Selasa. Minggu Adven I. Pesta Santo Fransiskus Xaverius (P)
- 1Kor 9:16-19.22-23
- Mzm 117:1.2
- Mrk 16:15-20
Lectio
15 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. 16 Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. 17 Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, 18 mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun yang mematikan, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.”
19 Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. 20 Mereka pun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.
Meditatio-Exegese
Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk
Yesus mencela ketidakpercayaan para murid pada orang-orang yang telah menyaksikan bahwa Ia bangkit (Mrk. 16:14). Mereka tidak percaya pada Maria Magdalena (Mrk. 16:11); dua orang murid yang pergi ke luar kota dalam karena tidak percaya akan kesaksian murid yang lain (Mrk. 16:13).
Kecaman Yesus ditulis karena penulis Injil hendak mendidik umat yang diasuhnya. Pertama, iman pada Yesus bertumbuh dari iman yang dihayati oleh para saksi. Kemudian, tiap pribadi yang percaya selalu berpegang teguh pada iman walaupun sering terbersit keraguan dalam hatinya, termasuk keraguan kesebelas murid utama-Nya.
Setelah Yesus meyakinkan mereka untuk percaya akan kebangkitan-Nya, yang membuat pemberitaan Injil dan iman mereka tidak sia-sia (bdk. 1Kor. 15:14), Yesus mengutus mereka untuk memberitakan Injil ke seluruh penjuru dan makhluk (bdk. Mat. 29:19-20; Luk. 24:46-48).
Sabda-Nya (Mr. 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”, Euntes in mundum universum praedicate evangelium omni creaturae.
Perintah untuk memberitakan Injil berasal dari Kristus, yang memerintahkan para Rasul-Nya ke seluruh dunia. Tugas pengutusan yang sama diemban oleh para pengganti mereka, para uskup dalam ikatan kesatuan dengan pengganti Petrus, Paus.
Tentang tugas pengutusan, para Bapa Konsili Vatikan II mengajar, “Gereja diciptakan untuk menyebar luaskan kerajaan Kristus di mana-mana demi kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikutsertakan semua orang dalam penebusan yang membawa keselamatan…
Semua kegiatan Tubuh Mistik, yang mengarah kepada tujuan itu, disebut kerasulan. Kerasulan itu dilaksanakan oleh Gereja melalui semua anggotanya, dengan pelbagai cara. Sebab panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. […]
Dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan pengutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya.
Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja dan di dunia.” (Dekrit tentang Kerasulan Awam, Kegiatan Merasul, Apostolicam Actuositatem, 2).
Bapa Konsili Vatikan II juga mengajar bahwa “semua orang beriman kristiani mengemban beban mulia, yakni berjerih-payah, supaya warta keselamatan ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang di mana-mana.” (Dekrit tentang Kerasulan Awam, Kegiatan Merasul, Apostolicam Actuositatem, 3).
Pewartaan Injil berbuah pada iman dan pembaptisan yang menjadi syarat mutlak untuk menerima anugerah keselamatan. Dan Gereja Gereja tidak mengenal sarana lain Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi (Katekismus Gereja Katolik, 1257).
Gereja mengajar, “Pembaptisan adalah Sakramen pertama dan terpenting demi pengampunan dosa. Ia menyatukan kita dengan Kristus, yang telah wafat untuk dosa kita dan yang telah dibangkitkan demi pembenaran kita (bdk. Rm 4:25), supaya “kita hidup sebagai manusia yang baru” (Rm. 6:4)” (Katekismus Gereja Katolik, 977).
Yang dapat dibaptis ialah setiap dan hanya manusia yang belum dibaptis. Orang dewasa dapat dibaptis setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima baptis, mendapatkan pengajaran yang cukup tentang kebenaran iman dan kewajiban kristiani serta telah teruji dalam hidup kristiani selama masa katekumenat serta menyesali dosa-dosanya (Kitab Hukum Kanonik, 864-865).
Di samping baptis secara biasa, “Gereja sudah sejak dahulu yakin bahwa orang-orang yang mengalami kematian karena iman, tanpa sebelumnya menerima Pembaptisan, telah dibaptis untuk dan bersama Kristus oleh kematiannya. Pembaptisan darah ini demikian pula kerinduan akan Pembaptisan menghasilkan buah-buah Pembaptisan walaupun tidak merupakan Sakramen.” (Katekismus Gereja Katolik, 1258).
Selanjutnya, Gereja memandang penting pembaptisan bayi sejak kelahirannya. Origenes, bapa Gereja dari Alexandria, 248 Masehi, menulis, “Gereja menerima dari para Rasul tradisi pemberian Sakramen Baptis, termasuk untuk bayi-bayi. Para rasul, yang diwarisi sakramen-sakramen yang suci bagi Gereja, sadar bahwa dalan diri tiap orang terwariskan dosa asal, yang harus dibersihkan melalui air dan Roh.” (Commentaries on Romans 5:9).
Kitab Hukum Kanonik menekankan, “Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu. Bila bayi berada dalam bahaya maut, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.” (Kanon 867).
Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya
Pada awal mula Gereja Perdana, mukjizat sering terjadi di muka umum. Terdapat cukup banyak laporan peristiwa adi kodrati dalam Perjanjian Baru, misalnya: Kis. 3:1-11; 28:3-6 dan kesaksian tertulis lain dari masa Gereja Perdana.
Mukjizat sangat dipandang sesuai dengan tantangan zaman saat itu, karena peristiwa adi kodrati menyajikan bukti nyata kebenaran Kristianitas. Peristiwa ini masih terjadi hingga kini, walau sudah jarang dan sangat istimewa.
