 1033-1109, terjemahan bebas) 

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk terlibat dalam memajukan lingkungan tempatku tinggal?

Tunc ait illis: “Reddite ergo, quae sunt Caesaris, Caesari et, quae sunt Dei, Deo” – Matthaeum 18:20

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version