Jumat. Minggu Biasa XXI, Hari Biasa (H)
- 1Kor. 1:17-25
- Mzm. 33:1-2.4-5.10ab.11
- Mat 25:1-13
Lectio
1 “Pada waktu itu hal Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. 2 Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. 3 Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, 4 sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka.
5 Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. 6 Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang. Songsonglah dia. 7 Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka.
8 Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. 9 Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ.
10 Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. 11 Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu.
12 Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. 13 Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.”
Meditatio-Exegese
Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil
Santo Paulus menulis dua tema: alasan kegiatan kerasulan yang laksanakannya dan perbedaan antara hikmat Allah dan hikmat manusia. Kerasulan Paulus seoalah-olah hanya menitik beratkan pada pewartaan Kabar Sukacita (bdk. Mrk. 3:14) dan mengesampingkan pembaptisan.
Paulus memang menitik beratkan pada pewartaan Injil, seperti saat bertukar pikiran dengan golongan Epicuros dan Stoa (Kis. 17:19) dan menjelaskan tentang Allah yang tidak dikenal kepada Dewan Kota Athena, Aeropagus (Kis. 17:22-32).
Tetapi ia tidak pernah melupakan kewajibannya untuk melayani Sakramen Baptis. Pembaptisan selalu didahului dengan pengajaran atau pewartaan Injil, seperti ditulisnya, “Iman timbul dari pendengaran.” (Rm. 10:17).
Proses katekumenat, pengajaran iman atau masa persiapan untuk menjadi Katolik (bdk. Gal. 6:6), pewartaan Injil dan sakramen-sakramen saling tergantung. Santo Paus Paulus VI mengajar, “Demikianlah evangelisasi melaksanakan kemampuannya sepenuh-penuhnya bila menghasilkan hubungan yang amat akrab atau lebih baik suatu komunikasi timbal-balik dan tetap, antara Sabda dan sakramen-sakramen.
Dalam arti tertentu kelirulah mempertentangkan antara evangelisasi dan penerimaan sakramen- sakramen, seperti yang kadang-kadang terjadi. Memang betullah bahwa cara tertentu dalam melayani sakramen-sakramen, tanpa dukungan yang kuat dari katekese mengenai sakramen-sakramen dan suatu katekese yang global, dapat berakhir dengan merampas dari umat efektivitas, penerimaan sakramen-sakramen.
Peranan evangelisasi justru mendidik orang-orang di dalam iman sedemikian rupa, sehingga membimbing tiap-tiap individu kristen untuk menghayati sakramen-sakramen sebagai sakramen-sakramen iman – dan bukannya untuk menerima sakramen-sakramen secara pasif tapi untuk berpatisipasi di dalam penerimaan sakramen-sakramen.” (Imbauan Apostolik tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern, Evangelii Nuntiandi, 47).
Yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia
Kristus yang disalib mengantar tiap pribadi mencapai kebijaksanaan sejati. Maka tiap orang ditantang untuk mengambil sikap batin terhadap salib.
Beberapa orang Yunani yang dijumpai Paulus dan dikenal sebagai kelompok yang mengagungkan akal budi dan segala sesuatu yang tak dapat dibuktikan dengan akal sehat berarti tidak masuk akal. Maka, bagi mereka salib bukan kebijaksanaan dan tidak masuk akal.
Orang Yahudi menuntut tanda atau mukjizat untuk membuktikan kehadiran Allah (bdk. Mat. 12:38-42; Luk. 11:29). Mereka menganggap iman harus dilandaskan pada apa yang dapat disentuh oleh indera. Terlebih, kematian-Nya di tangan prajurit Romawi merupakan tanda pembenar bahwa Ia bukan Yang Diurapi atau raja atau panglima yang membebaskan bangsa dari penjajah.
Sedangkan pribadi yang tinggal di jalan keselamatan memandang Yesus yang disalib sebagai kekuatan dan hikmat Allah. Paulus menulis (1Kor 1:24), “Tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.”, ipsis autem vocatis, Iudaeis atque Graecis, Christum Dei virtutem et Dei sapientiam.
