Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Renungan Harian Lectio Divina 17.3.2014 – Sebutir Biji Gandum yang Mati Menghasilkan Buah Melimpah

Lectio Divina 17.3.2014 – Sebutir Biji Gandum yang Mati Menghasilkan Buah Melimpah

0
Jika bulir gandum tak jatuh ke tanah, by Craig Gallaway

Minggu. Hari Minggu Prapaskah V (U)

  • Yer. 31:31-34
  • Mzm. 51:3.4.12-13.14-15
  • Ibr. 5:7-9
  • Yoh. 12:20-33

Lectio

20 Di antara mereka yang berangkat untuk beribadah pada hari raya itu, terdapat beberapa orang Yunani. 21 Orang-orang itu pergi kepada Filipus, yang berasal dari Betsaida di Galilea, lalu berkata kepadanya: “Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus.” 22 Filipus pergi memberitahukannya kepada Andreas; Andreas dan Filipus menyampaikannya pula kepada Yesus.

23 Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. 24 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. 25 Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.

26 Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa. 27 Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. 28 Bapa, muliakanlah nama-Mu!” Maka terdengarlah suara dari surga: “Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!” 

29 Orang banyak yang berdiri di situ dan mendengarkannya berkata, bahwa itu bunyi guntur. Ada pula yang berkata: “Seorang malaikat telah berbicara dengan Dia.” 30 Jawab Yesus: “Suara itu telah terdengar bukan oleh karena Aku, melainkan oleh karena kamu.

Meditatio-Exegese

Tuhan akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda

Allah mengikat perjanjian persahabatan dan damai dengan manusia. Ia mengikat perjanjian itu ketika membebaskan dari perbudakan di Mesir dan membawa mereka ke gunung-Nya yang suci di Sinai. Sabda-Nya (Kel. 6:7; Im. 26:12),“Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu.”, Et assumam vos mihi in populum et ero vester Deus.  

Tetapi, selalu dan terus berulang, umat-Nya ingkar dan tidak mau mengikuti jalan-Nya (Yer. 31:32). Kitab Hakim-Hakim menyimpulkan, ”setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hak. 17:6; 21:25).

Walau terus diingkari, “Tuhan, Allah nenek moyang mereka, berulang-ulang mengirim pesan melalui utusan-utusan-Nya, karena Ia sayang kepada umat-Nya dan tempat kediaman-Nya.” (2Taw. 36:15).

Di pembuangan Babel, Nabi Yeremia menyingkapkan pesan pada para umat Israel akan harapan baru dan pemulihan. Allah hendak menegakkan perjanjian baru dan abadi. Ia menghapus dosa umat-Nya dan melimpahkan kerahiman dan rahmat-Nya.

Perjanjian itu ditanam di dalam hati tiap umat-Nya, “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yer. 31:33).

Perjanjian baru ini kelak dimeteraikan dengan darah kurban sempurna, yakni Yesus. Ia mempersembahkan  diri-Nya pada Bapa ketika Ia wafat di kayu salib.

Pada awal karya pelayanan Yesus, saat Ia berjumpa Yohanes Pembaptis, anak Zakharia dan Ibu Elizabet, berseru (Yoh. 1:29),  “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” Ecce agnus Dei, qui tollit peccatum mundi.

Sebagai manusia Yesus mempersembahkan kurban sempurna yang dapat mempersatukan kembali manusia dengan Allah dan menganugerahkan hidup kekal. Surat kepada Orang Ibrani  merumuskan pokok iman, “Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibr. 5:9).

Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus

Para pemimpin agama Yahudi, imam-imam, Farisi dan Saduki, makin mengobarkan kebencian pada Yesus setelah Ia membangkitkan Lazarus dari kematian. Mereka tidak hanya berencana dan bersepakat untuk membunuh Yesus (Yoh. 11:46-53)  dan Lazarus (Yoh. 12:11-12), tetapi juga saksi akan tanda itu harus dibungkam.

Karena permufakatan itulah, Yesus dan para murid-Nya menyingkir ke daerah Efraim, dekat dengan padang pasir (Yoh. 12:54).

Pembangkitan Lazarus dari kematian mendorong lebih banyak orang untuk percaya pada-Nya. Orang yang mulai percaya pada Yesus mengelu-elukan ketika Ia masuk Yerusalem. Maka, makin besarlah kebencian para pemuka pada Yesus, karena, “Lihatlah, seluruh dunia datang mengikuti Dia.” (Yoh. 12:19).

Di tengah ancaman, Yesus tetap mengajar di Bait Allah dan menghadiri salah satu perayaan wajib, Pesta Paskah di Bait Suci. Ia mematuhi hukum Taurat, “Tiga kali dalam setahun semua orang laki-laki harus hadir menghadap Tuhan, Allahmu, di tempat yang telah dipilih-Nya. Mereka harus datang untuk Hari Raya Roti Tidak Beragi, Hari Raya Tujuh Minggu, dan Hari Raya Pondok Daun.” (Ul. 16:16).

