Home BERITA Lectio Divina 21.02.2021 – Kerajaan Allah Sudah Dekat, Bertobatlah dan Percayalah Kepada...

Lectio Divina 21.02.2021 – Kerajaan Allah Sudah Dekat, Bertobatlah dan Percayalah Kepada Injil

0
Ilustrasi - Ia duduk dan mengajar di pantai by James Tissot (1836-1902).

Minggu.  Pekan Prapaskah I (U)

  • Kej. 9:8-15.
  • Mzm.25:4bc-5ab.6-7ab.8-9.
  • 1Ptr.3:18-22; Mrk. 1:12-15.

Lectio

12 Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun. 13  Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia. 14 Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, 15 kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”

Meditatio-Exegese

Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup

Setelah menenggelamkan bumi dan melenyapkan manusia yang jahat, Allah berjanji untuk tidak melenyapkan manusia lagi, walau mereka berdosa sejak kecil. Demikian juga Ia berjanji tidak akan melenyapkan segala makhluk (Kej. 8:21).

Melalui tanda ‘pelangi’, Ia selalu membaharui perjanjian-Nya.   

Dalam perjalanan sejarah keselamatan, perjanjian dengan manusia selalu diperbaharui-Nya. Ia menetapkan perjanjian dengan Abrahan dan keturunannya (bdk. Kej. 17). Melalui Musa, Ia menetapkan perjanjian dengan bangsa Israel,  Perjanjian Sinai (bdk. Kel. 19).

Tetapi, karena manusia terbukti sulit setia pada perjanjian dengan Allah, melalui para nabi, Ia berjanji, bahwa Ia akan menetapkan perjanjian baru pada masa kedatangan Sang Mesias, ”Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer. 31:33).

Perjanjian ini dipenuhi oleh Yesus Kristus saat ia menetapkan Ekaristi, “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (Luk. 22:20).

Para bapa Gereja dan penulis suci memandang pelangi sebagai penyingkapan pertama perjanjian baru. Rahib Benediktin, Abas Rupert dari Deutz, 1075/1080-1129) , menulis, ”Dalam pelangi Allah menetapkan perjanjian dengan manusia melalui Putera-Nya, Yesus Kristus. Melalui wafat Kristus di kayu salib Allah mendamaikan kita dengan diri-Nya, menghapus dosa kita dalam darah-Nya.

Ia mengaruniakan pada kita, melalui Kristus, Roh Kudus karena kasih-Nya, menetapkan baptis air dan Roh Kudus yang menjadi sarana kita dilahirkan kembali. Maka, pelangi yang muncul di langit merupakan tanda kehadiran Putera Allah […]

Pelangi merupakan tanda bahwa Allah tak akan lagi menghancurkan semua makhluk dengan luapan banjir.  Putera Allah sendiri, yang dipandang dari awan, dan ditinggikan di atas awan-awan hingga kekal, menjadi tanda yang mengingatkan Allah Bapa.

Dia adalah kenangan abadi atas damai kita, yakni, kini bahwa dalam daging Ia telah menghancurkan musuh lama. Persahabatan antara Allah dengan manusia dijamin: manusia bukan lagi hamba, tetapi sahabat dan anak-anak Allah.” (dikutip dari Commentarium in Genesim, 4,36).

Perjanjian Allah dengan Nuh juga menjadi landasan bagi orang non-Yahudi untuk menghormati Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Cukup banyak tokoh dalam Kitab Suci yang menghormati Allah, misalnya: Rahab, perempuan sundal yang menyembunyikan mata-mata Israel di Yerikho (bdk. Yos. 6:25; ; Mat. 1:5; Ibr. 11:31); perwira Romawi yang hambanya disembuhkan Yesus (Luk. 7:2-9).

Karena semua manusia memiliki ikatan perjanjian dengan Allah melalui Nuh, semua manusia dapat diselamatkan. Melalui perjanjian itu alam pun menjadi bagian rencana keselamatan Allah.

Perjanjian dengan Allah disikapi dengan iman kepada-Nya. Iman kepada Yesus Kristus yang diwariskan para rasul (bdk. Kis. 2:14-36; 1 Kor 15:1 dst)  diminta dari Gereja saat pelantikan katekumen (lih. Puji Syukur, 95).

