Minggu. Hari Minggu Biasa IV (H)
- Yer. 1:4-5.17-19
- Mzm. 71:1-2.3-4a.5-6ab.15ab.17
- 1Kor. 12:31-13:13
- Luk. 4:21-30
Lectio
21 Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” 22 Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
23 Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” 24 Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.
25 Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. 26 Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.
27 Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.” 28 Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu.
29 Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. 30 Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.
Meditatio-Exegese
Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau
Nabi Yeremia layak diteladani atas keterlibatan total dalam pelayanan kepada Allah. Yeremia, yang berasal dari keluarga imam, dilahirkan di Anatot, beberapa kilometer sebelah utara Yerusalem.
Ia dipanggil untuk melayani Allah sebagai nabi pada usia sangat muda, 20 tahun, pada 626 sebelum Masehi.
Selama 40 tahun melaksanakan tugas perutusannya, sang nabi berkhotbah tentang makna penting pembaharuan perjanjian dengan Yahwe pada masa Raja Yosia, 621 sebelum Masehi.
Ia mengalami tiga peperangan – melawan Mesir (609), Babel (597 dan 587); menjadi saksi penghancuran Bait Allah dan pembuangan penduduknya ke Babel (597, 587 dan 582).
Terlebih, sang nabi mengalami jaman keemasan pada masa Raja Yosia (639-609 sebelum Masehi) hingga masa yang paling kelam, keruntuhan wangsa Daud (609-587 sebelum Masehi). Keterlibatan yang begitu intens membuat nabi sering disebut sebagai manusia segala jaman.
Kisah panggilan Nabi Yeremia menyingkapkan Allah memanggil setiap orang sejak kekal. Panggilan selalu berasal dari kehendak-Nya, tanpa jasa manusia sedikit pun.
Panggilan juga bukan merupakan proses yang kebetulan terjadi, tetapi selalu menjadi bagian dari providentia Dei, penyelenggaraan Allah.
Mengagumkan cara Allah menciptakan manusia, seperti tukang tenun kain. Sebelum membentuk Yeremia dalam rahim ibunya dengan cara memintal helai demi helai benang menjadi kain, Ia telah mengenalnya. Sabda-Nya (Yer. 1:5), ”Aku telah mengenal engkau.”, novi te.
Ungkapan ‘mengenal’, noscere, dalam tradisi Kitab Suci selalu bermakna ‘memiliki relasi yang sangat mesra, intim, seperti suami-isteri’. Karena Ia mengenal Yeremia, Ia memilih dan menetapkannya untuk melaksanakan tugas perutusan yang dikhususkan baginya (bdk. Am 3:2; Rm 8:29).
Allah memiliki rencana untuk tiap pribadi dan menganugerahi masing-masing talenta yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas perutusannya hingga berhasil.
Masing-masing pribadi yang melaksanakan rencana dan mengabdi pada-Nya pasti dikuduskan sebelum ia dilahirkan. Dengan kata lain, Allah selalu mempersiapkan masing-masing pribadi untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Santo Yohanes Chrysostomus menulis, “Akulah Dia yang menenun helai demi helai dalam kandungan ibumu. Hidupmu bukanlah buatan alam, atau buah penderitaan. Akulah awal dan penyebab segala ciptaan: engkau harus menaati dan mempersembahkan dirimu pada-Ku.
Hidupmu tidak dimulai dari Aku menguduskanmu. Pertama-tama, Aku mengenalmu; lalu Aku menguduskanmu. Maka, pilihan awal disingkapkan; dan setelah pilihan pilihan itu, baru disingkapkan panggilan khusus.” (Fragmenta in Ieremiam, 1).
Yeremia tahu betapa berat tugas seorang nabi. Maka, ia berusaha menolak panggilan Allah dengan dalih (Yer 1:6), “Ah, Tuhan ALLAH. Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.”, Heu, Domine Deus! Ecce nescio loqui, quia puer ego sum.
Musa juga menolak panggilan-Nya dengan alasan yang sama (bdk. Kel. 4:10-13). Satu-satunya penghiburan yang menguatkan sang nabi hanya sabda-Nya (Yer. 1:8), “Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau.”, Ne timeas a facie eorum, quia tecum ego sum, ut eruam te.
