Home BERITA Lectio Divina 22.03.2021 – Kembali kepada-Nya

Lectio Divina 22.03.2021 – Kembali kepada-Nya

0
Ia menulis di atas tanah by Catholic Resources.

Senin.Pekan Prapaskah V (U)

  • Dan. 13:41c-62.
  • Mzm. 23:1-3a.3b-4.5.6.
  • Yoh. 8:1-11.

Lectio

1 Tetapi Yesus pergi ke Bukit Zaitun. 2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.

4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” 6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya.

Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” 8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.

9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”

11 Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Meditatio-Exegese

Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia

Yohanes menggunakan kata πειραζοντες, peirazontes, dari kata kerja peirazo, mencobai, menguji. Makna yang dimaksud Yohanes adalah mencobai, seperti yang dilakukan setan di gurun ketika Yesus berpuasa selama 40 hari (Mat. 4:1-11; Luk 4:1-13).

Kali ini, kaum Farisi-lah menjadi pelaku pencobaan terhadap Yesus.

Pagi-pagi buta, di Bait Allah,  orang Farisi dan ahli Taurat membawa kepada-Nya seorang perempuan yang tertangkap tertangkap tangan melakukan perzinahan. Santo Yohanes menggunakan ungkapan ἐπαυτοφώρῳ, epautophor, tertangkap basah sedang melakukan tindak kejahatan, yakni: zinah.

Saat menangani kasus yang diserahkan kepada para pemuka agama, mereka justru tidak menangani dengan semestinya. Kuasa telah diselewngkan.

Mereka sudah kehilangan belas kasih untuk menolong perempuan malang dan menjauhkannya dari malapetaka yang menimpa perempuan itu. Justru, mereka memperalat perempuan itu untuk menjebak Yesus.

Mereka bertanya (Yoh. 8:5), “Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian.

Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”, In lege autem Moyses mandavit nobis huiusmodi lapidare; tu ergo quid dicis?

Hukum Musa menetapkan hukuman mati dengan pelemparan batu bagi laki-laki dan perempuan yang tertangkap tangan melakukan perzinahan (Im. 20:20; Ul. 22:22.24). Hukum dan tradisi Yahudi memperpanjang daftar kejahatan berat yang dapat dihukum mati, termasuk perzinahan.

Rajam atau melempari sampai mati dipraktikkan secara umum, seperti jelas dilukiskan Nabi Yehezkiel (Yeh 16:40). Yesus barangkali membayangkan kisah Susana saat akan dihukum rajam atas tuduhan palsu perzinahan.

Susana menengadah ke langit. Tatapan matanya menembus pintu sorga dan menggoncang perasaan Allah (Tamb. Dan. 13: 35). “Maka Tuhan mendengarkan suaranya … maka Allah membangkitkan roh suci dari seorang anak muda, Daniel namanya ” (Tamb. Dan. 13:44-45).  

Ia kemudian berbicara atas nama Allah, “Demikian bodohkah kamu, hai orang Israel? Adakah kamu menghukum seorang puteri Israel tanpa pemeriksaan dan tanpa bukti? Kembalilah ke tempat pengadilan, sebab kedua orang itu memberikan kesaksian palsu terhadap orang ini!” (Tamb. Dan. 13:49-49). 

Sesuai dengan Taurat Musa kedua orang itu dilempari batu hingga ajal (Tamb. Dan. 13:1-9,15-17,19-30,33-62).

Demikianlah pada hari itu diselamatkan darah yang tidak bersalah (Tamb. Dan. 13:62).  

Jika Yesus menjawab, “Jangan hukum dia,” mereka akan berkata, “Dia bukan guru yang benar, karena Dia tidak taat melaksanakan hukum.”

Jika Yesus menjawab, “Hukumlah dia,” mereka pasti berkata, “Kami tidak mempercayaiNya! Bagaimana mungkin orang yang bersahabat dengan pendosa, sekarang, justru menghukum pendosa?”

Berkerudung ketaatan pada Allah, mereka memanipulasi hukum untuk menjebak Yesus.

Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa

Reaksi Yesus ternyata mengejutkan mereka. Ia tidak menjawab. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Yesus menulis sesuatu di tanah.

Dalam Kitab Suci, kata ‘menulis’ selalu bermakna “mencatat perkara atau sesuatu terhadap seseorang”, misalnya, “Engkau menulis hal-hal yang pahit terhadap aku dan menghukum aku karena kesalahan pada masa mudaku.” (Ayb. 13:26).

Mungkin Yesus mencatat daftar dosa yang diperbuat oleh para penuntut-Nya yang sedang berdiri di hadapan-Nya. Sekarang Yesus menantang mereka.

Setelah didesak, Ia bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka (Yoh 8:7), “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”, Qui sine peccato est vestrum, primus in illam lapidem mittat.