Santo Petrus saat membina jemaat untuk katekese baptis mewariskan pengakuan iman akan Yesus Kristus yang disalibkan, wafat dan dibangkitkan untuk keselamatan manusia, ”Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah;

Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah … yang duduk di sebelah kanan Allah, setelah Ia naik ke surga sesudah segala malaikat, kuasa dan kekuatan ditaklukkan kepada-Nya.” (1Ptr. 3:18-20.22). 

Pengakuan iman jemaat serupa dengan rumus pengakuan iman yang diajarkan Santo Paulus (1Tim. 3:16). Sedangkan Syahadat Para Rasul merumuskan, “Yesus Kristus disalibkan, wafat dan dimakamkan. Ia turun ke tempat penantian, pada hari bangkit dari antara orang mati. Ia naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa”.

Maka, kematian Kristus menghasilkan kehidupan. Kematian-Nya menginspirasi jutaan orang bahwa, sekalipun harus menanggung pembunuhan, yang berpegang pada Kristus tidak pernah kehilangan hidup. Dan pembaptisan merupakan cara untuk ambil bagian dalam kematian-Nya.

Akhirnya, sama seperti Kristus yang wafat menurut daging dan dibangkitkan dalam Roh, para murid-Nya harus bertobat, meninggalkan keinginan daging dan merengkuh hidup baru tanpa cela oleh kebangkitan Kristus (1 Ptr. 3:21).

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun

Setelah pembaptisan dan penyingkapan identitas Yesus, ”Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari surga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk. 1:10-11), Yesus didorong oleh Roh Kudus untuk pergi ke gurun.

Santo Markus menggunakan kata kerja εκβαλλει, ekballei, dari kata kerja ekballo, dengan makna yang khusus : mendorong, membimbing, memimpin. Biasanya kata ini ini bermakna: mengusir, mengeluarkan dengan paksa, seperti Yesus mengusir setan (mis. Mrk 3:22.23; 6:13; 7:26).

Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis

Padang gurun merupakan tempat ujian, pencobaan dan ular berbisa. Dalam imaginasi, gurun menjadi tempat tinggal binatang buas, markas setan dan segala daya penghancur. Gurun berlawanan dengan Firdaus, tempat Allah menjalin relasi harmonis dengan manusia, hewan dan seisi semesta.

Mengikuti teladan tokoh padang pasir, Musa dan Elia, Yesus pergi ke gurun untuk mempersiapkan karya pelayanan-Nya. Ia hendak memasuki diri-Nya, agar seluruh perjalanan hidup-Nya dipimpin dan dibimbing Roh Kudus. Yesus sedang membuktikan dan memurnikan diri sendiri untuk mengukur apakah Ia siap untuk melaksanakan tugas perutusan yang sudah di depan mata.

Namun, saat Ia memasuki masa khalwat, setan, sang penggoda, datang untuk mencobai. Santo Markus memakai kata πειραζομενος, peirazomenos, dari kata kerja peirazo bermakna: mencobai, menguji, memasang jerat. Pencobaan berarti segala bentuk jerat yang dipasang setan agar manusia menjauh dari Allah.

Saat dihadapkan pada pencobaan di gurun setelah dikeluarkan dari Mesir dengan cara yang sangat dahsyat dan agung, bangsa Israel  ternyata gagal menghadapi jerat akan makanan, penyembahan berhala dan mencobai Allah (bdk. Ul.   8:3; 6:13.16).  

Yesus menguasai medan perang melawan setan. Ia lebih kuat daripada setan. Surat kepada Jemaat Ibrani bersaksi tentang Yesus saat mengalami pencobaan, “sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr. 4:15).

Ia tetap setia dan menolak jerat musuh lama. Ia tetap menjadi Hamba Yahwe, yang melayani Allah dan manusia (Mat. 20:28). Ia seperti Adam yang baru, memulihkan relasi harmonis Allah dengan manusia dan semesta.

Nabi Yesaya menggambarkan keadaan itu seumpama, ”… singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak …” (Yes. 11: 6-9).

Dalam pelbagai kesempatan Allah menguji Abraham. Ujian yang paling fenomenal dan dramatis adalah ketika Abraham dengan suka rela menyediakan anaknya, Ishak, untuk menjadi korban bakaran bagi Allah (Kej. 22:9-12).

Selanjutnya, Allah mendengarkan doa dan keluh kesah bangsa Israel selama 400 tahun. Bangsa itu terus mengingat Yahwe, Allah mereka.