Allah tak pernah ingkar janji untuk menyertai siapa pun yang melaksanakan tugas perutusan-Nya (bdk. Kel. 4:12; Yos. 1:5.9; Hak. 6:16; 1Sam. 3:19; 16:13; Mat. 28:20).
Terlebih, gerak sibolik tangan Allah yang menyentuh mulut Yeremia menyingkapkan bahwa melalui mulut Nabi Yeremia Allah berbicara pada umat. Gerak simbolik ini selalu disingkapkan dalam panggilan para nabi (bdk. Yes. 6:7; Yeh. 2:8-3:3; Dan. 10:16).
Maka, tidak ada alasan bagi setiap pribadi anggota umat Allah untuk menutup telinga padanya. Allah tidak berbicara melalui nabi palsu, “Aku tidak mengutus para nabi itu, namun mereka giat; Aku tidak berfirman kepada mereka, namun mereka bernubuat.” (Yer. 23:21).
Tugas perutusan sang nabi tidak mudah. Sangat berat dan membutuhkan keberanian hambir-hampir di luar batas. Terlebih, ia mengalami penolakan, pengejaran, pembuangan dan, bahkan, penyiksaan di luar batas yang mampu ditanggung manusia.
Umat yang menolak nabi sama dengan menolak Allah. Dan untuk menjadi taat pada-Nya, setiap pribadi harus mencabut, membuang dan menghancurkan duri yang tumbuh melilit di hati.
Santo Gregorius Agung menulis, “Orang tidak mampu membangun bila apa yang mengganggu pondasi rumah belum dihancurkan.
Dengan kata lain, Kabar Suka Cita yang diwartakan akan menjadi sia-sia jika duri-duri cinta diri belum dicabut dari hati para pendengar warta.” (Liber Regulae Pastoralis, 3,34).
Yeremia mengalami kematian tragis. Menurut tradisi suci, ia dibuang ke Mesir dan dibunuh dengan cara dilempari dengan batu, seperti dialami Stefanus (Kis 7:59). Tiada kisah tragis yang serupa dengan yang dialami Yesus, kecuali kisah Yeremia.
Yesus dipanggil, mewartakan Kerajaan Allah dengan perumpamaan, dimusuhi, ditangkap, diadili dengan kesaksian palsu, disiksa dan dibunuh.
Namun, Ia dibela dan dibenarkan Allah dengan membangkitkan-Nya dari kematian. Sama dengan Yesus, Yeremia memporak-porandakan siapa pun yang memusuhinya, karena Allah menyertainya (Yer. 1:19).
Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya
Yesus menyatakan bahwa nas dari Nabi Yesaya adalah benar dan harus dilaksanakan, saat Ia bersabda (Luk 4:21), “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”, Hodie impleta est haec Scriptura in auribus vestris.
Dengan cara ini Ia menyatakan diri sebagai Mesias yang datang untuk memenuhi nubuat itu.
Tetapi, ternyata, yang dihadapi-Nya adalah penolakan dari seluruh hadirin, orang-orang yang dikenal-Nya sejak dari masa kecil, saat Bapa Yusup dan Ibu Maria membawa-Nya pulang ke Nazaret dari pengungsian di Mesir (Mat. 2:19-23).
Mereka tidak mau menerima Yesus yang telah dinubuatkan Nabi Yesaya. Mereka berkata, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
Nada yang terkandung dalam kalimat itu seperti mengandung pelecehan. Mereka tidak percaya bahwa Yesus sungguh anak Yusup.
Mereka tidak percaya pada yang peristiwa suci yang terjadi karana kehendak Allah. Terlebih, mereka menolak gagasan untuk menerima kaum miskin, buta dan tertindas. Maka ketika Ia mewartakan apa yang menjadi tugas perutusanNya, segera, Ia mengalami penolakan.
Sangat mungkin, penolakan itu disebabkan karena Yesus tidak mengutip, “hari pembalasan Allah kita” (Yes. 61:2b).
Bagi orang Yahudi, hari pembalasan Allah diharapkan datang segera untuk mengusir para musuh Allah, terutama mereka yang menjajah mereka.