Setelah menyelesaikan tugas pengutusan-Nya dan memberikan mandat untuk mewartakan Injil kepada para murid, Yesus naik ke surga dan duduk di sisi kanan Bapa. Ia naik ke surga dengan tubuh dan jiwa untuk bertahta di kerajaan yang dimenangkan-Nya melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Why. 3:21).
Ungkapan duduk di sisi Bapa bermakna bahwa Yesus Kristus, yang sehakikat dengan Bapa-Nya, menempati tempat kehormatan tertinggi. Perjanjian Lama pun menyingkapkan martabat tertinggi yang dimiliki Mesias, Dia yang diurapi Allah (bdk. Mzm. 110:1); dan Perjanjian Baru pun mencatat kebenaran yang sama di banyak tempat (bdk. Ef. 1:20-22; Ibr. 1:13).
Setelah Yesus naik ke surga, tugas pengutusan-Nya tetap diteruskan. Ia, yang hidup di Palestina dan menerima kaum miskin dan menyingkapkan belas kasih Bapa pada mereka, tetap hidup di tengah umat-Nya dan terus hadir saat dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya (bdk. Mat. 16:13-20; Mat. 18:20).
Gereja yang didirikan-Nya terus menjadi saksi dan mewartakan kebangkitan-Nya ke seluruh penjuru dunia. Tugas pengutusan ini selalu dihalangi, dikejar-kejar, bahkan dicoba dibungkam oleh mereka yang hidup di bawah bayang-bayang budaya kematian, yang lebih memilih kehancuran, ketidakadilan, ketamakan, permusuhan percabulan, kenajisan, hawa nafsu dan sebagainya (bdk. Gal. 5:19-21).
Di tengah hujan ancaman budaya kematian, tiap anggota perlu takut, karena tidak ada satu pun kekuatan yang mampu memisahkannya dari iman akan kebangkitan dan kasih-Nya. Paulus menulis, “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?” (Rm. 8:35).
Tetapi tiap generasi Katolik, tiap pria dan wanita, mewartakan Injil dengan cara masing-masing. Tangan Allah selalu menyertai mereka, seperti nubuat Nabi Yesaya, “Sesungguhnya, tangan Tuhan tidak kurang panjang.”, Non est abbreviata manus Domini.
Penulis Injil pun mencatat (Mrk. 16:20), “Mereka pun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.”, Illi autem profecti praedicaverunt ubique, Domino cooperante et sermonem confirmante, sequentibus signis.
Katekese
Ikuti langkah-langkah-Nya. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 1936:
Saat Yesus naik ke surga dan kembali kepada Bapa, Ia tidak pernah memisahkan diri dari kita. Sebaliknya, Ia mendahului kita ke tempat tujuan kita, surga. Sama seperti ketika seseorang mendaki gunung, ia berjalan mendahului kita.
Dengan mengatasi kesulitan, akhirnya, di satu tikungan, cakrawala terbuka dan ia melihat pemandangan indah. Kemudian, seluruh tubuh mendapatkan kembali kekuatan untuk melakukan pendakian terakhir. Seluruh tubuh, lengan, kaki dan tiap otot, menegang dan memusatkan diri untuk mencapai puncak. […]
Yesus menyadarkan dan menyingkapkan kepada kita keindahan tanah air yang kita tuju melalui sabda dan rahmat sakramen-sakramen-Nya. Maka, kita, anggota Gereja-Nya, akan naik bersama dengan Dia, Pemimpin kita, yang tahu jalan yang dilalui-Nya dan akan dilalui seluruh anggota-Nya. Ia tidak akan meninggalkan seorang pun di belakang, karena kita satu tubuh (bdk. Kol. 1:18; 1Kor. 12:12-27).
Dengarkan baik-baik: langkah demi langkah, satu demi satu, Yesus menunjukkan jalan-Nya kepada kita. Apa saja langkah-langkah yang harus diambil?
Injil hari ini mengatakan, “Beritakanlah Injil, baptislah, usirlah setan, peganglah ular, penumpangkanlan tangan atas orang sakit.” (bdk. Mrk. 16:16.18). Ringkasnya, melaksanakan karya amal kasih: memberi kehidupan, menyalakan harapan, menghalau kejahatan dan keburukan, mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, dan sehati-seperasaan dengan mereka yang menderita.
Ini adalah “langkah demi langkah”-Nya. Dan semakin biasa kita menapaki langkah-langkah-Nya, semakin dalam kita diubah oleh Roh. Seperti di pegunungan, semakin kita mengikuti teladan-Nya, kita merasakan udara di sekitar kita semakin segar dan bersih, cakrawala semakin luas dan tujuan semakin dekat. Kata-kata dan gerak tubuh kita semakin baik, pikiran dan hati semakin damai dan napas semakin lega.
Maka kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah kerinduan pada Allah, hasrat untuk mengasihi-Nya tanpa batas, dan kerinduan akan hidup kekal, menyala dalam diriku? Atau apakah suara hatiku tumpul dan terpaku pada hal yang sepele, atau uang, atau kesuksesan, atau kesenangan?
Dan apakah kerinduanku akan Surga mengucilkanku, atau mengunci diriku, atau malah menuntunku untuk mencintai saudara-saudariku dengan hati yang besar dan tanpa pamrih dan merasa bahwa mereka adalah teman seperjalananku menuju Surga?” (Regina Caeli, Lapangan Santo Petrus, 12 Mei 2024)
Oratio-Missio
Tuhan, kobarkanlah hatiku untuk mewartakan Injil-Mu tanpa takut dan gentar pada halangan dan rintangan. Amin.
Illi autem profecti praedicaverunt ubique, Domino cooperante et sermonem confirmante, sequentibus signis – Marcum 16:20