Melalui sengsara-Nya di salib, wafat dan kebangkitan, Yesus mengalahkan setan, dosa dan maut. Maka Gereja mengimani, “Lihatlah kayu salib, di sini tergantung Kristus, Penyelamat dunia.” (Misa Romawi, Ibadat Jumat Agung, Puji Syukur 505).
Nubuat Nabi Yesaya, “Hikmat orang-orangnya yang berhikmat akan hilang.” (Yes. 29:14), seperti dikutip Paulus, dipenuhi di kayu salib. Bukan kemegahan dan keseombongan, tetapi kesederhanaan dan kerendahan hati yang diperlukan untuk menemukan kebijaksanaan ilahi di salib.
Santo Leo Agung menulis, “Bagi dunia, yaitu bagi orang yang bijaksana dari dunia, kebijaksanaan mereka berubah menjadi kebutaan. Kebutaan itu tidak bisa membawa mereka melihat Tuhan […].
Maka, karena dunia telah menyombongkan ajaran yang sia-sia, Tuhan menetapkan iman yang menjadi jalan agar orang-orang percaya kepada-Nya akan diselamatkan. Jalan itu itu tampaknya tidak layak dan bodoh, sehingga, semua orang menduga tidak ada gunanya.
Namun, hanya kasih karunia Allah menyingkapkan apa yang tidak masuk akal dalam pikiran manusia.” (Fifth Nativity Sermon).
Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis menyongsong mempelai laki-laki
Adat perkawinan yang dikisahkan Yesus tak sama dengan adat di sini. Di Palestina kuna adat perkawinan mengatur jadwal berjaga-jaga dan persiapan untuk tiap orang yang dilibatkan dalam pesta itu.
Mempelai laki-laki dan perempuan tidak pergi berbulan madu. Mereka bersukacita bersama sanak saudara dan tetangga selama seminggu, seperti di Kana (Yoh. 2:1-11).
Menurut adat, mempelai laki-laki yang diiringi para sahabatnya datang ke rumah mempelai perempuan sesuka hatinya untuk menjemput mempelai perempuan dan dibawa ke rumah baru. Biasanya mereka mengambil jalan yang lebih panjang sehingga lebih banyak tetangga ikut serta dalam perarakan itu.
Ketika sampai di rumah, pintu ditutup dan yang datang terlambat tak diizinkan masuk. Jika mempelai laki-laki menghendaki penjemputan di malam hari, lampu minyak diperlukan untuk menerangi jalan yang sempit, sukar dan gelap. Tak seorang pun diijinkan berjalan di jalan-jalan desa tanpa membawa pelita.
Santo Matius menggunakan kata παρθενος, parthenos, gadis, sama dengan kata yang digunakan untuk Ibu Maria dalam Mat. 1:23 dan Yes. 7:14 (Septuaginta). Para gadis itu menunggu mempelai laki-laki untuk mengikuti perarakan ke rumah baru mempelai itu dan ambil bagian dalam pesta perkawinan.
Kata γαμους, gamous digunakan untuk pesta perkawinan dan Pesta Perkawinan Anak Domba di akhir jaman (Mat. 22:2-10; Why. 19:7-9). Dalam tradisi para rasul, Kristus adalah Sang Mempelai laki-laki yang dinanti-nantikan kedatanganNya oleh Gereja, Mempelai perempuan yang setia (bdk. Mat. 9:15; Yoh. 3:29; 2Kor. 11:2; Ef. 5:21-33; Why. 21:2.9; 22:17).
Sesungguhnya aku tidak mengenal kamu
Kedatangan mempelai laki-laki tidak sesuai harapan. Ia datang terlambat, menurut pemikiran yang menantikannya. Padahal, sang mempelai itu sendirilah yang menentukan kapan saat yang tepat. Sementara menunggu, pelita-pelita itu makin meredup, karena minyak bakar makin habis, bahkan habis sama sekali.
Tiba-tiba, seorang penjaga berseru (Mat. 25:6), “Mempelai datang. Songsonglah dia.”, Ecce sponsus. Exite obviam ei.
