Minggu. Pekan Biasa XIII (H)
- Keb.1: 13-15; 2:23-24.
- Mzm.30: 2.4.5-6.12a-13b.
- 2Kor. 8: 7.9.13-15
- Mrk.5: 21-43.
Lectio
Mrk.5:21-43
Meditatio-Exegese
Maut tidak dibuat oleh Allah
Allah tidak menciptakan maut dan dosa. Maut bermakna ketiadaan hidup, sama dengan kegelapan yang berarti ketiadaan terang, atau dingin berarti tiadanya panas. Dosa dan maut berarti tiadanya kehadiran Allah.
Dosa tidak pernah ada dengan sendirinya. Ia sama dengan kegelapan dan dingin. Kata ini diciptakan untuk melukiskan ketiadaan lawan katanya.
Maka, dosa tidak sama dengan iman atau kasih. Keduanya merupakan anugerah karena perjumpaan dengan Allah.
Dosa adalah akibat yang harus ditanggung seseorang ketika ia menolak mengalami kasih Allah di dalam hatinya. Atau ketika ia memilih berpihak pada kuasa setani dan seluruh malaikatnya dan menentang Allah.
Allah selalu mencipta hidup. Ia menciptakan segala sesuatu dengan baik.
Enam kali penulis suci menyingkapkan Allah memandang ciptaan-Nya “baik” (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Dan, saat Ia memandang penciptaan manusia Ia memandang sebagai “sungguh amat baik.” (Kej. 1:31).
Allah menciptakan manusia serupa dengan gambar dan citra-Nya (Kej. 1:27). Dan Ia merencanakan agar manusia, pria dan wanita, hidup selama-lamanya dalam keadilan dan persahabatan dengan Allah, Sang Pencipta.
Kematian fisikal terjadi karena irihari yang tersimpan dalam hati setan atas posisi manusia yang sangat istimewa dalam rencana keselamatan Allah (Kem. 2:24).
Kata Yunani diabolos, bermakna: penuduh. Kata ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani satan.
Saat kebenciannya menggelegak, setan mengambil rupa seekor naga atau ular tua (Why. 12:9). Ia menggoda leluhur manusia untuk memberontak melawan Allah. Godaannya membawa hasil.
“Keselarasan yang mereka miliki berkat keadilan asli, sudah rusak; kekuasaan kemampuan-kemampuan rohani dari jiwa atas badan, sudah dipatahkan; kesatuan antara pria dan wanita mengalami ketegangan; hubungan mereka ditandai dengan keinginan dan nafsu untuk berkuasa.
Juga keselarasan dengan ciptaan rusak: ciptaan kelihatan menjadi asing dan bermusuhan dengan manusia. Karena manusia, seluruh makhluk “telah ditaklukkan kepada kesia-siaan.” (Rm 8:20).
Akhirnya akan jadilah akibatnya, yang telah diramalkan dengan jelas sebelum dosa ketiaktaatan: “manusia adalah debu, dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19).
Maut memasuki sejarah umat manusia.” (Katekismus Gereja Katolik, 400)
Dosa mereka menyebabkan keterpisahan dari persahabatan dan relasi mesra dengan Allah. Kematian fisikal menjadi simbol kematian rohani, yakni: keterpisahan permanen dari persekutuan dengan Allah.
Dosa mereka diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan, yaitu melalui penerusan kodrat manusia. Kodrat manusia yang secitra dengan Allah rusak dan keadaan rusak ini terus dan dikembang biakkan oleh satu pribadi, keluarga, kaum, dan akhirnya, seluruh bangsa manusia.
Gereja memandang situasi dosa ini sebagai “dosa asal”.
Dosa mereka mengakibatkan pemisahan dari persekutuan ilahi dan kehilangan keputraan ilahi dalam kehilangan kasih karunia mereka. Kematian jasmani menjadi simbol kematian rohani yaitu keterpisahan permanen dari persekutuan dengan Tuhan.
Dosa mereka menjadi dosa bersama dari semua keturunan mereka karena manusia sejak saat itu tidak berayahkan secara sempurna dalam keadaan dosa yang diwarisi oleh keturunan mereka.
Gereja menyebut kondisi ini “dosa asal” (Katekismus Gereja Katolik, 400-1, 409, 399).
Santo Yohanes mengajarkan bahwa Yesus datang untuk menghancurkan pekerjaan setan, memisahkan manusia dari kuasa dosa dan maut, dan memulihkan kodrat ilami manusia sebagai citra Allah yang seharusnya hidup dalam persekutuan dengan Allah.
Santo Yohanes mengajar, “Orang yang berbuat dosa berasal dari setan karena setan telah berdosa sejak semula. Anak Allah datang untuk tujuan ini: menghancurkan perbuatan-perbuatan setan.” (1 Yoh.3: 8).
Karena pekerjaan setan telah dihancurkan, Kritus memulihkan kemanusiaan pada keadaan asalinya, yang penuh rahmat. Dan Ia juga menjanjikan hidup kekal kepada manusia.
Anak ini tidak mati, tetapi tidur
Yairus, kepala sinagoga Kapernaum, bertemu Yesus tanpa takut dan malu. Kata Ibrani ya’ir bermakna Allah akan membangunkan. Nama ini mengantisipasi apa yang akan terjadi di akhir cerita.