Ia hadir di Bait Allah, di Pelataran Bangsa Kafir, tempat yang dipersembahkan pada bangsa non-Yahudi atas penghormatan mereka pada Bait Allah dengan persembahan dan sokongan (bdk. 1Ezr.; 2Mak. 3). Di tempat ini, saat Ia mengajar,  beberapa orang Yunani ingin bertemu Yesus.

Orang-orang itu kemungkinan besar adalah orang dari bangsa non-Yahudi dan berbahasa Yunani yang menghormati Allah. Mereka seperti perempuan Siro-Fenesia yang mencari Yesus untuk memohon kesembuhan bagi anaknya yang sakit (Mrk. 7:26) dan tiga sarjana dari Timur yang mencari Bayi Yesus berdasarkan tanda bintang yang mereka lihat (Mat. 2:1-12).

Orang-orang itu menghubungi dua rasul, Filipus dan Andreas. Keduanya berasal dari Bethsaida, kota dengan penduduk dari pelbagai latar belakang budaya dan bahasa. Kedua orang ini mewakili komunitas yang memiliki corak keagamaan yang berbeda.

Filipus lebih berpegang pada tradisi, seperti terungkap pada keyakinannya ketika berjumpa dengan Yesus, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yoh. 1:45). Sementara itu, Andreas telah terlibat dalam gerakan pembaharuan Yohanes Pembaptis dan terbuka pada hal-hal baru (bdk. Yoh. 1:41). 

Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan

Yesus sadar Ia akan segera ditangkap dan dibunuh oleh para pemuka Yahudi dan Romawi. Namun, Ia juga yakin akan dimuliakan, karena Ia akan ditinggikan dan dibangkitkan pada hari ketiga.

Maka, tepat sebelum hari raya Paskah Yahudi, Yesus mengumumkan pada para murid (Yoh. 12:23),  “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.”,  Venit hora, ut glorificetur Filius hominis.

Di samping itu, Ia menarik minat orang kebanyakan untuk mengikuti-Nya. Mereka mengharapkan-Nya tampil sebagai sosok Mesias yang akan membebaskan mereka dari penindasan Kekaisaran Romawi.  Untuk menghindari kesalah pahaman akan gelar Mesias, disematkan gelar Anak Manusia, Filius hominis.

Merenungkan nubuat Nabi Daniel tentang Anak Manusia (bdk. Dan. 7:13-14), Yesus jauh menukik pada makna hakiki pembebasan, yakni: pembebasan dari kuasa dosa, setan dan maut. Penindasan dalam segala bentuk berakar dari hati yang dikuasai  “segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” (bdk.  Mat 15:19).

Jika biji gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah

Yesus seolah-olah tidak tertarik pada orang-orang Yunani yang hendak menjumpai-Nya. Menggunakan perumpamaan tentang biji gandum, Ia justru mengumumkan kematian-Nya yang semakin dekat.

Sabda-Nya (Yoh 12:24), “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”, Nisi granum frumenti cadens in terram mortuum fuerit, ipsum solum manet; si autem mortuum fuerit, multum fructum affert.

Yesus menyamakan diri dengan biji gandum yang harus dikubur di dalam tanah. Dari dalam tanah gandum hidup, tumbuh, dan menghasilkan banyak buah. Maka, kemuliaan-Nya tidak digapai seperti cara manusia berpikir, bertindak dan merasa.

Kemuliaan-Nya diperoleh melalui peninggian di kayu salib, wafat dan, pada hari ketiga, dibangkitkan. Dengan cara inilah Ia akan menarik semua orang datang kepada-Nya (Yoh. 12:32). Kepenuhan nubuat-Nya terjadi ketika para murid diutus terus menerus ke seluruh penjuru alam semesta mewartakan Kabar Suka Cita, Injil, kepada setiap makhluk (Mrk 16:15).

Keterbukaan untuk menerima Injil diwakili oleh serombongan orang Yunani yang ingin menemui Yesus. Dalam tradisi Yohanes, menemui selalu bermakna: percaya, mengimani. Serombongan orang Yunani kemudian diikuti lautan manusia dari generasi satu ke generasi lain. 

Barangsiapa tidak mencintai nyawanya, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal

Kepada tiap murid yang ingin mendapatkan kemuliaan bersama-Nya, Yesus mengajukan tuntutan: mengasihi-Nya atau menolak-Nya. Gereja Katolik mengajarkan, ”Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya.

Semua orang harus ‘siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja’ (LG 42) (bdk. DH 14).

Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga.” (Mat. 10:32-33).” (Katekismus Gereja Katolik, 1816).