Seluruh rombongan yang menunggunya bangun dari tidur. Masing-masing membereskan pelita. Lima orang gadis menambahkan minyak pada pelita yang hampir padam.
Lima orang gadis melambangkan komunitas dan masing-masing anggota jemaat Kristiani yang bijaksana dan tekun berjaga-jaga. Mereka menantikan dan mempersiapkan diri menyambut kedatangan Kristus, parousia.
Sedangkan separuh yang lain tidak mempersiapkan dengan baik. Maka, mereka yang mempersiapkan dengan serampangan, pasti, ditolak masuk ke dalam perjamuan bersama Sang Mempelai Laki-laki.
Pintu ditutup dan dikunci. Rupanya Yesus mengulangi perumpamaan tentang tamu yang tidak mempersiapkan pakaian pesta (Mat. 22:11-14).
Pintu yang ditutup dan tidak dibuka mengingatkan akan pintu bahtera Nuh (Kej. 7:16). Pintu itu melambangkan pintu Kerajaan Surga. Pintu pasti ditutup untuk mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk hadir dalam perjamuan Anak Domba dan Mempelai Perempuan, Gereja-Nya yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Pintu ditutup ketika kelima gadis yang tidak bijaksana pergi mencari minyak. Saat kembali, mereka berseru-seru, “Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu.”
Yesus mengingatkan akan sabdaNya, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga?
Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu. Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan.” (Mat. 7:21-23).
Yesus menolak masuk siapa pun yang tidak mempunyai niat, komitmen, dan kasih setia untuk mengenal-Nya. Dalam tradisi Kitab Suci kata ‘mengenal’ selalu mengacu pada makna relasi yang intim, seperti relasi suami-isteri atau kesetiaan pada perjanjian dengan Tuhan.
Untuk selalu dikenal Yesus Kristus, Sang Mempelai Laki-laki, setiap orang Kristen harus (Mat. 25:13), “Berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.”, Vigilate itaque, quia nescitis diem neque horam.
Santo Paulus memaknai berjaga-jaga dalam pesannya kepada jemaat Tesalonika (2Tes. 3:13): “Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik.”, vos autem fratres nolite deficere benefacientes.
Dengan cara ini setiap orang menjadi bijaksana dan siap menyongsong kedatangan Sang Mempelai, Kristus Yesus.
Katekese
Kerajaan Allah seumpama sepuluh orang gadis. Santo Hilarius dari Poitiers, 315-367:
“Seluluruh cerita mengisahkan tentang hari besar Tuhan, ketika seluruh hal yang tersembunyi dari pikiran manusia akan disingkapkan melalui pemahaman kita tentang pengadilan terakhir. Kemudian iman yang benar pada kedatangan Tuhan akan memperoleh ganjaran yang adil, karena harapan yang tak tergoncangkan.
Dalam diri lima gadis bijaksana dan lima gadis bodoh (Mat. 25:2) terjadi pemisahan mutlak antara kaum beriman dan tidak beriman… Gadis yang bijaksana adalah mereka yang, memanfaatkan waktu yang tersedia bagi mereka, mempersiapkan diri sejak penetapan kedatangan Tuhan.
Tetapi yang bodoh adalah mereka yang abai dan lalai. Mereka menyusahkan diri sendiri hanya dengan benda-benda yang bersifat sementara; melupakan Sabda Allah; dan tidak mengarahkan seluruh daya upaya untuk harapan akan kebangkitan badan.” (Commentary On Matthew 27.3,5)
Oratio-Missio
Tuhan, buatlah aku selalu berjaga-jaga dan siap sedia mendengarkan seruan-Mu, sehingga aku selalu bergegas menyongsong panggilan-Mu. Semoga Engkau mendapatiku selalu hadir di hadirat-Mu dan bersuka cita melakukan kehendak-Mu. Amin.
- Apa yang harus aku lakukan untuk berjaga-jaga dan menyongsong Sang Mempelai?
Vigilate itaque, quia nescitis diem neque horam – Matthaeum 25:13