Dan Allah mengingat janji-Nya untuk menyelamatkan dari perbudakan. Ia menuntun mereka keluar dari Mesir dan membimbing mereka menjadi satu bangsa dan umat Allah selama 40 tahun, sebelum memasuki tanah terjanji.

Ketika sampai di Gunung Sinai, Musa naik ke gunung itu untuk bertemu muka dengan Allah dalam doa dan puasa selama 40 hari (Kel. 24:18). Nabi Elia juga melakukan perjalanan selama 40 hari ke Gunung Horeb untuk mencari wajah Allah dan Ia memberinya makan roti dari surga (1Raj. 19:8).

Yang dialami Abraham, Musa dan Elia berbeda dengan yang dialami Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Allah menyediakan seluruh kebutuhan hidup mereka secara berkelimpahan. Tetapi pada akhirnya, mereka berdua memilih tidak mendengarkan suara-Nya. Mereka mendengarkan suara iblis, yang mengambil bentuk ular.

Mereka meragukan suara Allah, mengabaikan perintah-Nya dan lebih memilih percaya pada diri sendiri (Kej. 2:16-17; 3:1-6).  Pengusiran menandakan dosa, memisahkan diri dari kasih Allah.

Santo Paulus menulis, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Rm. 5:12).

Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah

Yohanes Pembaptis ditangkap Herodes Antipas, raja wilayah Galilea dan Perea,  yang terletak di tepi timur Sungai Yordan, tempat Yohanes mempermandikan. Antipas memiliki skandal perkawinan dengan keponakannya sendiri, Herodias, istri Filipus dan cucu Herodes Agung.

Ia berhasil meyakinkan Herodias untuk menceraikan Filipus dan menikah dengannya. Yohanes menuduh Antipas dan Herodias melalukan dosa perzinahan. Antipas menangkap Yohanes Pembaptis dan menahannya di Benteng Macherus di Perea (Flavius Josephus, Antiquities of the Jews, 18.5.2; bdk. Mat. 4:12-17; 14:3-12).

Santo Markus menggunakan kata παραδοθηναι, paradothenai dari kata kerja παραδίδωμι, paradodimi, yang dalam bentuk pasif bermakna: ditangkap, dikhianati, diserahkan, dimasukkan dalam tahanan. Seperti Yohanes Pembaptis, Yesus akan mengalami peristiwa serupa (Mrk. 9:31; 10:33-34; 14:10-11, 18-21).

Yohanes tidak hanya mempersiapkan jalan bagi Yesus untuk pewartaan-Nya, tetapi juga sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Selanjutnya, mereka yang menjadi murid Yesus juga akan ditangkap, diserahkan ke tangan mereka yang menentang Injil (Mrk. 13:10-12). Maka, memberitakan Injil Allah dan ditangkap memiliki relasi yang erat.

Yohanes memberitakan pertobatan (Mrk. 1:4) dan ditangkap (Mrk. 1:14; 6:17-19). Yesus mewartakan Kerajaan Allah (Mrk. 1:14-15) dan ditangkap (Mrk. 14:46). Para muridNya mewartakan Kerajaan Allah dan, kemungkinan, akan ditangkap juga (Mrk. 13:9-13). Yohanes menjadi teladan bagi mereka yang mempersiapkan kedatangan-Nya kedua dan mereka yang mempertaruhkan hidup seperti dialaminya. 

Penangkapan Yohanes menjadi pertanda pelayanan Yohanes berakhir dan pelayanan Yesus harus dimulai. Yesus sekarang berusia tiga puluh tahun (Luk. 3:23). Pada usia yang sama, bapa luluhurnya, Daud, dinobatkan menjadi raja Israel (2Sam. 5:4). Galilia merupakan tempat yang tepat untuk karya pelayanan-Nya.

Daerah ini merupakan persimpangan jalan dagang di jaman kuno, karena menjadi simpul penghubung ke wilayah Mesir, pantai Laut Tengah, menyusuri Galilea, dan terus ke arah Siria, Asia Kecil dan Mesopotamia. Galilea masuk dalam jalur perdagangan Jalan Laut, Via Maris.

Yesus tidak harus pergi ke pelbagai tempat di wilayah bangsa asing, karena bangsa Yahudi dari pelbagai penjuru Kekaisaran Romawi pasti melewati wilayah Galilea bila mereka hendak berziarah ke Yerusalem seperti ketentuan Hukum Musa: setahun tiga kali  (Kel. 23:14-17; Ul. 16:16; 2Taw. 8:3).

Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil

Santo Markus menyingkapkan kini saat penting dan mendesak untuk berpihak pada Allah. Ungkapan yang digunakan bukan χρόνος, chronos, waktu milik manusia, tetapi ο καιρος, ho kairos

Waktu milik Tuhan tidak sama dengan milik manusia.

Ia sudah hadir sekarang dan akan datang sesuai kehendak-Nya, seperti pencuri (Mat. 24:43). Maka, tiap murid Yesus dipanggil untuk menyesuaikan hidup selaras dengan kehendak-Nya, supaya ketika saat itu, kairos, tiba, ia didapati-Nya pantas dan berjaga.

Allah datang sebagai Raja, yang berdaulat, meraja, memerintah dan mengatasi alam semesta. Kitab Suci mewartakan, “TUHAN menegakkan takhta-Nya di surga, dan kerajaan-Nya memerintah atas segalanya.” (Mzm. 103:19).

Kerajaan-Nya melampaui apa yang bisa dibayangkan, karena mengatasi langit dan kekal (bdk. Dan 4:3). Kerajaan-Nya penuh kemuliaan, kuasa dan keagungan (Mzm 145:11-13). Dan kepada Anak Manusia, kerajaan itu diserahkan (Dan. 7:14,18,22,27).

Dalam Perjanjian Baru, gelar Anak Manusia dikenakan pada Yesus, Mesias, Kristus, Yang Diurapi. Dan Bapa mengutus Anak-Nya untuk mendirikan Kerajaan Surga, Kerajaan yang diperintah oleh kebenaran, keadilan, damai sejahtera, dan kesucian. Kerajaan Allah menjadi inti tugas perutusan-Nya.

Yohanes Pembaptis, Yesus dan para murid-Nya menuntut pertobatan. Tiap orang yang mau menerima warta Injil Allah harus bertobat. Namun, sering manusia lalai dan memperlakukan alam secara semena-mana, kurang peduli, bersikap pasif, dan membiarkan terjadinya kerusakan rumah tinggal bersama, lingkungan hidup. Maka, pertobatan bukan hanya mencakup perubahan relasi manusia dengan manusia dan relasi dengan Tuhan, tetapi juga dengan alam.

Dalam pesan perpisahan, Yesus mengutus para murid untuk mewartakan Injil tidak hanya kepada segala bangsa, seperti disingkapkan Santo Matius dan Lukas (bdk. Mat. 28:19; Kis 1:8), tetapi juga semua makhluk, “Beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk. 16:15), κηρυξατε το ευαγγελιον παση τη κτισει, keruzate to euaggelion pase te ktisei, “praedicate evangelium omni creaturae.

Kata Yunani ktisei, yang berasal dari kata dasar κτισις ktisis,  dan Latin creatura bermakna: seluruh makhluk ciptaan di alam semesta. Seluruh makhluk mencakup manusia, hewan dan tumbuhan. Merusak hidup masing-masing sama dengan membatalkan perjanjian dengan Allah. Memelihara, merawat, menjaga kesejahteraan dan damai  masing-masing bermakna mengokohkan perjanjian dengan Allah.

Katekese

Pertobatan Ekologis. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936-sekarang:

“Krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Tetapi kita juga harus mengakui bahwa beberapa orang Kristen, yang berkomitmen dan berdoa, cenderung meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan alasan realisme dan pragmatisme. Orang lain tinggal pasif; mereka memilih untuk tidak mengubah kebiasaan mereka dan dengan demikian menjadi tidak konsisten.

Jadi, apa yang mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang  membiarkan seluruh  buah dari pertemuan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka.

Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh; dan bukan sebuah opsi atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani” (dikutip dari Ensiklik Laudato Si, 217).

Oratio-Missio

  • Tuhan, firman-Mu adalah hidup, suka cita, kebijaksanaan, dan kekuatanku. Penuhilah aku dengan Roh Kudus-Mu, agar aku memiliki kekuatan dan keberanian untuk melaksanakan kehendak-Mu dalam segala hal dan tak mengenal takut menghadapi apa pun yang bertentanganan dengan kehendak-Mu itu. Amin.
  • Apa yang perlu aku lakukan untuk tidak takut menghadapi apa pun yang bertentangan dengan kehendak-Nya?   

Impletum est tempus, et appropinquavit regnum Dei; paenitemini et credite evangelio – Marcum 1:15

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version