Saat itu, imperialisme Kekaisaran Romawi menguasai seluruh peri hidup mereka, dan budaya Yunani dipaksakan untuk dianut.
Pembalasan bisa direalisasikan melalui pengusiran, pemberontakan bersenjata, dan tindak kekerasan lainnya.
Sebaliknya, Yesus justru menyingkapkan sisi kerahiman dan belas kasih. Ia menghendaki diputuskannya lingkaran setan kekerasan.
Penolakan para tetangga menyebabkan Yesus tidak dapat membuat mukjizat di Nazaret. Penolakan mereka sama dengan ketidamauan untuk percaya pada Allah.
Mereka tidak memiliki iman. Karena ketidakpercayaan itulah, Yesus menanggapi (Luk 4:24), “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”, Nemo propheta acceptus est in patria sua.
Pada jaman Elia dan pada zaman Elisa
Yesus kemudian mengingatkan mereka akan kisah Naaman, orang Siria, dan Nabi Elisa Dalam khobah pagi di Kapel Domus Sanctae Marthae, Bapa Suci Fransiskus mengatakan, “Pada masa itu, penderita kusta dan janda disingkirkan.
Dalam pergaulan umum, para janda tidak diberi ruang yang wajar untuk hidup bersama anggota masyarakat lain. Sementara penderita kusta harus hidup di luar pemukiman, jauh dari komunitas mereka.”
Paus Fransiskus melanjutkan, “Di sinagoga di Nazaret, “Yesus berkata bahwa di sana tidak ada mukjizat: tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya, karena kamu tidak membutuhkan siapa pun; kamu memiliki dua lapis rasa aman semu.”
Orang-orang yang dikenal Yesus sebelumnya merasa nyaman dengan apa yang mereka anggap sebagai ‘iman’. Mereka merasa terjamin dengan melaksanakan seluruh perintah Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan keselamatan.
Paus melanjutkan, “Sikap batin mereka menyingkapkan tragedi ketaatan pada perintah Allah tanpa iman: aku diselamatkan hanya karena aku pergi ke sinagoga tiap hari Sabat, dan aku selalu mematuhi tiap perintah Allah”; dan “siapa Dia ini yang datang dan berkata padaku bahwa mereka yang disingkirkan, para penderita kusta dan para janda, lebih baik imannya dari padaku.”
Maka Paus meringkas, “Hati-hatilah karena jika kamu merasa bahwa kamu tidak ada di dalam garis batas, kamu tak akan diselamatkan.
Inilah kerendahan hati, jalan kerendahan hati: merasa dipinggirkan, sehingga orang merasa bahwa ia membutuhkan tindakan keselamatan dari Tuhan, karena hanya Dia yang menyelamatkan, bukan kesetiaan kita melaksanakan hukum agama.” ( Homili hari Senin, 24 Maret 2014, dalam L’Osservatore Romano, Weekly ed. in English, n. 13, 28 March 2014).
Pada saat terjadi bencana kelaparan, Elia tidak diutus pada bangsa Israel. Namun, ia diutus untuk menjumpai seorang janda di Sarfat, di Sidon, dan tinggal di situ (1Raj. 17:7-16). Kekeringan yang menimpa Israel merupakan hukuman atas perilaku jahat Raja Ahab.
Ia membuat mezbah untuk Baal di kuil Baal di Samaria, membuat patung Asyera. Maka sakit hatilah TUHAN, Allah Israel (1Raj. 16:32-33). Karya keselamatanNya justru menjangkau bangsa asing.
Nabi Elisa diutus untuk menyembuhkan panglima perang Siria, Naaman, dari penyakit kusta, saat tidak ada mukjizat penyembuhan di kalangan orang Israel (2Raj. 5: 14). Saat Naaman menemui Elisa, sang nabi hanya menyuruh seorang suruhannya dan meminta panglima perang yang gagah perkasa untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan.
Naaman sangat marah, karena merasa direndahkan. Katanya, “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama TUHAN, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!
Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati (2Raj. 5:11-12).
Tetapi, para prajurit redahan mengingatkan panglima itu untuk merendahkan diri. Mandi di Sungai Yordan sangat mudah dilakukan.