Para ahli Kitab dan kaum Farisi pasti melakukan dosa yang lebih besar dari perempuan itu, saat mereka menilik hati mereka sendiri.

Seharusnya mereka tidak menjadikan perempuan malang itu sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri demi menjebak Yesus dan berujung pada hukuman mati bagi-Nya.

Seharusnya mereka berbelas kasih pada perempuan itu dan membantu bangkit dari keterpurukan.

Maka, konsekuensi dari jawaban Yesus adalah jika kamu menyalahkan perempuan itu, kamu harus menyalahkan dirimu terlebih dahulu.

Jika kamu merajam perempuan itu, kamu harus merajam dirimu sendiri lebih dahulu. Dan jika kamu membakarnya, kamu harus membakar dirimu sendiri lebih dahulu.

Yesus bertindak bijaksana. Ia tetap mempertahankan hukuman mati sampai perempuan itu memang layak menerima hukuman itu.

Namun, Ia menambahkan bahwa para penuntut harus tidak membabi buta menerapkan hukum. Ia mengundang mereka untuk berbelas kasih, karena dari luar mereka tampak suci, sebaliknya penampilan luar mereka mencerminkan dosa.

Mereka seharusnya mengakui dosa dan memohon pengampunan di hadapan Allah dan sesama.

Maka, Santo Agustinus bertanya, “Kamu telah mendengar, hukum harus dipenuhi. Perempuan ini harus dirajam. Tetapi, dalam menghukumnya, apakah hukum harus dipenuhi oleh mereka yang lebih layak mendapatkan hukuman itu?”

Yesus memberi ruang dan waktu untuk merenung dan menyelidiki hati masing-masing. Dampaknya luar biasa: masing-masing pergi meninggalkan-Nya  dan perempuan itu. Dimulai dari yang tertua.

Akhirnya, yang dihadapkan pada peradilan Yesus hanya si perempuan. Hukum selalu tajam pada yang lemah, termasuk kaum perempuan. 

Jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang

Ketika tinggal mereka berdua di tempat itu, Yesus mengungkapkan belas kasih-Nya dan berpesan agar tidak berbuat dosa lagi.

Sabda Yesus (Yoh 8:11), “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Nec ego te condemno; vade et amplius iam noli peccare.  

Ia membiarkan perempuan itu kembali menilik hatinya untuk menimbang dan memilih. Ia dan para murid memilih kembali ke cara hidup yang lama atau menghayati hidup baru dalam dalam kerajaanNya.

Yesus mengampuninya dan mendorongnya memulai hidup baru.

Maka, rahmat-Nya selalu memampukan kita untuk mengalahkan dosa. Tiap pribadi meninggalkan ketidak setiaan kepada Allah dan kembali kepada-Nya dengan hati penuh penyesalan.

Ungkapan yang pantas adalah syukur atas pengampunan dan belas kasih-Nya.

Katekese

Ditolong oleh rahmat Kristus. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430 :

“Tak seorang pun dari kita mampu melakukan perbuatan baik jika tidak ditolong oleh rahmat Kristus. Jika kita melakukan apa yang jahat, perbuatan itu selalu berasal dari diri kita sendiri. Sebaliknya, jika kita melakukan apa yang baik, kita melakukan kebaikan atas pertolongan Allah.

Maka, mari kita bersyukur pada Allah yang memungkinkan kita melakukan perbuatan baik. Dan jika kita melakukan kebaikan, kita tidak menghina seorang pun, termasuk yang tidak melakukan hal yang sama.

Mari kita tidak memuji diri sendiri karena merasa unggul atas orang lain” (dikutip dari Commentary on Psalm 93,15

Oratio-Missio

  • “Allah Bapa kami, kami mengalami kesulitan untuk menghadapmu, karena pengenalan kami padaMu tidak sempurna. Dalam kebodohan kami, kami membayangkan bahwa Engkau selalu memusuhi kami. Pikiran kami keliru bahwa Engkau suka menghukum dosa kami. Dan dengan cara yang bodoh kami meyakin bahwa Engkau begitu kejam terhadap kami, manusia.

Namun, sejak Yesus mendatangi dan tinggal bersama kami, Ia menunjukkan betapa besar kasih-Mu, betapa Engkau berada di pihak dan membela kami melawan mereka yang mengancam hidup kami. Terlebih, apa yang kami duga terhadap-Mu ternyata keliru dan tanpa dasar.

Maka, kami datang pada-Mu, memohon pengampunan atas kebodohan kami di masa lalu, dan hendak mengenalmu lebih dalam. Kami juga hendak memohon belas kasih-Mu. Dengan perantaraan Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin.” (Doa Santo Augustinus, terjemahan bebas).

  • Apa yang harus kulakukan untuk membela mereka yang lebih lemah dari padaku, yang lemah, miskin, sakit, difabel?          

Dixit autem Iesus, “Nec ego te condemno; vade et amplius iam noli peccare.” – Ioannem 8:11

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version