Meninggalkan penolakan, syak-wasangka, dan kebencian pada Yesus, Yairus berlutut memohon pertolongan Yesus supaya Ia menyembuhkan anakNya, 12 tahun, yang sedang sakit, bahkan hampir mati. Tindakan berlutut, diungkap dalam bahasa Latin, procedere ad pedes, merupakan ungkapan perendahan diri.
Sebagai kepala sinagoga, hidupnya pasti berkecukupan. Ia pasti sudah mengusahakan pengobatan untuk anaknya. Tetapi para tabib gagal. Satu-satunya harapan terletak pada Yesus.
Yairus pasti kenal dengan Orang Nazaret itu, karena Ia sering masuk ke sinagoga Kapernaum setiap hari Sabat dan mengajar di sana.
Yairus meletakkan harapan pada Yesus, yang ditolak oleh bangsanya sendiri. Kalau Yairus percaya pada Yesus, orang-orang di rumahnya justru tidak.
Mereka malahan mentertawakan Yesus, ketika Ia bersabda (Mrk 5:39), “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur.” Quid turbamini et ploratis? Puella non est mortua, sed dormit.
Ketidak percayaan ini sama dengan ketidak-percayaan Sara, “Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” (Kej 18:12).
Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh
Perempuan tua yang menderita sakit pendarahan memiliki harapan sembuh hanya pada Yesus. Pendarahan yang dideritanya selama 12 tahun membuatnya selalu dalam keadaan najis, karena darah terus mengalir dari tubuhnya (bdk. Im. 15:19-30).
Ia dikucilkan dari pergaulan dengan sesama manusia dan dari Allah dalam peribadatan di sinagoga. Bahkan ia tidak diperkenankan untuk makan bersama.
Perempuan tua ini pasti mengupayakan pengobatan. Tetapi sudah kehabisan biaya sejak lama. Maka ia meletakkan satu-satunya harapan pada Yesus.
Saat berjumpa dengan-Nya, ia melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum kenajisan.
Kalau ia menyentuh jubah Yesus, ia menjadikan Yesus najis juga. Namun, tindakan itu, ternyata membuat “tenaga keluar dari-Nya.” (Mrk. 5:30).
Perempuan itu menerima tenaga Yesus, δυναμιν, dunamin, dari kata δυναμεις, dunameis, mukjizat, yang menyebabkan kesembuhan. Tindakan iman itulah yang menyebabkannya sembuh.
Yesus tahu kalau ada orang yang menyentuh jubah-Nya. Maka Ia bertanya, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?” (Mrk 5:30). Pertanyaan ini mengingatkan ketika Allah bertanya pada Adam dan Hawa, “Di manakah engkau?” (Kej 3:9).
Yesus menyapa perempuan yang sakit itu untuk meminta pengakuan iman. Sedangkan pada Adam dan Hawa, Allah meminta untuk mengakui dosa.
Setelah mengisahkan apa yang dialami, Ia menjawab (Mrk. 5:34), “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu.” Filia, fides tua te salvam fecit. Vade in pace et esto sana a plaga tua.
Kepada kedua perempuan itu, Yesus menyapa sebagai: anak-Ku. Ia memancarkan wajah Allah yang tidak bertanya tentang dosa, tetapi merentangkan dan menumpangkan tanganNya yang penuh pengampunan dan kerahiman.
Katekese
Penderitaan orang tua yang berlangsung lama. Santo Petrus Chrysologus, 400-450:
“Jika menyenangkan hatimu, mari kita bicara sebentar tentang rasa sakit dan kecemasan yang dirasakan dan ditanggung orang tua dalam kesabaran karena kasih dan perhatian mereka untuk anak-anak mereka.
Dalam kisah ini, di kelilingi seluruh kerabat dan dipenuhi rasa sayang dan perhatian dari sanak keluarga, anak perempuan itu berbaring di tempat tidur karena menderita sakit. Tubuhnya melemah. Budi dan jiwa bapaknya terkoyak oleh kecemasan.
Anak perempuan menderita karena deraan penyakitnya. Sang ayah, yang lusuh dan lunglai, terpuruk dalam kesedihan. Ia menderita dan mananggung keletihan jiwa di hadapan tatapan seluruh mata.
Anak itu sedang tenggelam dalam kematian yang datang dalam sunyi … Celaka.
Mengapa anak-anak tidak memperhatikan hal ini! Mengapa mereka tidak memperhatikan orang tua mereka sendiri? Mengapa mereka tidak ingin segera membalas budi baik orang tua mereka?
Namun, kasih orang tua tidak pernah kenal putus. Dan, atas apa pun yang dicurahkan orang tua pada anak mereka, Allah, Orangtua kita semua, pasti akan membalas dengan berkelimpahan.” (dikutip dari Sermon 33.2)
Oratio-Missio
Tuhan, Engkau mengasihi kami masing-masing dengan caraMu sendiri. Sentuhlah hidupku dengan kuasa penyelamatanMu, sembuhkanlah dan pulihkanlah aku agar aku sembuh. Dan, nyalakanlah api cintaMu dalam hatiku agar mampu melayani sesamaku. Amin.
- Apa yang perlu aku lakukan untuk ambil bagian mengatasi pademi?
Filia, fides tua te salvam fecit. Vade in pace et esto sana a plaga tua – Marcum 5: 34