Dan setelah merendah dirinya, panglima dari Kerajaan Siria itu melakukan apa yang diperintahkan sang nabi dan menjadi tahir. Yesus berusaha menumbuhkan sikap batin baru : keterbukaan dan kerendahan hati.
Mereka bangun, lalu menghalau, dan membawa Yesus ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia
Tetapi, sayang, usaha-Nya gagal. Komunitas Nazaret telah mencapai puncak kemarahan hingga hendak membunuh-Nya dengan melemparkan ke jurang. Yesus tetap tegar. Ia tidak terpengaruh olah kemarahan orang banyak dan berpaling dari tugas perutusanNya.
Santo Lukas mengajarkan tentang betapa sulit untuk mengubah mentalitas selalu merasa unggul dibanding yang lain dan mentalitas menutup diri untuk menerima yang lain.
Di awal pewartaan Kabar Gembira, Santo Lukas menampilkan kegagalan. Bukan kegagalan di pihak Yesus, tetapi kegagalan di pihak penerima warta.
Pada akhir khotbah, hari Senin, 24 Maret 2014, Paus Fransiskus menutup, “Kerendahanhati Kristiani mendorong kita untuk mengakui kebenaran dan berkata: aku seorang pendosa! Inilah kebenaran kita.
Kebenaran lain … kebenaran bahwa Allah menyelamatkan kita! Namun, Ia menyelamatkan ketika kita disingkirkan. Ia tidak menyelamatkan kita ketika kita merasa diri aman dan nyaman.”
Katekese
Dapatkah orang menolak untuk mengasihi Allah kita? Santo Augustinus, Uskup Hippo, 354-430:
“Sabda- itu telah dibacakan pada umat yang berkumpul. Semua mata menatap Yesus, seraya mengira bagai mana mungkin ia dapat membaca tanpa pernah diajar. Orang Israel biasanya berkata bahwa nubuat yang terkait dengan Kristus dipenuhi, baik dalam diri orang-orang dari kalangan raja yang mulia atau sekurang-kurangnya para nabi yang suci.
Mereka tidak memahami dengan cermat apa yang tertulis tentang Dia. Maka, mereka keliru melangkah ke arah yang salah atau menempuh jalan lain. Dengan hati-hati Ia menjaga agar tidak jatuh dalam kesalahan dengan berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”, supaya mereka tidak lagi salah menafsirkan nubuat yang sekarang didengarkan.
Yesus dengan terus terang menyampaikan sabda Allah di hadapan mereka, sebagai pribadi yang dibicarakan dalam nubuat nabi.
Dialah Pengkhotbah yang menyampaikan Kerajaan Surga kepada orang yang tak mengenal Allah. Mereka adalah kaum miskin, yang tak memiliki apa pun – tak memiliki Allah, hukum, dan nabi.
Terlebih, Ia mewartakan Kerajaan itu pada siapa pun yang tak memiliki kekayaan spiritual. Ia membebaskan para tawanan. Setelah meruntuhkan kuasa setani, Ia menyalakan terang ilahi dan rohani pada hati mereka yang dilingkupi kegelapan
Inilah alasan mengapa Yesus bersabda, “Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang.” (Yoh. 12:46). Dialah yang mematahkan belenggu dosa yang melilit hati mereka yang terpikat pada kenikmatannya. Dia menunjukkan bahwa hidup telah datang, dan pendosa dihadapkan pada pengadilan yang adil.
Akhirnya, Dialah yang mewartakan tahun rahmat Tuhan, tahun saat Sang Juruselamat diwartakan.
Menurut hemat saya, tahun rahmat bermakna kedatangan-Nya yang pertama. Dan hari kiamat adalah hari penghakiman.” (Commentary On Luke, Homily 12).
Oratio-Missio
Tuhan, anugerahilah rahmat yang cukup, agar aku mampu menjadi rendah hati untuk menerima keselamatanMu. Kuatkanlah aku untuk menjadi saksi-Mu. Amin.
- Apa perlu aku lakukan untuk tidak berpaling dari panggilan mewartakan Kabar Suka Cita?
“Ait autem, “Amen dico vobis: Nemo propheta acceptus est in patria sua.” – Lucam 4:24