Relasi antara Yesus dengan para murid-Nya bukanlah relasi antara tuan dengan hamba, budak. Ia mengangkat setiap orang yang menjadi murid-Nya menjadi ‘pelayan’, διακονος, diakonos, bukan ‘budak’, δουλος, doulos. Kata diakonos dalam bagian lain Injil keempat searti dengan kata ‘sahabat’,  φιλους, philous, karena Ia telah memberitahukan kepada para sahabat-Nya segala sesuatu yang telah didengar dari Bapa-Nya (bdk. Yoh. 15:15).

Sekarang jiwa-Ku terharu

Sadar akan kematian yang sudah mendekat, hati-Nya gelisah dan ketakutan. Santo Yohanes menempatkan kecemasan Yesus dalam peristiwa ini. Sedangkan para penulis Injil sinoptik menempatkan pada kisah Yesus di Getsemani (Mrk 14:32-42; Mat 26:36-46; Luk 22:39-46).

Walau berbeda, seluruh Injil menggambarkan suasana yang dialami Yesus, yang mungkin sama dengan manusia jaman ini. Kematian yang mendekat pasti mencekam, menakutkan dan menggentarkan jiwa. Yesus memilih untuk menghadapi ketakutan dan taat pada tugas perutusan-Nya hingga saat-Nya tiba.

Saat Ia menghadapi ketakutan yang mencekam, kuasa kegelapan yang menakutkan, Yesus berdoa, “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.  Bapa, muliakanlah nama-Mu!” (Yoh 12:27-28).

Doa-Nya didengarkan. Ia yang ada bersama-sama dengan Allah dalam kemuliaan surgawi (bdk. Yoh 1:1-2) dipermuliakan kembali, saat terdengar suara dari langit (Yoh. 12:28), “Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!”, Et glorificavi et iterum glorificabo.

Sayang, orang banyak keliru menafsirkan suara dari surga. Padahal suara itu adalah suara yang ditujukan untuk semua orang untuk percaya bahwa Allah mengutus Yesus (Yoh 11:42).

Katekese

Kasihilah yang terkandung di dalam citra Allah. Santo Caesarius dari Arles, 470-543:

“Kamu pasti mengasihi apa yang ada dalam dirimu sendiri, di bawahmu dan di atasmu. Jika kamu mengasih apa yang di bawahmu, kasihilah untuk digunakan sebagai kesenangan, hiburan dan sarana hidup.

Kamu harus tidak terlekat padanya. Misalnya, kamu menyukai emas. Jangan terlekat pada emas, karena betapa kamu lebih mulia dari padanya.

Tentu, emas merupakan salah satu benda paling cemerlang di dunia, tetapi kamu diciptakan sebagai citra Allah agar kamu disinari oleh Tuhan sendiri. Walaupun emas merupan ciptaan Allah, Ia tidak menciptakannya sesuai dengan citra-Nya sendiri.

Namun, kamu sebaliknya. Maka, tempatkan emas di bawah telapan kakimu. Kasih jenis ini harus dikesampingkan.

Benda-benda seperti itu harus diperoleh sesuai dengan kegunaannya, tetapi kita harus tidak terlekat kepadanya dengan ikatan kasih yang lengket seperti lem.

Janganlah kamu menjadikan diri sendiri anggota perkumpulan yang membuatmu berduka dan merana, ketika kamu telah terpisah dari perkumpulan itu. Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Bangkitlah dari kasih macam itu yang membuatmu tergila-gila pada benda yang tidak lebih berharga daripadamu. Dan mulailah mengasihi siapa pun yang semartabat denganmu, yakni, siapa pun yang diciptakan seperti dirimu …

Tuhan sendiri telah bersabda pada kita di Kitab Suci dan menujukkan kepada kita agar kita memiliki cinta dan kasih yang sejati.

Karena itu Ia bersabda demikian, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk 10:27).

Maka, pertama-tama, kasihilah Allah  dan,  kemudian, dirimu sendiri. Setelah itu, kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri.” (Sermons 173, 4-5.25).

Oratio-Missio

Allah yang kekal, yang menerangi budi kami agar kami mengenal Engkau; Engkaulah sukacita hati kami agar kami mengasihiMu; dan Engkaulah kekuatan kehendak kami agar melayani-Mu. 

Anugerahilah kami dengan rahmat yang cukup untuk mengenal-Mu, agar kami mampu benar-benar mengasihi-Mu; tanpa henti mengasihi-Mu; serta melayani-Mu dengan sepenuh hidup kami.

Melayani-Mu selalu menjadi kebebasan kami yang sempurna. Dalam Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin. (Doa Santo Augustinus, terjemahan bebas)

  • Pada kita ada tantangan: mengapa aku ingin berjumpa dengan Yesus?

Qui amat animam suam, perdit eam; et, qui odit animam suam in hoc mundo, in vitam aeternam custodiet eam” – Ioannem 12:25

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version