Sabtu. Pekan Biasa XX. Peringatan Wajib Santo Pius X, Paus (P)
- Rut. 2:1-3.8-11;4:13-17
- Mzm. 128:1-5
- Mat. 23:1-12
Lectio
1 “Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: 2 “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. 3 Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.
4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. 5 Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang;
6 mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; 7 mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.
8 Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. 9 Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga.
10 Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. 11 Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. 12 Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Meditatio-Exegese
Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu
Yesus mengecam perilaku menyimpang yang dilakukan kaum Farisi. Sebaliknya Ia berbelas kasih pada orang banyak, karena diperlakukan dengan tidak semestinya. Mereka seperti “kawanan domba tanpa gembala.” (bdk. Mat 9:36).
Disingkapkan sejak hari tiga bagian keprihatinan Yesus. Pada bagian pertama ini disajikan Yesus menunjukkan mentalitas yang seharusnya dikembangkan terus menerus dalam hidup jemaat.
Musa memberikan pada umat Hukum Tuhan. Para ahli Kitab, sebagian besar kaum Farisi, berfungsi untuk mendidik umat memahami dan melaksanakan Hukum. Maka, mereka “menduduki kursi Musa”.
Yesus mengakui kedudukan mereka, namun Ia mengingatkan jemaat dan para murid-Nya untuk membedakan antara Hukum yang dibacakan dan diajarkan di sinagoga dengan penafsiran Hukum dalam hidup sehari-hari yang jalani para ahli Kitab.
Beberapa tahun kemudian, seorang Farisi yang membenci Yesus, tetapi berbalik membela-Nya dengan gigih, Paulus menusuk jantung kemunafikan yang ditunjukkan Tuhan.
Katanya, “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar: “Jangan mencuri,” mengapa engkau sendiri mencuri? Engkau yang berkata: “Jangan berzinah,” mengapa engkau sendiri berzinah?
Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala? Engkau bermegah atas Hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar Hukum Taurat itu? Seperti ada tertulis, “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain.” (Rm 2:21-24).
Tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang
Tali sembahyang, filakteri, berisi tak hanya seruan atau shema Yahwe pada setiap pribadi umat untuk berpaling pada-Nya. Tetapi juga memuat pokok iman monoteis. “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4).
Ketentuan ini mengajak orang sadar akan kehadiran Yahwe. Sayang, ternyata, dibelokkan menjadi alat untuk menunjukkan kesombongan dalam peribadatan.
Sebaliknya, Yesus bersabda, “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang…
Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” (Mat 6:5-6).
Janganlah kamu disebut Rabi
Yesus datang untuk mengajarkan kebenaran. Ia sendiri adalah Sang Kebenaran (Yoh 14:6). Sebagai guru atau rabi, Yesus tidak dapat ditandingi siapa pun.
Santo Yohanes Paulus II mengajar, “Seluruh hidup Kristus merupakan pengajaran yang terus menerus, tanpa henti keheningan-Nya, mukjizat-Nya, gerak tubuh-Nya, doa-Nya, kasih-Nya pada manusia, perhatian-Nya pada yang kecil dan miskin, kerelaan-Nya untuk menerima secara total saat dikurbankan di salib demi penebusan pada dunia, dan kebangkitan-Nya merupakan wujud nyata sabda-Nya dan pemenuhan pewahyuan-Nya.
Maka bagi kita, orang Kristiani, salib merupakan citra Kristus, Sang Guru, yang paling indah dan populer. Pertimbangan ini sesuai dengan tradisi besar Gereja dan mengokohkan seluruh usaha kita untuk mempersembahkan pada Kristus, Sang Guru yang menyingkapkan Allah pada manusia dan manusia pada diri-Nya.
Sang Guru menyelamatkan, menguduskan dan membimbing, yang hidup, bersabda, membangkitkan, menggerakkan, memulihkan, mengadili, mengampuni, dan menyertai kita dari hari ke hari sepanjang jalan sejarah. Sang Guru selalu datang dan akan datang dalam kemuliaan.” (dikutip dari Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae, 9).
Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan
Di tengah kerakusan akan penghormatan, yang sering diperkuat dengan melanggengkan kuasa dalam hidup keagamaan, Yesus menekankan kerendahan hati. Santo Paulus menulis (Flp. 2:8), “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”, humiliavit semet ipsum factus oboediens usque ad mortem mortem autem crucis.
Meneladan Tuhan, setiap murid-Nya harus merendahkan diri. Mereka yang merendahkan diri akan ditinggikan, karena Allah. Santo Yakobus menyingkapkan bahwa Allah menentang kecongkakan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak 4:6).
Ketika orang tidak merendahkan hatinya, ia akan direndahkan. Kerendahan hati memutus kesombongan yang menuntun manusia jatuh dalam dosa.
Sabda-Nya (Mat. 23:12), “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”, Qui autem se exaltaverit, humiliabitur; et, qui se humiliaverit, exaltabitur.
Maka, kerendahan hati mengarahkan setiap murid Yesus menghayati (Mat. 23:11), “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”, Qui maior est vestrum, erit minister vester.
Katekese
Allah adalah Bapa dan Guru kita. Santo Hieronimus, 347-420:
“Tak seorang pun layak disebut guru atau bapa kecuali Allah Bapa dan Tuhan kita, Yesus Kristus. Hanya Dialah Bapa kita, karena segala sesuatu berasal dari-Nya. Hanya dialah Sang Guru, karena melalui-Nya segala sesuatu diciptakan dan melalui-Nya segala sesuatu diperdamaikan dengan Allah.
Tetapi orang mungkin bertanya, “Apakah berlawanan dengan ajaran ini ketika sang rasul menyebut dirinya guru bangsa-bangsa bukan Yahudi? Atau ketika, seperti dalam pembicaraan uang umum ditemukan di pertapaan-pertapaan di Mesir dan Palestina, para rahib saling memanggil bapa atau romo?”
Ingatlah perbedaan ini. Bedakan: menjadi bapa atau guru karena kodrat dan, di lain pihak, menjadi demikian karena kemurahan hati. Karena ketika kita memanggil bapa pada seorang laki-laki karena menghormati usianya, maka kita mungkin gagal menghormati Pencipta hidup kita sendiri.
Orang yang dengan tepat disebut sebagai guru hanya dari persatuannya dengan Sang Guru sejati. Saya ulang: iman kita akan satu Allah dan satu Anak Allah tidak menghalangi yang lain dipahami sebagai anak-anak Allah karena diangkat-Nya.
Hal yang sama seperti tidak menjadikan istilah bapa dan guru tidak bermakna atau menghalangi orang untuk disebut sebagai bapa.” (dikutip dari Commentary On Matthew).
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau telah menjadi Hamba untuk membebaskan kami dari perbudakan kesombongan dan sikap mementingkan diri sendiri. Ajarilah aku untuk menjadi rendah hati dan mengasihi sesama dengan murah hati. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk menghancurkan kesulitanku menjadi rendah hati?
Qui maior est vestrum, erit minister vester – Matthaeum 23: 11